KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MENUJU POLRI YANG PROMOTER (selesai)
TRANSINDONESIA.CO – Oleh: Chryshnanda DL
PENUTUP
Keluhan, kekawatiran, dan keputusasaan sering muncul dalam perbincangan dikalangan bawah hingga atas tatkala melihat kondisi sosial, ekonomi, politik yang tidak kunjung berubah secara signifikan. Menyedihkan memang, harapan menjadi sebuah pepesan kosong, angan menjadi cita di ruang hampa. Hingga akhirnya pasrah dan dengan sedikit harapan Tuhan berpihak kepada kaum lemah dan susah, dengan turunya Satria Piningit.
Satria Piningit bukanlah dewa atau malaikat yang dijatuhkan dari surga ke atas dunia. Bukan pula sebagai keajaiban yang serba instan. Satria Piningit akan muncul dari kalangan manusia kebanyakan yang sadar dan peduli akan penderitaan dan kesengsaraan banyak orang. Sadar dan pedulinya itu yang menjadikan spirit untuk berani berkomitmen terhadap dirinya untuk menyiapkan diri atau setidaknya hanyut dalam dunia yang serba carut marut sarat dengan KKN. Satria Piningit adalah lahirnya pemimpin yang waras dan cerdas. Waras artinya memahami apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya serta penuh kesadarian untuk menjalankannya. Cerdas bermakna visioner, mampu memperbaiki kesalahan di masa lalu, siap di masa kini dan mampu menyiapkan masa depan yang lebih baik. Disinilah pentingnya pabrik-pabrik pemimpin atau pencetak pemimpin dengan penuh kesadaran tanggung jawab menyiapkan pemimpin-pemimpin yang waras dan cerdas.
HARAPAN DAN PERJUANGAN ADALAH PENGORBANAN
“Sajroning turu aku ngimpi yen urip iku kabungahan, sajroning tangi aku meningi yen urip iku kuwajiban. Jroning tandang kuwajiban akumeningi kabungahan”. Puisi Rabindranath Tagore itu memberikan signal bahwa hidup merupakan kebahagiaan yang merupakan harapan bagi yang hidup, kebahagiaan merupakan hasil dari kewajiban yang merupakan suatu perjuangan (kerja keras). Puisi tadi sejalan dengan “harapan perlu diperjuangkan, perjuangan adalah pengorbanan”. hidup adalah harapan, Harapan tidak datang dengan sendirinya namun harus diperjuangkan dan perjuangan merupakan pengorbanan.
Pemimpin pembawa harapan, kehidupan, simbol perjuangan dan dialah yang harus berani dan rela berkorban. Ketulusan hati dan kejujuran adalah karakter pembawa harapan. Tulus untuk berjuang dan rela berkorban demi kemajuan, peningkatan kualitas hidup rakyat serta jujur, tidak membohongi rakyat. Pemimpin bagi polisi yang promoter adalah role model yang berkarakter dan menjadi ikon perubahan, simbol perjuangan, pembawa harapan menjadi kenyataan. Tatkala sang pemimpin kotor, penuh dengan kepentingan, tukang rekayasa, produk hutang budi, produk titipan atau pesanan kelompok kepentingan, track record yang menjadi simbol uang, maka cepat atau lambat penyakitnya akan kumat dan sudah dapat dipastikan tidak jujur dan membohongi rakyat.
Pemimpin diberi kewenangan, kekuasaan, kemudahan dan berbagai fasilitas yang melampui orang lain. Itu semua diberikan sebagai amanah dengan harapan sang pemimpin menjadi fajar budi memberi inspirasi, bahkan meyadarkan yang dapat menghidupkan. Tatkala pemimpin membawa amanah maka berkah yang didapat orang yang dipimpinnya dan menjadikan amanah terwujud. Sebaliknya, tatkala pemimpin hanya mencari kesenangan pribadi maupun kelompoknya dan mengabaikan yang dipimpinya maka sang pemimpin akan dihujat bahkan dilaknat serta membawa bala kesengsaraan pada yang dipimpinnya. Tatkala sang pemimpin tidak tulus dan tidak berhasil mewujudkan amanahnya, sebenarnya ia sudah menebar dosa. Karena ia sudah mungkar atas fasilitas yang dia dapatkan.
