Kota Baru “Tak Bertuan” Milik Siapa? [Bag-2]
TRANSINDONESIA.CO – Kota dibangun di tanah (setempat); Soal lain? Akankah membangun kota-kota baru serupa saja dengan pembangunan kawasan perumahan atau gedung perkantoran dalam skala luas dan besar? Yang kemudian bermetamorfosa menjadi kota baru mandiri bahkan the most beuatifull metropolitan city. Bahkan dengan nama yang baru sama sekali dari sebutan lokal setempatnya.
Tentu berbeda. Andai mengasumsikan membangun kota baru mandiri idemditto hanya konsep, urusan dan rancangan kreasi swasta saja, tak ada rasionalnya pemerintah lepaskan kendali teritorial, dan menganggap usai fungsi dan kehadiran pemerintah ketika pengembang sudah mengantongi serenceng ijin-ijin saja.
Tentu ada pertanyaan mendasar yang hendak diajukan. Masihkah terletak di atas tanah dan ruang publik kota-kota baru hendak dibangun? Tentu saja. Karena belum ada kota negeri di awan. Jika kota-kota baru di bangun di atas tanah, dan setiap subyek hukum termasuk Pemerintah dan Pemda wajib mengikuti rezim Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), maka kota-kota baru itu tak lepas dari keterikan absolut dengan tanah, perairan dan ruang udara. UUPA menyebut ruang udara dengan diksi ruang angkasa untuk menyebut ruang di atas tanah. Bahkan dikenali Hak Guna Ruang Angkasa (Pasal 48 UUPA).
Hamparan tanah dimanapun berada menjadi kawasan setempat yang dikenali, dan setiap tempat sudah ada nama lokalnya. Sudah ada komunitasnya. Mengganti nama lokus geografik-lokal setempat dengan kosa kata kota “xyzkarta” yang sama sekali baru adalah pengaburan identitas geografik lokal-setempat. Dan, penyingkiran/pembedaan komunitas lokal-stempat. Itu adalah over exspose yang ahistoris, dan patik mengalami kesulitan kronis dalam menemukan justifikasi etis. Bandingkanlah konsep disain kota baru yang hendak dikembangkan pemerintah, pun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), technopark/science park semuanya menggunakan nama lokal aseli setempat.
Jika terikat absolut dengan tiga anasir dalam rezim UUPA itu, maka rujukan pertama dan utamanya adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Bahwa bumi, air dan ruang angka yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Andaipun hak atas tanah, semisal Hak Guna Bangunan (HGB) ataupun Hak Pengelolaan telah diberikan kepada pengembang swasta, selagi masih terikat dengan rezim UUPA, maka pemerintah tidak hanya hadir dengan memberikan ijn-ijin peruntukan pembangunan properti kota baru saja. Namun, sebagai protector of the peoples pemerintah patut mengajukan pertimbangan, konsep pembanding, dan bahkan model bisnis yang pro local society pemilik asal tanah dengan justifikasi yang berasal dan digali dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki landmark court decisions yang mendefenisikan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” itu bukan hanya membuat regulasi (regelendaad), namun mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad). Karenanya, anasir tanah tempat dibangun kota baru maka lingkup fungsi pemerintah tidak hanya mengadakan ijin alias kebijakan (beleid) saja.
Apakah pembangunan kota baru itu terkait dengan konsep pembanding, model bisnis yang dirancang mengacu defenisi “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”? Ataukah pembangunan kota baru, pun demikian pemasaran dan penjualan properti yang dibangun sang developer itu hanya dianggap perbuatan perdata biasa? Tentu tidak. Tersebab itu, tidak tepat jika pemerintah membiarkan konsepsi pembangunan kota baru tanpa campur tangan otoritas administrasi pemerintahan. Termasuk bentuk korporatisasi pembangun dan pengelola kota baru.
Berbagai kosa kata teknis pembangunan perumahan skala besar yang diformalisasi ke dalam aturan seperti “tata bangunan dan lingkungan yang terstruktur”, “rancang bangun ramah lingkungan, dan “kearifan lokal“. Semua konsep teknis-normatif itu tertera dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (“UU PKP”). Pengembang bahkan pemerintah musti mematuhinya sebagai hukum yang mengikat.
Siapakah yang bertanggungjawab atas wilayah, kalau bukan Pemda? Bukankah tidak ada sejengkal wilayah pun yang luput dari penguasaan Pemerintah dan/atau Pemda.
Tersebab itu, ikhwal pembangunan kota baru aneh jika luput dari campur tangan otoritas kota yang memiliki kewenangan publik. Membangun kota baru bukan hanya penjumlahan fisik kota, namun berada dalam pengaruh wibawa (gezag)dan kewenangan eksekutif/pemerintah. Mac Iver menyebutnya sebagai “the bases of authority”. Disebut juga “pembenaran dari pada negara” (de rechtvaardiging van de staat) dalam buku Ilmu Negara Prof.Mr. Djoko Soetono. Otoritas kota tidak cukup puas dan sukaria sekadar menerima “bonus” fasilitas gedung untuk instansi pemerintah atau publik, namun kehadiran otoritas wilayah yang menjadi representasi eksekutif selaku penguasa yang mewakili publik yang memiliki de rechtvaardiging van de staat.
Sekali lagi, membangun kota-kota baru bukan hanya memberikan ijin-ijin, namun adanya wilayah teritorial yang musti diisi dengan otoritas pemerintahan. Yang tidak boleh luput dan menjadi hampa kekuasaan pemerintahan atas wilayah. Tak semestinya kota baru menjadi kota tak bertuan. Walaupun kota baru itu bergelimang kemajuan dan pertumbuhan.
Kota baru itu musti jelas “nasab”-nya dalam relasi otoritas administrasi pemerintahan dan mendudukan pemerintah selaku de rechtvaardiging van de staat untuk menjaga kepentingan publik. Salah satunya menjadikan fungsi sosial tanah sebagai kepentingan publik. Idemditto misi Pancasilais yang mengkonkritkan norma bahwa bumi (tanah) dan ruang udara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karena kota baru dibangun di tanah (setempat).
[Muhammad Joni,SH,MH: Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]