Review Peristiwa Banjir Diawal Tahun 2020 dan Solusinya

TRANSINDONESIA.CO – Awal tahun 2020 bencana banjir melanda Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan sejumlah di daerah lain Pulau Jawa. Awal tahun baru 2020 sebagian besar wilayah Jabodetabek dikepung banjir setelah hujan dengan intensitas tinggi terjadi sejak Selasa (31/12/2019).

Berdasarkan laporan peringatan dini prakiraan cuaca yang dikeluarkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebelumnya, wilayah Jabodetabek memang diperkirakan turun hujan dengan intensitas menengah hingga tinggi pada penghujung tahun hingga awal tahun.

“Selamat tahun baru dan selamat datang banjir,” demikian judul keterangan pers tertulis dari Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Kapusdatin dan Humas BNPB), Agus Wibowo, Rabu (1/1/2020).

Setidaknya ada 67 korban meninggal yang telah dilaporkan dan dikonfirmasi, karena tanah longsor, hipotermia, tenggelam, dan tersengat listrik. Beberapa wilayah akan dimatikan listriknya, karena alasan keamanan oleh perusahaan listrik milik negara (PLN).

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) meninggal terdampak banjir hingga Senin (6/1/2020) mencapai angka 67 orang.

Hujan dengan intensitas tinggi yang turun pada 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020 menyebabkan sebagian wilayah Jabodetabek mengalami banjir.

Genangan air bervariasi dari 20 cm hingga 3 meter. Di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, hujan lebat itu memicu banjir bandang akibat debit air Sungai Ciherang meluap. Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BNPB memberikan informasi terkait titik-titik genangan air yang masih ada di beberapa kawasan Jabodetabek.

Tercatat, genangan air di Kabupaten Bekasi dengan tinggi air 20-30 cm, Kota Bekasi dengan tinggi air 20-60 cm, Kabupaten Bogor dengan tinggi air 20-30 cm dan Jakarta Barat dengan tinggi air 20-150 cm. Jumlah pengungsi terdampak banjir semakin bertambah menjadi 36.419 jiwa.

Titik pengungsian tersebar di sejumlah kota seperti Kabupaten Bekasi 3 titik, Kota Bekasi 75 titik, Kabupaten Bogor 27 titik, Kota Tangerang Selatan 1 titik, Jakarta Timur 1 titik, Jakarta Barat 5 titik, Jakarta Selatan 1 titik, Jakarta Utara 1 titik, Kabupaten Lebak 8 titik dan Kota Depok 6 titik.

Kepala BNPB Doni Monardo mengimbau kepada jajaran petugas serta masyarakat untuk selalu mawas diri dan selalu siaga.
“Pemerintah Daerah dan BPBD harus aktif dalam menginformasikan peringatan dini cuaca terkini dari BMKG kepada masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan,” kata Doni kepada awak media.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan faktor utama banjir di Jakarta bukan karena banjir kiriman dari Bogor yang berada di hulu.

Penyebab banjir utama disebabkan oleh curah hujan ekstrem di Jakarta. Peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI, M. Fakhrudin menjelaskan hujan memang menjadi faktor utama banjir di hilir.

Sementara aliran sungai di hulu meningkatkan besaran dan lamanya banjir.

“Hujan ekstrem di hilir merupakan faktor utama terjadinya banjir di Jakarta,” kata Fakhrudin dalam jumpa pers di Gedung LIPI, Jakarta Selasa (7/1/2020).

Fakhrudin mengatakan selama periode waktu 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020, curah hujan kategori ekstrim (>150 mm/hari) telah dominan terjadi di wilayah DKI Jakarta yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak tahun 1990-an.

Di sisi lain, sebaran curah hujan di daerah penyangga seperti wilayah Bogor dan Depok didominasi dengan kategori hujan lebat.

Fakhrudin menjelaskan perubahan ahli fungsi lahan yang berlangsung cepat menyebabkan kemampuan daya resap sistem Daerah Aliran Sungai di Jabodetabek terhadap air hujan menjadi menurun.

“Hal ini menyebabkan proporsi jumlah air hujan yang dikonversi langsung menjadi aliran permukaan atau direct run-off akan cenderung terus meningkat,” katanya.

Fakhrudin lebih lanjut menyarankan agar pemerintah bisa memperbaiki sistem peringatan dini agar tidak hanya berdasarkan tinggi muka air (water level) pada sungai-sungai di hulu. Menurutnya sistem peringatan dini juga harus dikombinasikan dengan curah hujan.

