Kota Baru “Tak Bertuan” Milik Siapa? [Bag-1]
TRANSINDONESIA.CO – Laman koran utama nasional gegap gempita dengan iklan berwarna kota baru Meikarta. Namanya saja iklan, tentu maksudnya ajakan memesan dan membeli. Watak asli iklan adalah mempengaruhi konsumen. Pun, perlukah berhamburan halaman?
Kawan saya Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melayangkan kerisauannya atas iklan media cetak yang disebutnya lebih 30% isi koran. “Selain iklan juga soal ijin-ijin”, ujar Tulus Abadi, saat patik bertemu one on one dengannya, Senin, 14-08-2017.
Esai patik tidak hendak mengulas ikhwal kuantitas helai halaman iklan, namun sudut telaah yang hendak menggugah kewibawaan (gezag) alias the bases of authority pemerintah. Menyuarakan Volk Geist dari warga masyarakat. Volk Geist adalah isi hukum. Kata von Savigny, hukum pada hakekatnya adalah cerminan kondisi kejiwaan bangsanya.Jika diartikan,diksi Volk=bangsa. Geist=jiwa. Musti sabar dan mendalam menyelami Volg Geist.
Untuk siapakah kue ekonomi pembangunan kota baru? Model bisnis dan jurus pemihakan apa yang patut dimainkan pemerintah? Tentu memainkan peran agung sebagai pelindung rakyat (protector of the peoples). Sekaligus menapaki jalan-jalan berliku meredefenisi takrif fungsi soal tanah dan tafsir “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” versi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dalam konteks pembangunan kota-kota baru.
Kua yuridis, hukum properti memang membedakan antara penjualan dengan pemasaran sebelum pembangunan. Malah porsi pengaturannya memiliki bagian tersendiri dalam UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun). Soal ini akan dikuliti pada paragraf berikut nanti. Esai ini hendak meresap lebih dalam lagi dari yuridis formal.
Indonesia membutuhkan kota-kota baru? Ya. Bahkan sejumlah 100 kota baru pada 2050, jika mengutip Nirwono Joga dalam buku “Mewariskan Kota Layak Huni”. Tentu bukan soal sederhana, karena membangun kota itu membangun kebudayaan, tak sekadar penjumlahan fisik bangunan properti, walau diberi konsep bertitel kota hijau (green city), kota cantik (beautifull city), kota layak huni (livable city), kota cerdas (smart city), dan label lainnya.
Bayangkan membangun 100 kota baru? Dengan konsep titel yang belum tentu sama, sesuai potensi asalnya. Kalau yang dimaksud adalah 100 kota baru publik, tentu butuh 100 otoritas kota, 100 walikota. Agar tak menjadi kota tak bertuan. Kua tioritis, dibedakan kota baru publik dengan kota baru yang dibangun pengembang. Entah sejak bila khalayak acap menyebut kota baru mandiri. Seakan kota-kota yang sudah ada, selain yang dibangun pengembang seakan tidak mandiri. Kurang pas pula menyebutnya kota swasta sebagai opposite kota publik, seakan kota baru itu minus otoritas pemerintah.
Kota baru mandiri yang dibangun pengembang, yang tumbuh sebagai kota dengan segala dinamikanya tumbuh dengan keelokan, kemolekan dan modernitas fisik ragawi, layak dihuni dan karenanya menjadi alasan tunggal untuk digemari. Dan, tergiur membeli propertinya. Perlu literasi properti untuk membimbing konsumen, bahkan literasi properti masih perlu memperkuat pemerintah sebagai protector of the peoples.
Karena berkembang dinamis, acap kali kota baru berada pada kawasan bersilang lintas administrasi pemerintahan. Kota baru mandiri secara de facto menjadi kota namun secara de jure tidak serta merta menjadi dan dibawah kendali otoritas pemerintah kota, walau memakai diksi kota, bahkan dengan sisipan metropolitan.
Pertanyaan Pancasilais bisa diajukan, kota baru mandiri yang berdampak ligatnya gerak dinamika sosial budaya pada khalayak, bahkan perguatan sosial politik, tepatkah dibangun tanpa intervensi konseptual otoritas pemerintah? Akankah pemerintah merasa sudah final-sempurna peran dan tanggungjawabnya hanya dengan memberikan ijin-ijin semata? Apalagi jika pemberian ijin-ijin dipahami hanya demi kemudahan dan kenyamanan investasi.
Akankah kota baru mandiri dibangun hanya untuk kebanggaan invesment friendly? Hanya memacu pertumbuhan ekonomi makro? Sesederhana itukah mendudukan pembangunan kota-kota baru? Bagaimana dengan warga masyarakat lokal? Akankah korporatisasi kota baru mandiri yang investment friendly idemditto local society friendly?
[Muhammad Joni,SH,MH: Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]