Seni di Era Kenormalan Baru
TRANSINDONESIA.CO – Bencana dan pandemi bukan hanya sekarang ini dari bencana alam, wabah penyakit hingga perang dunia pernah melanda dunia. Korban jiwa yang dalam skala besarpun meluluh lantakkan kehidupan. Demikian juga di masa pandemi Covid-19 ada yang percaya ada yang setengah percaya namun ada yang tidak percaya bahkan masa bodoh.
Permasalahan pandemi Covid-19 ini bukan sebatas terpapar atau menjadi pemapar namun kehidupan sosial yang diputus atau terpaksa putus atau sengaja diputuskan. Sistem edukasi sistem imun masyarakat terus menurun bahkan ada yang putus asa pasrah nekad ngawur tidak lagi peduli dengan dirinya maupun lingkungannya. Berbagai cara dilakukan dari cara medis hingga cara cara gaib. Kekuatan manusia seakan sedang diuji di ambang batas keyakinan akan kemanusiaannya sebagai mahkluk sosial sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Situasi dan kondisi ini menggerus di semua lini kehidupan. Tak hanya hidup dan kehidupan, kematian pun seakan sudah di ambang batas. Peradaban manusia diluluhlantakan dengan virus corona, beruntung di era sekarang ini ada cara digital yang mampu menjembatani atau setidaknya menjadi penyambung atau jembatan sosial bagi hidup dan kehidupan sosial dan berbagai gatra lainnya.
Ketakutan kesedihan rasa cinta kasih sayang pun seakan harus diputuskan oleh pandemi ini. Rasa kemanusiaan penghormatan atas perpisahan antara kehidupan dan kematian tidak lagi dengan ritual penghormatan yang lazimnya dilakukan. Ritual-ritual keagamaan pun diputus dengan cara virtual. Cara aktual seakan menjadi penular atau pembentuk cluster baru. Kegiatan-kegiatan bisnis dan kegiatan kemasyarakatan terpaksa juga dihentikan. Pembelajaran dialihkan dalam kegiatan virtual. Transformasi pengetahuan dan nilai nilai luhur mau tidak mau juga dilakukan dengan cara-cara virtual. Dunia virtual akankah mendominasi atau menjajah dunia aktual? Bisa saja terjadi demikian.
Kekuatan virtual menjadi penopang bagi kekuatan kehidupan. Sistem sistem birokrasi dan cara kerja konvensional mau tidak mau harus bergeser atau diambil alih dalam cara-cara virtual. Karena kondisi pandemi ini memaksa semua cara dan sistem manual konvensional parsial untuk berubah. Demikian halnya dengan seni budaya. Seni dan budaya sebagai penanda peradaban mau tidak mau juga harus berubah menuju arah virtual. Pembinaan seni budaya dalam transformasi mau tidak mau cara-cara virtual menjadi pilihan.
Ide ide dalam karya dan pemikiran pemikiran akan seni di era kenormalan baru memerlukan adanya kekuatan dan cara yang lebih cerdas dan soft mengatasi benturan budaya virtual dengan aktual. Kontemplasi, pemikiran-pemikiran proaktif problem solving pemaknaan akan hidup dan kehidupan baru pun tidak lagi lateral semata namun dituntut berpikir konseptual teoritikal yang mampu menemukan prinsip-prinsip mendasar yang berlaku umum. Cara berpikir holistik, sistemik yang mampu menguak makna di balik gejala atau fakta atau fenomena ini menjadi sangat penting. Bagaimana dengan model-model religi tradisi hobi komuniti? Semua akan dapat bertahan bahkan tetap tumbuh dan berkembang tatkala teknologi kembali berperan dan menjadi landasan. Apresiasi pemerintah akan karya seni dan senimannya pun semestinya sudah digeser. Seni dan karya seni dibeli pemerintah atas hak kekayaan intelektualnya dan diproduksi secara masif agar dapat dinikmati publik secara luas. Sedangkan master piece karya aslinya ada di pusat studi atau berada di museum pemerintah. Peran para akademisi dan para pelaku bisnis pun ikut peduli dalam menumbuhkembangkan peradaban melalui seni kesenian dan kehidupan senimannya.
Kekuatan seni diberi kenormalan baru adalah pada tetap warasnya pemerintah akademisi dan sektor bisnis. Di mana ruang apresiasi dan interpretasi bagi para seniman dan karya seninya tetap ada. Pengaruh atau inspirasi luas atas karya seni sering kali terabaikan atau belum disentuh seutuhnya. Seakan semua masih pada kulit kulit luarnya saja. Cara-cara seremonial yang sarat dengan kepura-puraan menjadi penumpul peradaban. Ruang ruang apresiasi dan interpretasi seakan menjadi kelam gelap atau hilang. Sikap peka peduli akan peradaban pun bisa saja dalam political will yang seakan membiarkan seni kesenian dan senimannya hidup dalam himpitan keadaan ketakutan kesedihan. Pilihan pilihan cerdas kreatif produktif inspiratif ini tidak boleh redup walau dalam kondisi sesak pengap takut terancam dalam genggaman kematian. Spirit hidup tumbuh dan berkembang dan mampu menemukan pola pola baru di era kenormalan baru menjadi harapan bagi terus bertahan hidup tumbuh berkembangnya suatu peradaban.**
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana (Pengamat Seni Budaya)