Data tinggi muka air dengan curah hujan juga bisa dijadikan referensi pemerintah untuk menyiapkan sistem drainase air hujan lokal. Data-data tersebut juga harus bisa diakses masyarakat sebagai peringatan dini.

Sistem drainase perlu disesuaikan dengan besaran hujan ekstrem pada awal tahun 2020 atau dampak perubahan iklim ke depan dan diintegrasikan dengan sungai-sungai utama. Fakhrudin juga menyarankan agar pemerintah meningkatkan jumlah dan distribusi alat pemantauan real time.

“Tinjauan itu harus yang akurat. Sering melakukan kajian kurang akurat. Kadang-kadang masalah datanya, datanya kurang. Kita harus menambah banyak data, data curah hujan, data muka air,” jelasnya.

Gubernur DKI Jakarta, Anis Baswedan menyatakan di Twittwe bahwa pemerintah akan membantu semua orang yang terkena dampak banjir. Anies juga mengatakan kepada para wartawan bahwa ia akan mendorong proyek infrastruktur berskala besar baru, termasuk bendungan dan pintu air untuk mencegah banjir lagi.

Anies juga telah menyatakan secara terbuka bahwa “Saya ingin semua pejabat di pemerintahan Jakarta memastikan bahwa semua gedung pemerintah dan sekolah siap untuk digunakan sebagai tempat penampungan evakuasi. Mempersiapkan dapur umum, pos kesehatan, obat-obatan, tikar tidur, toilet umum dan dasar lainnya kebutuhan untuk pengungsi pada saat banjir”.

Presiden Indonesia, Joko Widodo men-tweet bahwa ia akan membangun kembali semua infrastruktur publik dengan langkah-langkah anti banjir.

Sedangkan Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi, mengungkapkan ada dua penyebab banjir merendam Bekasi. Penyebab pertama adalah curah hujan tinggi. Akibatnya, kali atau sungai yang menampung aliran air, meluap hingga menggenangi permukiman. Kondisi ini merata ada di setiap kecamatan.

“Kedua karena luapan Kali Bekasi setelah debitnya meningkat lantaran kiriman dari Bogor melalui Kali Cikeas dan Cileungsi,” kata Rahmat, Minggu (5/01/2020)
Beberapa permukiman di Kota Bekasi terendam banjir, di antaranya Rawalumbu, Bekasi Timur, Bekasi Barat. Genangan semakin tinggi karena hujan tak kunjung berhenti hingga siang hari.

Sedangkan luapan air dari Kali Bekasi terjadi mulai pagi hari, lokasi yang terendam lebih dulu di kawasan Teluk Pucung, Bekasi Utara. Puncaknya kiriman air datang pada siang hari sekira pukul 12.00 WIB. Air meluap ke permukiman di bantaran Kali Bekasi.

Banjir baru surut pada Kamis 2 Januari 2020 siang, bahkan ada yang sampai Jumat dini hari. Menurut data dari BNPB terkait banjir di Kota Bekasi, ada 93 titik banjir, 104 rumah terendam, 366.274 jiwa terdampak banjir dan 9 korban meninggal dunia. Namun Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, banjir di Kota Bogor tahun 2020 ini tidak separah tahun 2019 berkat adanya program naturalisasi Kali Ciliwung, Bogor.

“Ada program naturalisasi Ciliwung, Bogor, tahun ini alhamdulillah banjirnya tidak seperti tahun kemarin. Makanya, kemarin saya tidak diundang ke Istana mungkin begitu. Dibanding kemarin agak berkurang, mungkin karena program naturalisasi Ciliwung kita,” ujar Bima seusai menemui Menko Polhukam Mahfud MD di kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (24/1/2020).

Bima enggan berkomentar saat disinggung perihal program naturalisasi DKI Jakarta yang belum berjalan. Menurutnya, hal tersebut merupakan ranah Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta.

“Saya tidak mau komentar dapur orang. Itu sudah kebijakan Pak Anies. Kami akan fokus saja bagaimana membuat Ciliwung ini volume air di Jakartanya berkurang. Jadi ada gerakan untuk membersihkan sampah, ada gerakan untuk membangun rasa peresapan penanaman dan lain-lain,” ungkap Bima.

