Birokrasi Masa Bodoh

TRANSINDONESIA.CO – Mana yang lebih berbahaya antara tidak tahu, tidak mampu dan tidak mau tahu? Walaupun ke tiganya berdampak pada kompetensi dan profesionalisme tidak mau tahu yang paling berbahaya. Bodoh bisa diberitahu, dilatih, diajar agar mampu melakukan sesuatu. Sedangkan tidak mau tahu merupakan sikap apatis masa bodoh boleh dikatakan mati rasa.

Orang yang mati rasa tidak ada empati dan bela rasa lagi. Semua dianggap angin lalu. Sikap masa bodoh bawaan orok menjadi watak atau sifat yang mendarah daging dalam pikiran perkataan dan perbuatan.

Bagaimana jika sikap masa bodoh ini merasuk ke dalam gatra kehidupan manusia. Pada politik yang masa bodoh tentu esensi menjaga, mempertahankan, mencerdaskan dan mensejahterakan akan jauh panggang dari api. Kebijakkan publiknya seolah layu sebelum berkembang, hukum menjadi permainan, pelayanan publik akan dijadikan lahan pemalakan. Pendidikan menjadi ajang jual beli nilai, yang penting punya ijazah, gelar tanpa kemampuan pun biasa saja.

Bodoh dalam ranah apapun masih ada harapan karena diberitahu, diajarkan bahkan bisa diluruskan. Proses pembelajaran dapat menjadi andalan atau dasar perbaikkan. Manusia mahkluk pembelajar. Hidupnya seperti tabularasa, putih tanpa tulisan. Semua kemampuan manusia bukan berdasarkan insting melainkan proses belajar dan berlatih. Di samping juga mendalami spirit dari apa yang dipelajarinya.

Tatkala melihat, mendengar, merasakan dalam kebijakkan publik, dilakukan keputusan atau aturan aturan yang kontra produktif maka akan timbul berbagai pertanyaan, kecurigaan hingga ketidak percayaan. Apalagi terang terangan memalak dan menyimpangkan apa yang dipercayakan atau diamanahkan.

Di dalam birokrasi yang masa bodoh maka akan berdampak luas pada kehidupan sosial terutama pada sistem pelayanan publik. Semua dijadikan pasar ajang tawar menawar, wani piro oleh piro.

Kekuasaan kewenangan di dalam pengelolaan sumber daya dan pendistribusiannya dalam birokrasi yang masa bodoh akan sarat rekayasa hingga diskresi birokrasi yang cenderung menjadi tindakan korupsi. Model premanisme dan gaya gaya karnaval yang sarat kepura-puraan sampai tipu daya menjadi hal lumrah dilakukan. Bahkan ada yang menganggap sebagai kenyataan dan kewajiban yang harus diberikan sebagai pelumas untuk menjalankan roda kehidupan.

Birokrasi yang masa bodoh, model pendekatan personal, mengalahkan pendekatan inpersonal atau pendekatan berbasis kompetensi. Pasar jabatan kekuasaan akan sarat broker sebagai tali jiwa pengepul dana untuk disalur salurkan kepada yang memiliki kuasa, mendominasi sumber daya dan pendistribusiannya. Yang dijadikan ikon atau maskot ya itu itu saja model jendela jauhari. Siapa yang disuka akan diangkat menjadi kroni dan apa yang disabdakan pasti terjadi walau melukai hati atau merusak tatanan birokrasi.**

[Chryshnanda Dwilaksana]

Share