Pejuang dan Pahlawan Demokrasi

TRANSINDONESIA.CO – Dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Semboyan klasik demokrasi yang sangat termashur sebagai refleksi kedaulatan ada di tangan rakyat. Pesta demokrasi sebagai suksesi kepemimpinan dalan memilih wakil-wakil di parlemen menjadi ajang adu kewarasan.

Makna dalam pesta ini, kondisi aman dan damai menjadi tolok ukur. Kemenangan siapapun adalah kemenangan bangsa yang berpesta. Pesta demokrasi juga merupakan pesta kebudayaan suatu bangsa yang beradab. Pesta ini dilakukan sampai komunitas-komunitas terdepan pada TPS (tempat pemungutan suara).

Menjaga melayani agar seluruh warga yang memiliki hak untuk memilih dapat menyampaikan suaranya dengan bebas dan rahasia yang ditangani dengan jujur dan adil.

Pernahkah kita membayangkang betapa sulit dan rumitnya menyelenggarakan pesta demokrasi? Bagaimana menyiapkan administrasinya? Bagaimana menyalurkan material dan piranti-pirantinya? Bagaimana mengatasi kesulitan lapangan secara geografis? Bagaimana memgatasi potensi-potensi konflik dan kerawanan-kerawanan yang mungkin terjadi? Bagaimana mengajak masyarakat untuk mau berbondong-bondong datang ke TPS? Bagaimana mengatasi konflik dari TPS, PPS sampai kecamatan bahkan kota atau kabupaten?

Logistik yang tidak sedikit pengorbanan yang luar biasa belum lagi kaum-kaum penebar hoax yang memgganggu kaum hacker yang menyerang secaracyber? Mungkin ceritera menegakkan demokrasi ini bagai kisah 1001 malam yang ada terus menerus tiada henti.

Para kaum yang ambisius, yang kalah, yang merasa paling, akan mencaci memghujat bahkan inginnya ribut, konflik fisik, perang dan sebagainya untuk mencederai kewarasan dan kecerdasan suatu bangsa. Kecerdasan dan kedewasaan suatu bangsa yang beradab memang bukan pada siapa yang kalah atau siapa menang saja tetapi bagaimana tetap aman, damai, tentram dsn mampu menyelesaikan konflik secara beradab. Peradaban bangsa di era digital adalah tetap mampu menjaga marwah bangsanya menjaga harkat dan martabat manusia sebag aiaset utamanya.

Trans Global

Membodoh-bodohi, menghasut, memprovokasi rakyat untuk konflik bahkan berkelahi antar sesama anak bangsa ini merupakan penghianatan terhadap demokrasi. Ini memamerkan ketololannya, bahkan ketidakcintaannya terhadap bangsa dan negaranya.

Rakyat yang semestinya dicerdaskan malah dijadikan alas kasut ambisi yang tidak lagi menghormati manusia dan kemanusiaanya. Tetesan keringat, air mata, bahkan darah hingga nyawa para pejuang dan pahlawan demokrasi tidakkah dilihat? Tidakkah menjadikan haru?

Memang yang ada rasa haru hanyalah orang yang sehat jasmani dsn rohani sehingga hati nuraninya masih ada dan terus bisa bergerak untuk adanya haru, empati, sadar dan belarasa. Semua itu tidak ada pada orang gila. Pernahkan ada orang gila sakit atau merasa malu? Tentu tidak hanya orang waras yang punya rasa itu.

Para pejuang dan pahlawan demokrasi walau banyak duri, kerikil tajam bahkan tikaman-tikaman yang mengoyak hatimu namun bangsa beradab akan tetap sehat, waras mengenang dan mengapresiasimu. Tidak ada perjuangan yang sia-sia.

Kecerdasan bangsa yang berdsulat akan mampu menahan gempuran bahkan penhianatan dan adu domba. Kekuatanmu, perjuanganmu, keringatmu, air matamu, bahkan nyawamu menjadi bunga bakti bagi negeri ini, terus abadi.

Pesta telah usai, namun kegembiraan, keamanan, kedamaian, kewarasan tetap hars diwujudkan sebagai bhakti dan hormat kami sang pejuang dan pahlawan-pahlawan yang telah menorehkan tinta emas untuk tegak berdiri, berdaulat, bermartbat, aman damai, dan cerdasnya bangsa ini. [Chryshnanda Dwilaksana]

Share