Sebagai Wali Kota daerah hulu sungai dan daerah resapan air bagi Jakarta, Bima membenarkan pernyataan Gubernur DKI Jakarta yang menyebutkan bahwa daerah hulu menentukan banjir di Jakarta. “Jadi kita juga kerjakan itu (program naturalisasi Kali Ciliwung) dan kita sepakat dengan Pak Gubernur bahwa di hulu juga sangat menentukan,” tutur Bima.

Dirinya menjelaskan, semakin banyak kawasan Bogor meresap air hujan, maka air yang akan mengalir ke Jakarta akan semakin berkurang. Bima menuturkan, untuk mengatasi hal tersebut, pihaknya telah menyepakati usulan pembangunan kolam retensi yang dibantu oleh Pemprov DKI Jakarta. “Bogor sudah menyepakati ada usulan untuk membangun kolam retensi yang dibantu oleh Pemprov DKI Jakarta. Jadi tinggal eksekusi saja. Selain APBD, kami juga alokasikan untuk kolam retensi” kata Bima.

Komunitas Kopi Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar diskusi untuk mencari solusi dari permasalahan banjir yang terjadi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Dalam diskusi tersebut beberapa pakar lulusan ITB dengan berbagai latar belakang pendidikan menawarkan beberapa solusi.

Ahli Hidrodinamika ITB Muslim Muin menawarkan solusi Gerakan Lumbung Air (Gela). Menurutnya, Gela merupakan solusi yang murah dan tidak membutuhkan biaya banyak. “Gela itu, tangkap, resapkan, gunakan dan sisanya baru dibuang,” ujar Muslim di Novotel, Jakarta Pusat, Rabu (8/01/2020).

Seperti diketahui, awal tahun ini beberapa wilayah terkena banjir. Hal tersebut disebabkan oleh curah hujan pada 1 Januari 2020 mencatat rekor tertinggi dan mengakibatkan beberapa wilayah Jabodetabek terendam banjir.

Menurut Muslim, Gela merupakan soft engineering yang menjadi keharusan, dan karena lahan yang terbatas, normalisasi sungai itu tidak bisa dilakukan. “Seberapa normal yang dibilang normal itu?” kata Muslim.

Untuk hujan yang terjadi beberapa hari lalu, Muslim melanjutkan, itu 1.000 tahunan. “Jika ingin normal 1.000 tahunan ya diatur salurannya 1.000 tahunan yang gede-gede. Atau kita coba tangkap airnya, kita pangkas intensitasnya, jadi kecil debitnya, murahkan, dari pada bikin pompa untuk 1.000 tahunan, bikin saluran 1.000 tahunan,” lanjutnya.

Sementara ahli Meteorologi ITB Armi Susandi dalam diskusi tersebut menawarkan tiga solusi untuk mengatasi banjir tersebut. Pertama adalah kesiapsiagaan banjir, baik jangka panjang maupun jangka pendek. “Ini bidang saya, karena ini penting, kita bisa menentukan mau jangka panjang atau pendek, untuk sistem peringatan dini kita,” tutur Armi.

Armi berujar, perlu adanya riset mengenai cara membuat sistem informasi yang baik, sehingga jika ada potensi hujan maka pompa dipastikan berfungsi dan gorong-gorong harus bersih. Menurut Armi, peristiwa banjir awal tahun ini memiliki indikasi bahwa pompa saat banjir tidak berfungsi.

“Pasti ada sesuatu, bisa karena lambat mengoperasikannya, karena jika terlambat itu tidak bisa berfungsi, akan mati, jadi harus pas waktunya,” kata Armi.

Kemudian solusi kedua yang ditawarkan adalah konsep naturalisasi dan normalisasi sungai. “Menurut saya, konsep ini bagus dua-duanya, hanya butuh lahan untuk naturalisasi, karena teorinya perlu lahan kiri kanan sungai, nah mungkinkan kita menggusur penduduk?” ujar Armi.

Namun, Armi melanjutkan, hal tersebut berat untuk di hilir Jakarta, tapi di hulu sangat mungkin sekali. Jadi konsep tersebut berbenturan dengan masyarakat dan tidak disukai banyak pihak, ditambah dengan jenis tanahnya adalah tanah lempung seperti tanah liat, sehingga potensi penyerapannya menjadi rendah.

