TRANSINDONESIA.CO – Situasi pandemi Covid-19 ini menimbulkan hal positif maupun negatif. Dampak positif bisa dikatakan memahami mau berdamai dengan situasi (ngalah) dan mau berubah atau melakukan perubahan (ngalih) untuk tetap mampu bertahan dalam kondisi yang ekstrim sekalipun.
Demikian sebaliknya bila hanya berpikir menang sendiri hanya berkeluh kesah dengan pikiran sebatas perut (ngelih). Merasa paling susah dan paling segalanya sehingga membuat pembenaran untuk memaksakan kehendak (ngamuk). Segala cara dihalalkan. Pokok e atau mau menang sendiri.
Situasi yang sulit tidak selayaknya dimanfaatkan untuk mencari merusak citra bangsa. Apalagi dengan membodoh-bodohi, memprovokasi dengan ujaran kebencian dengan berita-berita hoax, dsb.
Opini publik diaduk-aduk dan dengan sesuka hati mewarnai isi kepala dalam bentuk opini publik yang dikendalikannya. Analologi ngelih dan ngamuk ini sebenarnya suatu parodi ketololan atau menggambarkan kelas unthul munyuk yang tidak mampu menunjukkan kematangan atau tingkat kedewasaannya. Ngelih ngamuk, lapar marah ini wujud produk pembodohan otak pengikutnya yang sudah di labur dengan kebencian dan anarkisme.
Anarkisme di masa sulit menunjukkan kelemahan suatu bangsa dalam mengatasi kesulitan. Pokok e menjadi sesuatu yang menunjukkan pekok e (ketololannya). Ketidak mampuan berdialog dan membangun peradaban merupakan suatu kekonyolan. Dan memang kerusuhan yang diinginkannya, biasanya ada biangnya si tukang labur otak. Mereka masa bodoh akan kepentingan bangsa dan negara dengan tega mengorbankan banyak orang. Semua demi pemenuhan nafsu pribadi maupun kroni.
Ngalah bukan berarti kalah dan mau ngalih nerpindah yang dapat dipahami bahwa melakukan perubahan adlah suatu keniscayaan untuk bertahan hidup tumbuh dan berkembang. Ini waras dan memikirkan bagaimana mentransformasi untuk mencerdaskan. Ngalah dan ngalih pada konteks ini adalah dengan sadar bertanggung jawab mengatasi desaign ngelih ngamuk. Transformasi meyakinkan membangun solidaritas sosial menjadi bagian dari ketahanan dan kebertahanan suatu bangsa yang berdaulat.
Pada konteks keteraturan sosial, sadar dan berani melakukan perubahan dan keluar dari zona nyaman merupakan upaya mencerdaskan. Masyarakat yang cerdas tidak mudah terprovokasi. Karakternya terbangun dengan spirit patriotisme yang dilandasi nilai-nilai spiritual yang dilandasi dengan integritas tinggi. Konteks cerdas ini juga dikaitkan mendalamnya kemampuan logika yang tidak mudah dibodoh-bodohi atau dijadikan jaran keplakan. Perubahan pasca pandemi Covid-19 adalah berani berlandaskan dengan sistem-sistem elektronik yang terhubung dalam satu sistem yang terintegrasi.
Mengatasi sistem pembodohan adalah dengan sistem mencerdaskan salah satunya melalui literasi. Membangun model-model solidaritas sosial. Membangun sistem ketahanan di semua gatra kehidupan. Solidaritas sosial bukan sebatas sumbang atau bentuk charitas. Pola solidaritas sosial dapat dibangun berbasis wilayah maupun berbasis pada kepentingan-kepentingan atau pada kelompok-kelompok kategorial. Pada sistem solidaritas sosial memerlukan jejaring sosial sebagai jembatannya.
Kemitraan sebagai soft powerpun ini juga perlu dibangun. Demikian juga dg ikon-ikonnya agar dapat dijadikan sumber inspirasi karena menghadapi kaum ngelih ngamuk ini bukan masalah kecil. Karena kalau terus dihembuskan akan merusak peradaban dan seakan akan anarkis menjadi acuan pembenaran sebagai pilihan dalam mencari solusi. Sistem elektronik yang terhubung dan terintegrasi menjadi bagian dasar untuk menjaring rekam digital apa yang telah sedang dan akan mereka lalukan dalam merusak peradaban.
[Chryshnanda Dwilaksana]