Kawal Suara Rakyat, Itu Antusiasme yang Sah dan Konstitusional

TRANSINDONESIA.CO – Kalau istri semata wayang anda aktif menyiapkan konsumsi petugas TPS, dan/atau tabah menjadi koordinator saksi di TPS, anda patut surplus bahagia!  Itu indikator derap demokrasi patut disebut memasuki kelas antusias. Helat belum usai.

Pun emak-emak turut mengawal kualitatif suara rakyat. Suara yang dihimpun menjadi kuantitatif lembar C.1 Plano, itu berarti demokrasi konstitusional sudah merambah. Memasuki ruang  privat-domestik dan menggairahkan kamar tidur keluarga. Tak lagi hanya gebyaritas di ruang publik. Tak lagi activism of elite. Kalau dulu era Yunani Kuno politik hanya domein philosopher, King Philosopher diklaim Plato paling pantas menjadi pemimpin negara kota.

Zaman berubah. Selain pendidikan, revolusi teknologi informasi dan perkakas gadged mengubah politik. Dari activism of elite menjadi activisms of ‘emak-emak’.

Namun, dari sejarah dan epistimologi demokrasi identik suara aseli rakyat. Rakyat-lah asal mula dan pemilik kedaulatan. Bibliografi hukum konstitusi menyebut frasa Constituent Power. UUD 1945 menjamin itu dalam Pasal 1 ayat (2).  Menjaga suara rakyat sama penting menghimpunnya dari bilik-bilik TPS.

Kedaulatan rakyat adalah Ingredient Constitution. Itu bukan text book, bung. Akan tetapi hukum tertinggi,  sinonimnya konstitusi,  sinonim lain Constituent Act. Warga negara wajib patuh dan menjaganya. Menjadikannya Living Constitution. Norma konstitusi bukan menu restoran, meminjam satire Ewa Letowska, jurist-constitutionalis asal Polandia. Ada di daftar menu, tak ada di meja. “Apakah saya sedang membaca menu atau konstitusi kita?”, ujar Ewa Latovska yang menulis “A Constitution of Possibilities” pada East European Constitutional Review, Vol.6, Number 2&3, Spring 1997.

Helat pemilu nukleus bernegara. Penting dan konstitusional. Kawal dan jaga amanah 1/2 (setengah) suara pun, itu orisinal suara rakyat, seperti setetes air tak tak terpisahkan dari samudera.

Menjaga juncto mengawalnya  sama penting dan kostitusional dengan perjuangan elektoral  mengumpulkan suara rakyat dari TPS demi TPS. Kawal suara rakyat itu amaliah konstitusional.

Antusiasme mengikuti pemilu, mendaftar ulang, antri dan mendengar panggilan petugas di TPS, menerima kertas suara, membuka dan mencermati pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden, memelototi daftar nama Caleg, menusuk tanda  memberikan hak suara, mencelupkan kelingking ke botol tinta, dan seterusnya mengawal suara, adalah gerakan elektoralitas rakyat yang sah. Yang menjadi gizi menyehatkan bagi demokrasi konstitusional.

Itu potret antusiasme bernegara yang harus dijaga. Pemilu adalah inti sel relasi abadi rakyat-negara dalam bernegara. Partisipasi otentik itu musti dijaga dan dirawat agar tetap sehat.  Antusiasme yang konstitusional.

Idemditto antusiasme mengawal suara rakyat oleh rakyat untuk kedaulatan rakyat. Sebab itu, jangan malah dibalik dan diputar logika,  dituding antusiasme itu sebagai anti-sains.

Taklit buta tanpa kritik kepada pegiat Quick Count, kiranya itu sikap tidak relevan menihilkan jaga TPS dan kawal suara rakyat. Walaupun saintis tidak sama filsuf, namun catatan sejarah ajarkan betapa King of Philosopher habis kikis dikritik dan menjadi usang. Tersebab logika politik itu tidak linier pun boleh disebut unik dan terus berubah walau pro rakyat sebagai inti gagasan politiknya tetap stabil. Sebut saja ‘dynamic-stabilism’. Concursus-nya, diksi-diksinya bukan lagi monopoli filsuf pun saintis.

Lebih dari itu? Jangan pula gegabah salah sangka kepada antusiasme kawal suara rakyat itu dianggap delik atau kenakalan. Justru ini ciri benih keteguhan moral politik rakyat menjaga konstitusi. Juncto menjaga teraksesnya keaslian dan keseluruhan suara rakyat ke dalam rangkaian sistem elektoral cq. pemilu yang sah.

Pastikan, tak ada setengah suara pun yang tertinggal. Antusiasme itu bonus gizi bagi tumbuhnya konstitusionalisme dan pupuk bagi demokrasi konstitusional yang merupakan Ingredient Constitution.

Tersebab itu KPU dan Bawaslu musti memberi ruang gerak antusiasme itu. Mengapresiasinya menjadi garda yang turut aktif dan lazim-lazim saja mengawal independensi total yang musti nyata menjadi watak institusi penyelenggara pemilu.

Pembaca, postulat esai ini sederhana, pas seperti judulnya: Kawal Suara Rakyat adalah sah dan konstitusional. [Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia/MKI]

Share