Sementara normalisasi menjadi peluang lain. Di Padang, Armi mencontohkan, normalisasi dilakukan, tapi bukan di hilir, melainkan di hulu.

“Nah lokasinya di mana untuk normalisasi dan naturalisasi? Di hulu naturalisasi, di hilir normalisasi. Kalau tidak kita akan berdebat terus, ini akan butuh waktu dan lahan. Di Korea betul sudah melakukan naturalisasi tapi prosesnya normalisasi dulu, perbaiki lingkungannya, baru terakhir naturalisasi,” tutur Armi.

Solusi ketiga adalah Teknologi Modifikasi Cuaca. Menurutnya, upaya BNPB melakukan TMC itu tidak efektif saat ini, efektifnya tanggal 31 Januari 2020. “Tapi tidak apa-apa, yang pentingkan upaya. Ini penting, setidaknya 1-10 Februari bisa kita siapkan dengan baik, kapan sebaiknya TMC dibuka,” lanjut Armi.

Sedangkan Ahli Perencanaan Kota dan Wilayah ITB Jehansyah Siregar membenarkan kata budayawan Ridwan Saidi yang mengatakan bukan airnya yang masuk ke perumahan, tapi perumahannya lah yang masuk daerah air. “Itu yang terjadi, jadi Jakarta itu memang daerah air,” katanya.

Dari sisi permukiman, Jehan menyatakan, normalisasi dengan betonisasi hanya sedikit mengambil lahan sempadan sungai yang sudah diduduki warga. Sedangkan naturalisasi benar-benar mengembalikan penampang sungai baik palung maupun kedua sempadannya ke ukuran alami semula.

“Jadi kan sudah ada Undang-Undang Sumber Daya Air itu lebarnya kan kanan kiri itu 50 meter. Kalau di luar kota itu 200 meter. Undang-undang juga mengatakan bahwa DAS (Daerah Aliran Sungai) itu harus menyediakan sempadan sungai dan palung sungai,” tutur Jehan.

Normalisasi juga harus diiringi dengan penggantian lahan dan relokasi penduduk yang seperlunya saja, yaitu sebanyak satu jalur deret bangunan yang paling pinggir sungai. Sedangkan naturalisasi menuntut adanya penataan pemukiman yang lebih luas dan komprehensif.

Isu tersebut sudah mulai masuk bidangnya di perumahan dan permukiman. Namun, penanganannya tidak bisa hanya sebatas mengganti rugi lahan sebagai tambahan uang proyek, karena dampaknya akan menyakitkan bagi masyarakat, diganti rugi, pergi, lalu miskin lagi. “Naturalisasi itu lebih berkelanjutan karena lebih pro people dan pro environment, inilah yang harus kita lakukan,” tambah Jehan.

Sehingga, menurut Jehan, yang juga seorang arsitek, kritik naturalisasi tidak realistis mengingat terlalu banyak permukiman warga yang harus dipindahkan ini harus dijawab. Pertama, kata dia, dengan naturalisasi palung sempadan sungai bisa dikembalikan hingga lebar total 200 meter yang sesuai dengan UU Sumber Daya Air.
“Masyarakat yang terdampak diberi program perumahan permukiman yang efektif dan komprehensif, sehingga meningkatkan kesejahteraan dan bukan hanya dana ganti rugi sebagaimana proyek pengairan biasa,” tutur Jehan. “Kemudian menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota secara signifikan. Ini poin saya, kalau 13 sungai di Jakarta dinaturalisasikan kanan kiri 50 meter, bisa meningkatkan RTH.”

Sementara ahli Meteorologi ITB Armi Susandi dalam diskusi tersebut menawarkan tiga solusi untuk mengatasi banjir tersebut. Pertama adalah kesiapsiagaan banjir, baik jangka panjang maupun jangka pendek. “Ini bidang saya, karena ini penting, kita bisa menentukan mau jangka panjang atau pendek, untuk sistem peringatan dini kita,” tutur Armi.

Armi berujar, perlu adanya riset mengenai cara membuat sistem informasi yang baik, sehingga jika ada potensi hujan maka pompa dipastikan berfungsi dan gorong-gorong harus bersih. Menurut Armi, peristiwa banjir awal tahun ini memiliki indikasi bahwa pompa saat banjir tidak berfungsi. “Pasti ada sesuatu, bisa karena lambat mengoperasikannya, karena jika terlambat itu tidak bisa berfungsi, akan mati, jadi harus pas waktunya,” kata Armi.

