TRANSINDONESIA.CO – Baik buruk sama saja karena hanya rasa dan selera Ndoro yang menjadi ukuran. Tatkala kinerja berdasarkan suka suka dan kedekatan personal maka akan membutakan dan melumpuhkan bahkan menguapkan daya nalar birokrasi. Prestasi kompetensi hanyalah bunga bunga tempel yang tak lama layu dan kering.
Apa daya memang semua diam membisu seolah menonton pertunjukkan yang menghantui mencekam bahkan para aktornya bisa mengancam. Mau apalagi orang-orang kalahan yang sebagai pelengkap penderita pasrah bagi yang tidak mau atau tidak mampu berebut berkah Ndoro.
Diam ini bukan berarti tanpa arti. Ini bentuk perlawanan. Memang kuasa ini membuat jumawa lupa diri kalau sebenarnya hanya titipan. Baik titipan Tuhan maupun titipan rakyat. Suka ini tanda masuknya duka tatkala lupa dan terus saja pamer akan segala yang durhaka. Ukuran baik buruk, benar salah bahkan sampai dosa suci pun semua batas dasar selera. Siapa pengikut yang kuasa dialah bagian dari penjaga surga. Tatkala yang diikutinya kalah berusahalah lompat ke lain penguasa kalau tak bisa, ya diam untuk sementara.
Mencari selamat sendiri sendiri seakan kuasa segala-galanya. Memang suara ancaman janji manis pun semua dari kepala. Badan, tangan, kaki, perut tak bisa memberi janji atau ancaman bahkan yang berpikir baik atau jahat pun dari kepala. Kepala seakan pinggir surga di dunia. Pemujaan hingga pengkultusan ada di mana mana. Siapa suka ikutlah dia. Siapa tak disuka matilah nasibnya.
Kuasa membuat segalanya ada, sabdo pandito ratu. Jari telunjuknya begitu sakti mandraguna, apa yang disabda terjadilah. Apa yang diminta maka datanglah. Bahkan apa yang disuka sebelum dikata semua sudah tersedia. Tepuk tangan, sorak sorai, taburan bunga, jilatan ada sepanjang jalan dan wilayah yang dilaluinya. Ia mabuk dan hanyut di dalamnya lupa kalau itu candu belaka. Apa yang ditabur, apa yang ditepuk tangankan, apa yang dipuja pujikan, apa saja yang dijilatkan itu semua penuh harapan dan berharap imbalan. Semua ada harganya.
Sang Ndoro seolah jadi pengawas pasar, para pedagang sampai kuli dan preman premannya berlari larian memberi upeti dan berlomba lomba menyenang nyenangkan. Jalanan sarat karpet merah walau dipasang di atas tanah becek. Semua disemprot wangi wangian walaupun bau bangkai menyengat di mana mana. Ia memang dipuja saat punya kuasa, saatnya kuasa sirna mulailah dunia nya satu persatu muncul dengan apa adanya. Semua selera rasa waras tiba tiba muncul di depan mata namun apa mau dikata semua sudah tinggal cerita. Tinggalah duka nestapa sesal tiada guna. Seakan tiada harga di atas melimpah tumpukkan harta.
[Chryshnanda Dwilaksana]