Amaliah Judisial Itu Berat, Begini Gerakan Hukum KAHMI
TRANSINDONESIA.CO – Apa bedanya karakter kegiatan mahasiswa dengan alumninya? Amaliahnya! HMI sebagai organisasi mahasiswa lebih banyak diskusi reproduksi isu pemikiran, KAHMI lebih besar perannya dalam program/kegiatan amaliah.
Begitu ujaran Sigit Pamungkas, anggota Presidium Majelis Nasional Korp Alumni HMI saat memaparkan ‘Rethinking KAHMI’, setakat Majelis Nasional KAHMI menggelar silaturahmi dan pra rapat kerja, di Graha Insan Cita, Depok, 24 Maret 2018.
Amaliah, bagi saya adalah karya ibadah-muamalah yang tendensnya adalah kesejahteraan, tentu saja setarikan nafas kesejahteraan yang berkeadilan dan otentik Bukan kesejahteraan hanya segolongan dan keadilan palsu.
Idemditto, kemerdekaan memfutuhkan, pembuka jalan keselamatan untuk kemajuan kaum bangsa alias umat warga negara, bukan perulangan penindasan dan ketidakadilan. Sahih, kemerdekaan adalah jalan keselamatan, As-Salam.
Saat belajar asas hukum tata negara di Fakultas Hukum USU, Issanuddin kolega Prof. Dr.M. Soly Lubis mempidatokan bahwa hakikat Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai kemerdekaan adalah batas demarkasi yang menjadi tonggak meruntuhkan hukum kolonial kepada hukum nasional.
Sebagai mayoritas Islam dan peran sejarah umat Islam berperan dalam memerdekakan Indonesia dari penjajahan, sahih jika hukum nasional yang dicita-citakan beranjak dari hukum yang hidup (living laws), yang kua historis-sosiologis tidak bisa lepas kait dari hukum/syariat Islam. Sebagai sistem dan paradigma yang diakui dan dipelajari sebagai scientific of the law, sama saja dengan sistem hukum Anglo Saxon atau Eropah Continental. Sistem hukum Islam sah secara doktriner, sah sebagai ilmu hukum, dan aktual secara sosio legal yang diikuti/dipakai sebagai sumber hukum. Dan, tentu saja, dengan tidak rabun jauh sejarah, hukum Islam memiliki validity of norm menjadi rujukan normatif yang diakui dan diikuti dalam rentang sejarah hukum Indonesia.
Hal itu argumentasi yang sahih dan beralasan menjadikannya sebagai sumber “mata air” dari nilai, asas dan norma pembangunan hukum nasional, dan menjadi rujukan yang memiliki validity of norm dalam integrasi-harmonisasi ke dalam hukum nasional, tentunya dengan ikhtiar politik hukum nasional yang konstitusional.
Tak usah ada yang risau menganggapnya sebagai keganjilan dalam taman keberagaman. Itu hal faktual, historis, dan memiliki basis kuat dalam hal “logic and norms”. Sebab hukum itu suatu hal yang logis dan tentunya normatif.
Masih dengan Proklamasi Kemerdekaan sebagai titik bergerak kepada Indonesia berkesejahteraan, kuat argumentasi menjadikan warga masyarakat secara keseluruhan (for all), yang otentik dan aseli sebagai subyek penerima manfaat dan layanan dari upaya penyelenggaraan negara dalam pencapaian kesejahteraan dan keadilan.
Termasuk dengan membangun sistem hukum dan praktik hukum yang menghargai, menjamin, melindungi dan memenuhi hak-hak konstitusional, hak asasi manusia, hak dasar sebagai indikator kesejahteraan rakyat yang berkeadilan kepada kaum bangsa Indonesia. Yang mencakup kesejahteraan dan keadilan atas hak-hak sipil dan politik, maupun hak-hak ekonomi, sosial budaya dengan upaya yang progresif (progresively) dan pencapaian penuh (full achievement). Sehingga dalam keadaan konkrit kesejahteraan dan keadilan tidak hanya sekedar memperoleh dan kepesertaan atas kartu-kartu jaminan sosial semata.
Pemeraan kesempatan dan kemudahan atas berusaha, mengelola sumberdaya alam migas misalnya, memperoleh/redistribusi hak atas tanah dan akses, mengupayakan kebangkitan ekonomi kaum bangsa, adalah konkritisasi hakikat Proklamasi yang otentik.
**
Pada saat Munas KAHMI 2017 di Medan, menggema riuh suara desakan mendorong ekonomi yang berkeadilan juga afirmatif kepada kaum bangsa dan umat warga negara. Seingat patik, ikhwal itu dipekikkan tokoh muda Chairul Munadi, utusan KAHMI Medan, dan ide gerakan amaliah itu diterima menjadi hasil sidang paripurna Munas KAHMI 2017.
Namun, bagaimana caranya? Sebagai profesional hukum, patik percaya kepada hukum dan konstitusi sebagai perkakas dan cara menata penyelenggaraan negara.
Sebab itu, amaliah judisial adalah jurusnya. Itu berat. Bukan jurus ringan, perlu ketabahan dan loyal dengan cita-cita amaliah judisial yang sejiwa dan sebangun dengan hakikat Proklamasi itu. Walau amaliah judicial itu berat, biar kader/alumni HMI mengeliatkannya.
