Munas MN KAHMI “Jaman Now”: Jangan Pulak Seremonialis dan Menangkan Keadilan Otentik!
TRANSINDONESIA.CO – Syukur Alhamdulillah, kalau tak ada aral melintang-lintang, walaupun jalan masih ada berlubang, kota Medan menjadi tuan rumah penyelenggaraan helat Musyawarah Nasional (Munas) Korps Alumni HMI (Kahmi), 17-19 Novemver 2017. Sepenoh hati sepenoh harap, kiranya helat korp insancita bermartabat itu jangan pulak menjadi seremonialis.
Dalam kondisi ekonomi saat ini yang hendak memajaki pendidikan, terlalu mahal biayanya dan kikis lesap momentum sejarahnya, andai hanya helat formal biasa-biasa, tanpa reproduksi daya gedor pemantik perubahan. Yakni perubahan struktural keadilan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang konkrit bagi rakyat dan daerah, khususnya Sumatera Utara (Sumut). Ibarat pepatah Melayu, sekali air laut pasang, pantai harus berubah!
Walau tak perlu pawai mengangkat obor seperti kisah heroik santri ataupun prosesi pesta olahraga olimpiade, dengan nama dan gestur kota Medan saja sudah cukup hangat untuk menjadikan Munas Kahmi ini surplus semangat. Walaupun kinyam-kinyam durian, kerang rebus pak Rifin di Simpang Limun, dan Sop Kambing Datok (SKD) di kawasan ringroad, tak pula boleh lewat diabaikan begitu saja. Sembari berfoto selfi, upload di IG dan eFBe, ya… memajukan promosi kulineri Deli meluaskan citarasa resep asli pribumi.
Munas Kahmi di Medan harus bersemangat! Maksudnya? Munas Kahmi didaulat agar tak sungkan diri mendesakkan kebijakan Politik Keadilan: ya…, adil atas penguasaan sumberdaya alam, energi dan mineral, redistribusi hak lokal dan hak komunal atas tanah dari penguasaan tanah skala besar. Yang kini dirasakan masih timpang timbangan.
Tidakkah anda terpantik dengan data ini? Aha…, 93% daratan Indonesia dikuasai swasta dan asing! Itu data versi The Institute for Global Justice (2015). Petinggi BPN (2007) mengguak data ini: 0,2% penduduk Indonesia menguasai 56% aset nasional berupa properti, tanah dan perkebunan. Ada 10 group pengusaha kuasai lebih 27 juta hektar hutan dengan 228 pemegang HPH. Setara 45% dari 60 juta hektar hutan yang dialokasikan hntuk HPH.
Konkritnya? Munas Kahmi di Medan musti menghasilkan keputusan bersemangat bulat yang memiliki daya ungkit perubahan indeks kesejahteraan sosial secara eksponental. Kita yang paham bernegara, tak elok hanya puas dengan tren simplikasi kesejahteraan hanya sekadar reproduksi kartu-kartu jaminan sosial yang justru menguatkan tesis sentralistik dalam pengusahaan kesejahteraan sosial. Walau masih saja belum mencakup semua (for all) dan masih mengalami “pendarahan”, baik Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), “cash money” ala PKH, apalagi jaminan perumahan rakyat yang mengalami 15 jutaan housing backlog (defisit rumah), belum lagi kawasan permukiman kumuh. Namun kartu-kartu kesejahteraan masih meneguhkan paradigma bahwa rakyat dan daerah adalah obyek “proyek jaminan sosial” bukan subyek mandiri kesejahteraan itu sendiri. Jaminan kesejahteraan bukan hanya hal ikhwal reproduksi kartu, walau kartu-kartu perlu dan konkrit membantu.
Kalau saja ada ayahanda Lafran Pane saat Munas Kahmi nanti, patik ingin mengajukan pertanyaan yang terbit dari kegelisahan:
“sahih-kah jika Kahmi dan HMI sensitif dengan tema kesejahteraan sebagai inti bernegara?”
Saya di Jumat malam hening tatkala menghentakkan tuts smartphone ini membayangkan jawaban imajiner ayahanda Lafran Pane berikut ini:
“Betul awak ananda Joni”. Sejurus diam, lantas balik bertanya dan bertutur lugas. “Mengapa? Sebab sejahtera adalah alasan kita bernegara”.
Tidakkah terusik rasa keadilan dan kadar inteligensia kita, jika penguasan mutlak pemerintah pusat atas INALUM paska divestasi konsorsium NAA Jepang? Yang tidak menyisakan 0,1% pun saham untuk pemda dan masyarakat lokal Sumut, padahal air yang dipakainya dari sumber mata air danau toba dan dialiri melalui sungai Asahan yang terhampar di tanah Sumut, bukan Jakarta.
Interupsi, tuntutlah pusat, gedorlah sanubari Presiden Jokowi, yakinkan Wapres JK agar pusat memberikan golden share, ya… setidaknya 30% saham INALUM kepada daerah dan idemditto perkenankan ikut dalam pengusahaannya. Bukan justru hendak membelinya, seperti membeli tanah di pekarangan sendiri. Itu baru keadilan otentik. Jangan pulak Jakarta yang kaot dan ambil semua, bung.
Kalau tidak, ya gagasan hak lokal (local rights) dan Participating Interest (PI) bagi keadilan setempat hanya ilusionis.
Apalagi INALUM menjadi holding company BUMN pertambangan. Legal engineering dan legal improvement process yang makin jauh dan sulit dijangkau.
Juga, pemberian hak lokal itu, idemditto memperjuangkan hak komunal atas saham maupun pengusahaan korporasi perkebunan negara (PTPN) yang tengah transformasi segala lini usaha dalam kerangka holding company (perusahaan induk) BUMN perkebunan.
