DUROKO

Seringkali manusia lali dan atau lupa. Dalam bahasa Jawa lalai bisa dimaknai sebagai tindakan orang yang lupa atau gila

Cerita Malin Kundang

TRANSINDONESIA.CO – Duroko dalam bahasa Indonesia “dot” dipahami sebagai “durhaka”. Kedurhakaan yang terjadi seakan tiada ruang dan waktu yang dapat membentenginya. Dampak dari kedurhakaan memang fatal bagi kehidupan.

Di semua sisi, di semua lini, kapan saja, di mana saja, bahkan siapa saja, bisa larut dalam pikiran perkataan dan perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan durhaka.

Dalam legenda Malin Kundang, anak yang durhaka kepada ibunya mendapat kutukan menjadi batu, 3 kisah Loro Jonggrang yang mengakali Bandung Bondowoso dengan berbagai tipu dayapun dikutuk jadi batu.

Bahkan kisah Sodom dan Gomora pun bisa dikategorikan sebagai kedurhakaan yang dikutuk dan dihancurkan.

Banyak kisah kedurhakaan yang dapat diambil nilai-nilai bagi hidup dan kehidupan manusia. Merasa paling baik dan paling benar dalam pikiran perkataan dan perbuatan menjadikan jumawa dan lupa akan Tuhan sesama dan lingkungannya.

Kedurhakaan, tatkala mulai ada di mana-mana dan dilakukan banyak kalangan dari yang berkuasa sampai dengan yang tidur di kolong jembatan atau di jalan raya.

Yang cerdik pandai sampai yang idiotpun melakukan kedurhakaan. Anak yang selalu mencela, mengeluh, bahkan memaki orang tuanya. Suami yang mengagung-agungkan istri namun menterlantarkan ibu bapaknya. Istri yang hanya menyalah-nyalahkan dan memgeluh menuntut terus tiada kepuasan terhadap suaminya. Murid yang menghujat bahkan menghajar gurunya.

Manusia yang merusak alam sekitarnya. Manusia yang menabur kebencian, memprovokasi bahkan berniat menghancurkan sesama dan bangsanya. Manusia yang mengatasnamakan Tuhan untuk kepentingan pendominasian sumber daya dan kekuasaan. Pekerja yang memghianati institusinya dengan menyalahgunakan kewenangan dan bekerja semaunya.

Banyak lagi contoh-contoh kedurhakaan yag dilakukan di mana-mana, kapan saja, dan siapa saja.

Kedurhakaan merupakan tindakan pelecehan atau tindakan tidak memghargai atau tindakan yang sengaja atau tidak sengaja berdampak pada hilang atau hancurnya tatanan kehidupan atau keteraturan sosial.

Penguasa pun bisa durhaka terhadap rakyatnya, dengan kebijakan-kebijakan yang tidak mensejahterakan atau malah mengorbankannya.

Seringkali orang yang tidak tahu balas budi pun bisa digolongkan kaum durhaka. Balas budi memang tidak sebatas materi, namun dengan eling saja sudah membahagiakan dan menyejukkan.

Seringkali manusia lali dan atau lupa. Dalam bahasa Jawa lalai bisa dimaknai sebagai tindakan orang yang lupa atau gila. “Lali jiwo” tdak akan eling atau ingat atau waras.

Manusia yang eling akan sadar walaupun melakukan kedurhakaan, dan akan mampu meratapi, menangisi, menyesali, bahkan bertaubat atas kedurhakaanya tadi.

Bagaimana dengan orang-orang yang lali tadi? merasa paling benar paling baik dengan kejumawaanya, menghakimi sesame, merusak lingkungan alam, menghujat orang tua, bahkan juga kepada Tuhannya?

Mungkinkah tinggal menunggu azab atau karma atau hukuman yang akan menimpanya.[Chrysnanda Dwi Laksana]

Share