Lebih teknis lagi, amaliah judisial (istilah ini saya peroleh dari renungan usai Pra Raker KAHMI), dengan “membuat jalan baru” (tak hanya menjalani jalan) bagaimana konten dan prosedur penghargaan, jaminan, perlindungan dan fasilitasi pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak hukum, untuk menyegerakan sejahtera dengan cara mengupayakan sistem hukum sebagai perkakas social-muamalah engineering.
Ups, karena itu advokasi hukum sebagai amaliah judisial merupakan ikhtiar yang strategis dan menjadi “fardhu sosial politik” bagi kader/alumni HMI.
Lantas, apa guna penjelasan ini bagi amaliah KAHMI? Tentu energi bertenaga, sebab menjadi landasan pikir menggiatkan kesetaraan dalam memperoleh kesejahteraan dan keadilan bagi warga bangsa Indonesia yang nyaris sinonim dengan umat Islam.
Dengan gerakan hukum struktural yang berbasis kepada gerakan amaliah judisial, yang tidak hanya mengefektifkan/mematuhi hukum namun lebih dari itu ikhtiar membuat ‘jalan baru’ hukum yang berkeadilan.
Perlu diracik lebih details dan aplikatif sebagai strategi amaliah, termasuk memastikan bergiatnya kuantum advokasi yang terukur, dibaur dengan kegiatan kolektif amaliah bidang lainnya dalam wadah KAHMI dengan dirigen Koordinator MN KAHMI, Prof.R.Siti Zuhro, termasuk mengeliatkan amaliah judisial.
Oleh karena itu, perlu kelembagaan yang workable untuk giat advokasi dan bantuan hukum yang dimaksudkan demi keadilan hukum dan hukum berkeadilan, sebagai perkakas yang patut dan rasional dalam mencapai kesejahteraan untuk semua. Pun, yang affirmatif kepada kaum bangsa dan umat warga negara Indonesia. Bukan hanya kerja teknis judisial pembelaan dan litigasi individual.
Sehingga gerakan hukum kritis, advokasi hukum strukturalis, dan upaya-upaya hukum sebagai amaliah judisial yang dilakukan mencakup pula upaya mengusung politik hukum dan legislasi peraturan perundang-undangan yang pro warga masyatakat/umat Islam dan kaum bangsa Indonesia. Yang beralasan kuat untuk diikhtiarkan dan dimenangkan secara juridis-konstitusional menjadi sisi hukum nasional yang rahmatan lil alamin.
Dengan mengusung “fardhu” amaliah judisial.
Demi apa? Hanya satu, amaliah judisial yang berat dan “fardhu” itu demi sistem hukum nasional yang rahmatan lil alalmin, amaliah yang beranjak dari sari pati dan hakikat Proklamasi.
Kembali merujuk Sigit Pamungkas, hal penting amaliah KAHMI ya… gerakan amaliahnya, saya 100% setuju dan hanya menambahkan frasa “secara serempak dan kolektif”.
Dalam konteks amaliah judisial agarntak sendirian dan kesepian, amat penting membenihkan kemauan kolektif agar terbiasa mengupayakan amal advokasi dan pembelaan hukum atas hak-haknya. Mari bergerak membina jamaah amaliah judisial.
Sebagai amaliah yang tulus-ikhlas lillahi taala dan berjamaah, bukan karena kemustian individual agar bisa survival ataupun keterdesakan spasial sosio-ekonomi-kultural belaka akibat “walk away” dan tercerai berai.
Tersebab itu, dalam kegiatan konkrit, amaliah judisial tak boleh luput dari agenda studi hukum kritis atas konstitusionalisme, amaliah judisial sebagai review berbagai UU semisal takrif hak menguasai negara dari UUPA, isu/defenisi migas dalam perut bumi, hak lokal (local rights), previlege kaum bangsa dalam hak ekonomi (economic rights) dan hak komersial/pengelolaan (commercial/management rights), National Oil Company dalam review UU Migas, ide resources securitization ikhwal kekayaan negara dalam review UU Keuangan Negara/Perbendahaan Negara, pelibatan publik dan profesi medis dalam menjamin kedaulatan pelayanan kesehatan dalam review UU SJSN, UU Pendidikan Kedokteran, UU Tenaga Kesehatan, dan review keadilan agraria dalam reforma agraria terkait RUU Pertanahan.
Untuk itu, amaliah judisial mau tak mau memasuki kuantum advokasi dan litigasi hak konstitusional melalui judicial review Undang-undang, temasuk tak haram mengusung dan memulai constitutional compalint dengan/sebagai “jalan baru” dalam bernegara dan spasial lebar bagi pemikiran konstitusionalisme masa depan.
Jika diujarkan dalam satu kalimat Mission Statement, amaliah judisial itu difardhu sosialkan sebagai rukun amaliah studi hukum kritis yang menjadi basis amaliah judisial dengan menyiapkan aplikasi layanan yang membangkitkan kesadaran mandiri dan kolektif sebagai jamaah alumni HMI dalam advokasi hak hukum dan konstitusi yang mengambil peran tulus namun cerdas membanagun sisi hukum nasional yang rahmatan lil alamin.
Apapun itu, amaliah judisial hanyalah ikhtiar dan proses yang menjadikan credo ‘yakin usaha sampai’ menjadi gerakan amaliah warga insan ci(n)ta dengan ritme lebih pasti dan terukur. Allahu’alam. Tabik.
(Muhammad Joni, Ketua LBH MN KAHMI, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia, profesional lawyer/Managing Partner Law Office Joni & Tanamas)