Notoir feiten, PTPN 3 (Persero) yang paling moncer dan membawahi 13 PTPN lain, lahan kebunnya berada di Sumut. BUMN pelat merah itu sebagai ‘champion’-nya, lantas apa artinya bagi Sumut?
Termasuk, pastikanlah arah kebijakan redistribusi tanah ex HGU, peralihan fungsi lahan, dan reforma agraria yang jangan pula hanya dimaknai kuantitatif memperbanyak sertifikasi tanah, namun abaikan tema inti yakni redistribusi tanah bagi petani, masyarakat adat lokal dan masyatakat komunal.
Termasuk pula, bukalah jurus Local Partnership dalam pengusahaan kawasan wisata danau toba. Berilah ruang menyertakan peran masyarakat lokal dan Pemda sekitar/selingkar danau sebagai ‘Ko-Otorita’.
Rancanglah keadilan ekonomi atas pengusahaan danau toba dengan skim Public and Privat Community partnership (PPCP), bukan hanya sebagai penonton dan justifikator saja.
Kepada sahabat saya H.Bahtiar Sinaga, S.H., Ketua Majelis Daerah (MD) Kahmi Simalungun dan Prof.Dr.Hasim Purba, S.H.M.H. yang masih bertemali erat dengan masyarakat adat Simalungun, patik julurkan tangan dan serangkum pelukan hangat serta sebuah ujaran motivasi semangat untuk tabah memperjuangkannya di forum besar nanti.
Berjuang menuntut perubahan struktural atas keadilan ekonomi ‘jaman now’ adalah takdir sosial yang indah dan mudah. Acap efektif dengan perkakas smart, mudah tanpa batas bisa mengunggah “suara Tuhan” dan aspirasi otentik dari genggaman tangan di era revolusi digital.
Idemditto, tak santun jika tidak menitipkan harapan serupa kepada sahabat dan kawan seperjuangan dari MD Kahmi se-Sumut yang tentu memahami bagaimana curhat rakyat sebab kekurangan listrik dan jalan rusak-rusak. MD Kahmi Langkat mengerti bagaimana ironi berakhirnya kejayaan tambang minyak di Pangkalan Berandan, yang membuktikan benar tesis siklus 100 tahunan kejayaan-kejatuhan kota tambang. Dengan dedikasi dan jalinan tangan Ketua Majelis Wilayah (MW) Kahmi Sumut Kkd.Ir.Murlan Tamba berikut jajaran pengurusnya serta panitia yang bertungkus lumus mengusahakan Munas Kahmi bersemangat.
Ada ungkapan sederhana yang kaya makna, bahwa negara adalah perluasan dari kampung/daerah kita. Kiranya kita dalam satu keyakinan bahwa, pengakuan ‘share values’ harus diberikan kepada rakyat daerah dan pemerintah daerah, karena tanpa daerah, tak ada validitas dan otentisitas pusat dalam pengusahaan sumberdaya alam dan energi termasuk obyek/destinasi pariwisata danau toba yang indah penuh kesan tiada takaran.
Energy of Indonesia
Majelis alumni HMI yang terhormat,
Bukan tanpa alasan meminta Munas Kahmi membuat keputusan yang bertenaga kuat dan tinggi martabat, yang terbit bangkit dari pangkalan energi keluarga besar alumni HMI dalam takdirnya sebagai korp insancita. Patut menggemakan alumni HMI korp insancita adalah ‘Energy of Indonesia’.
Itu wujud nyata dari karakter kader HMI yang bersyukur dan ikhlas dalam berhimpun, dan yakin usaha sampai dalam setiap gerakan.
Yang kokoh diaktualisasikan bahkan pada zigzag patahan zaman.
Kehilangan satu saja peran efektif kader ‘hijau hitam’ alumni HMI korp insancita dari pangkalan ‘Energy of Indonesia’, alamakjang kiranya itu jauh lebih mencemaskan dari punahnya sehamparan pulau terluar ataupun sekawasan konsesi pertambang mineral.
Tebalnya giroh keIslaman dan semangat keIndonesiaan, utamanya alumni HMI saat ini gak perlu diragukan, malah musti dilakoni dalam aksi transformatif-konstitusional.
Kita yang terbiasa cermat dan tak keliru dalam presisi inci demi inci menyikapi tekongan zaman dan fasih membaca “A to Z” arus aspirasi sosial politik generasi milenial ‘jaman now’. Yang menghendaki perubahan substantif, pada zaman yang surplus generasi digital bertumbuh subur dalam semaian semangat ukhuwah Islamiah dan wathoniah.
Kinerja umat yang cerdas dan teduh mengelola aspirasi asli, sebut saja seperti fakta aksi super damai 212, membuktikan adanya power energi insaniawi dari lapis anak bangsa ‘jaman now’ yang berbasiskan keIslaman dan keIndonesiaan dalam setarikan nafas, yang patut diagregasi dalam membangun negara cita Indonesia.
Dalam satu “sapuan kuas” yang menghasilkan citra warna-warni lukisan Indonesia yang indah bermartabat. Seperti warna-warni benang raja yang elok di angkasa seusai turun hujan, yang meruntuhkan kokohnya dominasi kuasa sang siang.
Situasi itu membuktikan kebenaran ijtihat Ibu & Bapak Pendiri Negara Indonesia bahwa: Islam adalah “nukleus” Indonesia yang rahmatan lil alamin dengan pandangan hidup Pancasila, yang notoir feiten, sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah gagasan inti bernegara, dan pertemalian paling mesra yang mempersatukan bangsa Indonesia.
Billahittaufiq wal hidayah,
Wassalamualaikum warahmatullahi wabatakatuh.
[Muhammad Joni,SH.MH, – Advokat – Alumni HMI Medan]