“IDOLA”, Melawan Bahaya Rokok Jangan Tunggu Esok

TRANSINDONESIA.CO – Jangan jadikan perokok idola. Mengapa racun boleh beriklan? Walau waktu sempit, saya berazam datang demi “IDOLA”. Walau hanya beberapa belas jam menjelang acara, saya oke-kan tatkala sontak diminta mewakili Ketua KPAI menghadiri pembicaraan kebijakan RPJMN 2020-2024. Perihal planning document mengatasi bahaya rokok.

Karena soal itu soal-soal berbangsa dan bernegara yang serius pada anak. Untuk anak jangan sekunder dan coba-coba. KPAI sejak awal memang pro Tobacco Control (TC). Perlindungan serius pada anak dan remaja dari bahaya rokok adalah garis kebijakannya.

Dari helat penting Jumat, 22-03-2019 itu, patut mengeritisi total naskah teknokratik ikhwal penanggulangan tembakau. Hanya itu saja peluangnya jika negara cq Pemerintah cq Kementerian/Lembaga bekerja dengan basis rencana teknokratik.

Helat ini teramat penting daripada hanya urun rembuk TC, karena menjadi justifikasi agenda jangka menengah bahkan panjang. Akankah ada lompatan kuantum?

Saya menilai dokumen itu jauh dari harapan jika dihadapkan darurat persoalan rokok. Jika tanpa menyediakan hukum yang lugas dan keras memerangi bahaya zat adiktif dan karsinogenik itu.

Paradigmanya perlu diubah secara mendasar, yang semula masih program biasa yang memosisikan problematika rokok bukan extraordinary problem. Soal yang mengancam hak hidup anak dan remaja plus dewasa tentu saja. Kaum perempuan idemditto disasarnya.

Jika kegentingan dan kedaruratannya musti masuk “IGD” dan kua medis diperlakukan protokol “Intensive Therepeutic”, maka urgensi tobacco control adalah kedaruratan. Emergency is To Day. Do’nt wait till Tomorrow. Many think can wait. Children can not. Their rights is to day.

Dimanakah ada frasa dan policy statement ikhwal emergency policies dalam naskah teknokratik itu? Jika tiada, kiranya tak ada progresively and full achievement alias  kesungguhan negara dalam urusan TC disini.

Jika tidak ada sense of emergency on tobacco kills our kids,  bukankah keadaan itu membiarkan  lebih banyak lagi korban? Yang hak hidup dan kelangsungan hidupnya terancam. Bukankah hak hidup anak pun demikian kelangsungan hidup, tumbuh kembang anak dan perlindungan dijamin konstitusi. Bukankah UUD 1945 menjadi progresif karena konstitusi hak anak (KHA) itu. Bukankah hak hidup dan kelangsungan hidup tak boleh dikurangi walau sedikit pun.

Analog perkara Stunting pada anak, maka membiarkan bahaya rokok yang zat adiktif dan karsinogenik itu pada anak dan remaja, adalah anti kehidupan layak anak. Apa artinya dokumen IDOLA (Indonesia Layak Anak) tanpa hapuskan iklan, promosi dan sponsorship rokok?

Mari renungkan, apa artinya planning document jika enggan segera aksesi juncto ratifikasi FCTC? Masihkah berteriak pro kaum milenial jika asap rokok gagal dipadamkan? Masihkah bonus demografi hendak dijadikan sumbangan kemajuan peradaban milenial era 4.0, ketika “stunting-isasi” akibat nikotin dan asap rokok?

Mustahil menghantarkan milenial minus sinergis dan kerasnya ikhtiar TC.

Seruannya? Desakkan aksesi FCTC. Larang iklan, promosi dan sponsor rokok. Naikkan cukai  juncto harga rokok. Ubah dan perkuat aturan PP 109, termasuk mandat kelembagaan pengawasan dan penegakan hukum. Ajukan Tobacco Control Act.

Kua konstitusi, jaminan HAM cq. Hak Anak bukan hanya tanggungjawab eksekutif malah seluruh kekuasaan negara. Sebab negara bertindak lewat organnya (Hans Kelsen), patut memperkuat mekanisme pengawasan pelaksanaan hak anak, memperkuat tupoksi BPOM. Jika USA yang liberal memiliki organ FDA yang kuat (mungkin setara KPK di sini), mengapa enggan memperkokoh BPOM?

Akankah kita ketinggalan jauh, sementara Malaysia sudah melarang asap rokok di seluruh wilayah negeri jiran itu? Tabik.[Muhammad Joni]

Share