Kalau pemimpin yang selalu di dewa-dewakan dan menganggap dirinya dewa maka, ia sebenarnya sudah menyakiti yang dipimpinya. Kesalahan sang pemimpin menjadi dosa karena dampaknya luas bagai debu yang menyesakkan nafas kehidupan banyak orang. Kesalahan-kesalahan akibat kelalaian, akibat ketidak mampuaanpun merupakan dosa bagi pemimpin. Apalagi karrna kesengajaan dengan merekayasa, mengajarkan dan memerintahkan. Salah memilih orangpun sebenarnya menjadi suatu dosa. Karena dengan salah memilih orang demi kroni dan kepentingan yang tidak sesuai dengan hati nurani bagi hidup dan kehidupn akan menyengsarakan. Dengan tidak mampu memajukan saja, sudah menyusahkan apalagi membuat kesalahan. Diam, tidak melakukan sesuatu, membiarkan terjadinya penyimpangan, inipun dosa bagi pemimpin. Dosa diam inilah juga menyengsarakan. Semakin tinggi tingkat kepemimpinanya semakin luas tebaran debu dosanya, dana semakin banyak yang disengsarakanya.
Tatkala berebut jabatan, kekuasaan bagi orang beriman ini cermin berlomba-lomba menebar debu dosa. Dan bagi yang mendoewa-dewkan jabatanpun juga sebagai angin penyebar debu dosa. Konteks dosa ini bukan urusan baik dan benar secara pribadi dengan Sang Khaalik,melainkan juga yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan banyak orang.
Sebuah cerita klasik dari Borobudur tentang burung berkepala dua bisa kita jadikan analogi untuk melihat pemimpin dan kepemimpinannya. Kepala bagian atas memakan buah-buahan dan makanan-makanan yang segar, enak, dan manis. Kepala yang satunya (kepala bawah) memakan sisa-sisa dari apa yang dimakan oleh kepala atas. Suatu ketika kepala bawah protes kepada kepala atas agar sesekali diberinya makanan yang enak seperti yang dimakannya. Tak disangka kepala atas mengatakan: “Wahai kepala bawah, terimalah dan syukurilah apa yang kau nikmati. Kita toh satu tembolok. Jadi, makanlah apa yang menjadi makananmu.” Mendengar jawaban seperti itu, kepala bawah merasa dilecehkan. Dalam hati ia berkata: “Kalau begitu aku akan makan sembarangan, toh satu tembolok juga”. Pada suatu hari kepala bawah nekat makan jamur beracun. Matilah burung berkepala dua tadi.
Cerita di atas dapat dikaitkan kepada pemimpin dan gaya kepemimpinannya yang kelihatan anggun dan berwibawa. Ia menempatkan posisi pada menara gading dikelilingi kemewahan puja puji dan berbagai kenikmatan duniawi. Di lain pihak, anak buah yang menjadi bawahannya seakan budak yang dijadikan ganjalan penyangga kemegahannya itu. Ia tak mempedulikan kesedihan dan kesusahan bawahannya. Ia juga tidak mempedulikan kesengsaraan masyarakat luas akibat kebijakan yang diambilnya. Cepat atau lambat bawahan, anak buah ini bisa saja nekad, melakukan harakiri, melakukan tindakan fatal yang muaranya memang pimpinan tadi akan rontok di singgasananya. Mereka bisa saja nekad karena pemimpin sudah lupa Pemimpin tidak jarang malahan menyakiti mereka. Anak buah sudah biasa sengsara, tidak usah dimanja nanti malah nglunjak dan repot mengatasinya, demikian pikir sang pemimpin. Bayangkan saja, betapa tega seorang pemimpin menjadikan bawahannya sebagai ganjel kesuksesan dan keberhasilannya. Empati seorang pemimpin terhadap anak buah seharusnya merupakan kesegaran roh dan jiwa mereka dalam bekerja.
Pemimpin yang berempati tidak mematikan tetapi menyadarkan, membangkitkan, menghidupkan, memberi daya gerak dan daya untuk menjadi dinamis tumbuh dan berkembang. Dirinya bukan menjadi matahari tetapi justru menjadi bulan, memberi pencerahan dan penerangan di saat kegelapan. Di saat terjadi kesesatan, di saat terjadi kelesuan, di saat terjadi keputusasaan pemimpin tampil sebagai sang penuntun, pembimbing, bintang pedomam, arah, dan tujuan. Hidupnya siap berkorbaan dalam membangun dan mencapai sasaran. Tak gentar terhadap hambatan, tantangan, ancaman yang bisa merusak dan mematikan dirinya maupun keluarganya. Jiwa solidaritas seorang pemimpin akan melegenda. Pemimpin dikenang bukan dari kekayaannya, kezalimannya, tetapi karena kerendahatiannya, empatinya, rasa senasib sepenanggungan, kerelaan berkorban, kemampuan membawa kemajuan, menempatkan pada tempat sebagaimana yang seharusnya. Dadi ratu kudu ono lelabuhane, ora ono lelabuhane ora ono gunane. Ratu iku anane mung winates dadi kawulo tanpo winates.