Kemudian solusi kedua yang ditawarkan adalah konsep naturalisasi dan normalisasi sungai. “Menurut saya, konsep ini bagus dua-duanya, hanya butuh lahan untuk naturalisasi, karena teorinya perlu lahan kiri kanan sungai, nah mungkinkan kita menggusur penduduk?” ujar Armi.

Namun, Armi melanjutkan, hal tersebut berat untuk di hilir Jakarta, tapi di hulu sangat mungkin sekali. Jadi konsep tersebut berbenturan dengan masyarakat dan tidak disukai banyak pihak, ditambah dengan jenis tanahnya adalah tanah lempung seperti tanah liat, sehingga potensi penyerapannya menjadi rendah.

Sementara normalisasi menjadi peluang lain. Di Padang, Armi mencontohkan, normalisasi dilakukan, tapi bukan di hilir, melainkan di hulu.

“Nah lokasinya di mana untuk normalisasi dan naturalisasi? Di hulu naturalisasi, di hilir normalisasi. Kalau tidak kita akan berdebat terus, ini akan butuh waktu dan lahan. Di Korea betul sudah melakukan naturalisasi tapi prosesnya normalisasi dulu, perbaiki lingkungannya, baru terakhir naturalisasi,” tutur Armi.

Solusi ketiga adalah Teknologi Modifikasi Cuaca. Menurutnya, upaya BNPB melakukan TMC itu tidak efektif saat ini, efektifnya tanggal 31 Januari 2020. “Tapi tidak apa-apa, yang pentingkan upaya. Ini penting, setidaknya 1-10 Februari bisa kita siapkan dengan baik, kapan sebaiknya TMC dibuka,” lanjut Armi.

Sedangkan Ahli Perencanaan Kota dan Wilayah ITB Jehansyah Siregar membenarkan kata budayawan Ridwan Saidi yang mengatakan bukan airnya yang masuk ke perumahan, tapi perumahannya lah yang masuk daerah air. “Itu yang terjadi, jadi Jakarta itu memang daerah air,” katanya.

Dari sisi permukiman, Jehan menyatakan, normalisasi dengan betonisasi hanya sedikit mengambil lahan sempadan sungai yang sudah diduduki warga. Sedangkan naturalisasi benar-benar mengembalikan penampang sungai baik palung maupun kedua sempadannya ke ukuran alami semula.

“Jadi kan sudah ada Undang-Undang Sumber Daya Air itu lebarnya kan kanan kiri itu 50 meter. Kalau di luar kota itu 200 meter. Undang-undang juga mengatakan bahwa DAS (Daerah Aliran Sungai) itu harus menyediakan sempadan sungai dan palung sungai,” tutur Jehan.

Normalisasi juga harus diiringi dengan penggantian lahan dan relokasi penduduk yang seperlunya saja, yaitu sebanyak satu jalur deret bangunan yang paling pinggir sungai. Sedangkan naturalisasi menuntut adanya penataan pemukiman yang lebih luas dan komprehensif.

Isu tersebut sudah mulai masuk bidangnya di perumahan dan permukiman. Namun, penanganannya tidak bisa hanya sebatas mengganti rugi lahan sebagai tambahan uang proyek, karena dampaknya akan menyakitkan bagi masyarakat, diganti rugi, pergi, lalu miskin lagi.

“Naturalisasi itu lebih berkelanjutan karena lebih pro people dan pro environment, inilah yang harus kita lakukan,” tambah Jehan.

Sehingga, menurut Jehan, yang juga seorang arsitek, kritik naturalisasi tidak realistis mengingat terlalu banyak permukiman warga yang harus dipindahkan ini harus dijawab. Pertama, kata dia, dengan naturalisasi palung sempadan sungai bisa dikembalikan hingga lebar total 200 meter yang sesuai dengan UU Sumber Daya Air.

“Masyarakat yang terdampak diberi program perumahan permukiman yang efektif dan komprehensif, sehingga meningkatkan kesejahteraan dan bukan hanya dana ganti rugi sebagaimana proyek pengairan biasa,” tutur Jehan.

“Kemudian menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota secara signifikan. Ini poin saya, kalau 13 sungai di Jakarta dinaturalisasikan kanan kiri 50 meter, bisa meningkatkan RTH.” [Aris Yulianto]

Share