Tips Pengelolaan Lahan Gambut Tanpa “Bakar” Bencana Asap
TRANSINDONESIA.CO – Akhmad Tamanruddin biasa disapa Pak Taman mempunyai tips atau cara pengelolaan lahan gambut tanpa dengan cara membakar yang mengakibatkan bencana kabut asap seperti saat ini dialami hampir seluruh daerah di Indonesia.
Pak Taman menyampaikan untuk memulai pengelolaan lahan gambut menggunakan abu untuk menyuburkan tanah.
“Lahan yang di sana lebih rendah dibandingkan di sini (lahan miliknya),” ucap Pak Taman sambil menunjuk lahan tetangga di sebelah yang sedang digarap, Jumat (16/8/2019), di Kalampangan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Lahan yang rendah tadi disebabkan karena dulunya lahan gambut tersebut dibakar terlebih dahulu oleh pemiliknya.
Lahan miliknya terlihat tinggi, tertata rapi, dan tampak beragam tanaman di lahan seluas 2 hektar tersebut. Taman sebagai salah satu binaan dari Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru, Kalimantan Tengah sejak 2004 lalu berhasil mengembangkan lahan seperti sekarang ini. Dia tidak menggunakan teknik membakar untuk mendapatkan kesuburan tanah tetapi dengan membuat media tanam (mineral dressing), yang terdiri atas tanah subur, dolomit, dan kotoran ternak, selain itu juga digunakan pupuk organic.
“Cara saya mengolah lahan gambut tanpa bakar adalah dengan tahapan lahan gambut yang sudah bersih dari akar pakis (kalakai) dibuat guludan (baluran) yang lebarnya maksimal sedepa, agar guludan dapat dibersihkan dari kedua sisi,” ujar Taman.
“Selanjutnya, buat lubang tanam dengan jarak menyesuaikan kebutuhan tanaman yang akan ditanam, misal untuk cabai 40 x 40 cm.”
Tahap berikutnya, “Ke dalam lubang tanam diberi media tanam yang sebelumnya sudah kita siapkan sebanyak satu genggam per lubang tanam,” ucap petani yang kerap diundang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman ini.
Perawatan guludan dilakukan dengan mengembalikan tanah guludan yang sempat terbawa air sehingga berada pada bagian bawah guludan, dikembalikan ke atas.
Apa yang dihasilkan saat ini dipetiknya melalui jerih payah dan keuletannya sebagai transmigran yang tiba di Kalimantan Tengah pada 1980 lalu. Dirinya hampir dibuat putus asa kala itu ketika sebagian transmigran lainnya memilih untuk kembali ke Jawa karena sulit untuk mengolah lahan gambut. Di sisi lain, sebagian warga memilih membakar lahan gambut untuk menyuburkan tanah. Menurut Taman, apabila membakar gambut justru permukaan gambut itu akan turun dan akhirnya menjadi rawa.
Di samping itu, melakukan penyiapan lahan dengan bakar itu menurut saya merugikan karena menyebabkan penurunan permukaan gambut dan membunuh jutaan mikroorganisme yang hidup di dalam tanah. Dia pun mempunyai teknik yang dipelajarinya dari karakteristik gambut. Lebih dari 1.000 petani dari Kalimantan Tengah dan wilayah lain telah belajar darinya. Dia mengharapkan tidak ada lagi yang mengolah lahan gambut dengan cara membakar.
Salah satu teknik yang dia pelajari yaitu menggunakan dolomit, tanah subur dan kotoran hewan yang dibutuhkan untuk menunjang kesuburan tanaman atau media tanam. Upaya itu dimaksudkan untuk mengalahkan sifat asam gambut dan kemudian dia berhasil dengan pendekatan agroforestry seperti sekarang ini.
Sementara itu, Peneliti Marinus Kristiadi Harun menyampaikan bahwa pendekatan agroforestry yang dikelola Taman ini memanfaatkan tanaman keras seperti Jelutung Rawa (Dyera pollyphylla) serta tanaman pertanian, seperti cabai, jagung dan ubi kayu.
“Lahan gambut di milik Pak Taman secara teori termasuk kawasan kubah gambut, namun terlanjur dijadikan sebagai lahan pertanian intensif,” kata Marinus. Oleh karena itu, sistem agroforestry menjadi salah satu sistem budidaya yang dipromosikan oleh Balai Litbang LHK Banjarbaru sebagai sistem yang ramah lingkungan. Sistem ini mampu menjembatani fungsi produksi dan fungsi perlindungan (konservasi) di lahan gambut.
“Sesuai dengan prinsip kelestarian, sesuatu bisa lestari berkelanjutan apabila ada keseimbangan antara aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek ekologi atau lingkungan,” ujar Marinus, Peneliti Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Banjarbaru.
Balai Litbang tempat dia bekerja juga mengembangkan beberapa sistem pertanian tanpa bakar, seperti pembuatan bahan organik lahan dengan gulma lahan dan semak belukar. Menurutnya, bahan organik tersebut dapat diolah menjadi barang bernilai ekonomi. Marinus mencontohkan produk itu dengan media tanam, pupuk hayati, kompos blok, dan pelet energi. Pupuk tersebut telah dikembangkan di Tumbang Nusa dan pelet di Sebangau Mulya, Kalimantan Tengah.
Berbeda dengan Taman yang mengembangkan agroforestry, Roudhatul Jannah bersama suami melakukan pendekatan agrosilvofishery. Tampak di lahan seluas 500 m2, beberapa jenis tanaman yang ditanam berdekatan dengan kolam ikan. Dalam kolam ikan, Roudhatul beternak jenis ikan gabus, sepat dan gurami. Ikan yang dipeliharanya tidak hanya untuk dikonsumsi namun limbah dimanfaatkan sebagai pupuk. Air kolam yang sudah tercampuk dengan limbah ikan tadi kemudian disalurkan menuju bak yang setiap saat digunakan sebagai pupuk organik tanaman yang telah disiapkan pada guludan. Alhasil tanaman dapat tumbuh subur dan dapat dipanen dengan nilai ekonomi tinggi. Hasil panen seperti seledri, selada, dan segau, tanaman khas Kalimantan Tengah, mampu menghidupi keluarga tanpa harus membuka lahan dengan cara membakar.[YES]