Mahar Politik: Sebuah Kewajaran Dalam Pilkada

TRANSINDONESIA.CO – Sebagaimana layaknya organisasi lainnya, partai politik sebagai sebuah organisasi politik memerlukan dana untuk dapat berjalan dan berfungsi. Namun berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya, partai politik memiliki hubungan yang sangat erat dengan kekuasaan. Karenanya, keberadaan partai politik dalam meraih kekuasaan melalui Pemilihan Umum (Presiden, Legislatif dan Kepala Daerah) sangat membutuhkan dana sebagai modal pembiayaan operasional kegiatan pada kegiatan tersebut.

Pada kasus pemilihan kepala daerah, kita sering mendengar istilah “mahar politik”. Mahar politik dalam berbagai bentuk sering dilihat sebagai kontribusi keuangan kepada partai politik yang diberikan oleh bakal calon kepala daerah untuk mendapatkan dukungan dari partai politik.

Persoalan mahar politik menjadi semakin mencuat di saat kader Partai Gerindra La Nyalla Mattalitti di Pilkada Provinsi Jawa Timur yang terindikasi dimintai kesiapan dana sebesar Rp 40 miliar oleh Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Uang itu untuk keperluan pembiayaan saksi di tempat pemungutan suara.

Penulis, Syahrir

Praktek mahar politik di Indonesia cenderung terkesan negatif  karena dianggap sebagai penyimpangan dalam demokrasi. Mahar politik akan lebih berorientasi pada pihak pemberi mahar (apabila berkuasa), baik parpol maupun donor korporasi melalui kebijakan yang menguntungkan berbagai pihak tertentu daripada kepentingan publik. Selain itu mahar politik menjadi ”hutang” yang sangat mahal bagi setiap aspiran politik. Hutang tersebut perlu dikembalikan, dan ini akan mendorong merajalelanya korupsi.

Berkaitan dengan persoalan yang timbul, Bawaslu Pusat telah meminta kepada Bawaslu Provinsi Jawa Timur untuk menindaklanjuti masalah tersebut. Kita mengetahui bahwa Bawaslu dibentuk untuk melaksanakan koordinasi dan memantau tahapan pengawasan penyelenggaraan Pemilihan serta melakukan evaluasi penyelenggaraan Pemilihan (Pasal 22B UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota).

Pemanggilan oleh Bawaslu memang sudah sesuai dengan fungsinya dimana Bawaslu memanggil pihak Gerindra karena menerima dan menindaklanjuti laporan dugaan atas tindakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan mengenai Pemilihan. Salah satu pasal yang dituduhkan kepada Gerindra adalah pelanggaran terhadap Pasal 5 (e) Peraturan Bawaslu Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pengawasan Tahapan Pencalonan Pemilih dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota yang menjelaskan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak boleh menerima imbalan dari pasangan calon pada proses pencalonan untuk mendapatkan dukungan.

Apabila melihat isi Pasal 5 (e) tersebut di atas, sesungguhnya Gerindra tidak melakukan pelanggaran karena tidak menerima uang dari La Nyalla Mattalitti (LNM). LNM hanya menjanjikan akan memberi bantuan dana apabila telah didaftarkan menjadi calon gubernur saat pendaftaran Paslon Cagub/Wagub di KPU. Terlebih dengan tidak adanya bukti akan menyebabkan tidak bisa dilanjutkannya kasus ini. Walaupun seandainya bukti itu ada, tetap sulit diberlakukan kepada LNM, mengingat LNM bukan menjadi pasangan calon pada Pilgub/Wagub Provinsi Jawa Timur.

Permasalahan ini tidak akan muncul apabila LNM mentaati ikrar kader partai Gerindra yang berbunyi “tunduk dan patuh kepada ideologi dan disiplin partai serta menjaga kehormatan, martabat dan kekompakan partai” Sudah seharusnya LNM berjiwa besar dan ksatria dalam menerima keputusan partai dan pimpinan partai yang telah melihat dan memahami peta politik di Jawa Timur yang mengharuskan koalisi dengan partai politik lain dalam mengusung calon gubernur mengingat kursi Gerindra tidak memadai untuk mencalonkan LNM secara mandiri.

Sesungguhnya masalah mahar politik merupakan hal yang wajar dan biasa dalam kegiatan pemilihan umum. Hal ini tidak hanya ada di Indonesia. Kita dapat melihat contoh di negara lain bahwa praktek tersebut dilaksanakan pula, misalnya di Amerika Serikat saat Presiden George W Bush yang maju sebagai calon presiden pada 2000 memilih Dick Cheney sebagai cawapres, disebut-sebut melibatkan praktik mahar politik (political dowry). Demikian pula di Korea Selatan, koalisi Aliansi Baru, gabungan tiga partai oposisi, pada 2015 diberitakan media terbentuk berkat generous political dowry dari pihak tertentu.

Karena itu, DPRD Provinsi Jawa Barat sebagai mitra Bawaslu selalu berupaya serius dari berbagai pemangku kepentingan untuk menekan praktek mahar politik ini melalui pengawasan yang lebih ketat atas keuangan dan pendanaan para calon dan parpol dalam pileg, pilpres, dan pilkada di Jawa Barat. [H.Syahrir,SE,- Ketua Komisi I DPRD Provinsi Jawa Barat]

Share