“Saya lebih senang dan bangga berada di tengah-tengah anak buah saya,” demikian dikatakan oleh Jend. Sudirman. Walau sakit dan harus ditandu, ia ikut bergerilya untuk merasakan apa yang menjadi penderitaan anak buahnya. Kehebatan seorang pemimpin bukanlah pada dirinya dan tebar pesonanya, tetapi ada suatu transformasi menjadi kebaikan dan selalu ada pebaikan. Mahatma Gandi sebagai pemimpin berani dan mau memberi teladan dengan menenun sendiri pakaiannya. Ia tidak harus dengan berjas dasi. Martin Luther King Jr, pemimpin pergerakan antirasialis di Amerika, pun memperjuangkan hak-hak kaumnya dan berempati untuk tidak dengan kekerasan. Bahkan, ia pun menjadi korban kekerasan yang menghilangkan nyawanya. Demikian pula Mahatma Gandhi.
Lagi-lagi pemimpin memang yang akan memberi warna menjadi bintang pedoman arah dan tujuan. Menginspirasi, mampu memberdayakan dan mengajak anak buahnya mewujudkan mimpi-mimpinya. Di zaman modern ini pemimpin diituntut untuk berani, cerdas, dan murah hati, bukan dilayani. Dia mau menjembatani dan mau memahami bahkan menjadi role model bagi rekan dan bawahannya. Ki Hajar Dewantoro tokoh pergerakan nasional pendidikan mengajarkan filosofi kepemimpinan: 1. Ing Ngarso Sung Tulodo, 2. Ing Madyo Mangun Karso, 3. Tut Wuri Handayani.
Para Pemimpin yang transformatif akan memberikan polisi dan pemolisiannya menjadi Promoter yang mampu mewujudkan Polisi sebagai penjaga Kehidupan, pembangun peradaban dan sekaligus pejuang kemanusiaan.*****
Daftar pustaka
Bayley Wiliiam G, 1995, The Encyclopedia of Police Science ( second edition ), Newyork & London, Garland Publishing.
Bayley David H , 1994, Police for the Future (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto),jakarta, Cipta Manunggal.
————————, 1998, What Work in Policing, New York, Oxford University Press
Coser, Lewis, 1956, The Functions of Social Conflict. New York: The Free Press, 1956
Chryshnanda, 2009, Menjadi Polisi Yang Berhati Nurani, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
—————-, 2009, Polisi penjaga kehidupan, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
—————-, 2011a, Kenapa Masyarakat Takut dan Enggan Berurusan dengan Polisi, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
—————-, 2011b, Pokoknya Anda Saya Tilang, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
—————-, 2014, Polisi Rakyat Iku Jujur Ora Ngapusi, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
—————-, 2015, Electronic Policing “Pemolisian di era digital, Jakarta, Belum diterbitkan
—————-, 2016, Othak Athik Gathuk“Celometan Mafia Birokrasi, Jakarta, Group Mataraman Press
Finlay mark dan Ugljesa Zvekic,1993, Alternatif Gaya Kegiatan Polisi Masyarakat, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta, Cipta Manunggal,.
Friedmann Robert, 1992, Community Policing, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta, Cipta Manunggal.
Haryatmoko, 2003, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta, Kompas
—————–,2014, Etika Publik, Yogyakarta, Kanisius
Mangun Wijaya YB, 1999, Menuju Indonesia yang serba baru, Jakarta, Gramedia.
Kunarto, 1995, Polisi harapan dan Kenyataan, Klaten, CV Sahabat.
————,1995, Merenungi kritik terhadap Polri (buku ke 2),Jakarta, Cipta manunggal.
Rahardjo, Satjipto, 2002, Polisi Sipil,Jakarta, Gramedia
———————–,2000, Sosok Polisi Rakyat Menuju Indonesia Baru, Diskusi panel LP3HI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Penegakan Hukum Indonesia) Semarang.
———————–, 2001, Tentang Community Policing di Indonesia, Makalah seminar “ Polisi antara harapan dan kenyataan”, Hotel Borobudur, Jakarta.
Reiner, Robert, 2000, The Politic of The Police, Oxford University Press.
Suparlan Parsudi,1997, Polisi dan Fungsinya Dalam Masyarakat, makalah Diskusi dengan Angkatan I KIK UI, jakarta, 6 Agustus 1997.
————————, 2004 (ED), Bunga Rampai Ilmu Kepolisian, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
————————, 2009, Ilmu Kepolisian, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
Sutrisno SJ, Mudji, 2004, Ide-ide pencerahan, Jakarta, Penerbit Obor
Wibowo, Setyo, 2015, Platon: Xarmides (Tentang Keugaharian), Yogyakarta, Kanisius.[]