Menunggu Bank Tanah, Mengadu kepada Hatta
TRANSINDONESIA.CO – “Apa kata rakyat nanti?”, sebuah pertanyaan retoris yang berkarakter kuat dari ujar Bung Hatta. Bisa jadi itu relevan pertanyaan ini: Benarkah Indonesia kekurangan lahan/tanah untuk pembangunan?
Walau sederhana, esai ini hendak menaikkan tensi heroisme-kenegarawanan tatkala mendengar pembangunan terhalang karena tanah. “Ketika mau bangun perumahan rakyat, kawasan industri, dan infrastruktur nggak ada tanah. Bank tanah akan kami hidupkan untuk membantu negara,” ujar Menteri Sofyan Djalil di kantor Kementerian ATR/BPN Jakarta, Kamis, 17 November 2016, seperti dikutip kompas.com.
Patutkah diksi kekurangan tanah untuk tanah air Indonesia? Yang terdiri atas 14.572 pulau dengan tanah luas dan cantik subur, penduduknya yang rajin bergotong royong, dan tanah dikuasai negara dengan Hak Menguasai Negara (HMN).
Mengapa sampai sekarang Indonesia belum punya bank tanah? Mengapa itu terjadi pada negeri yang merebut kemerdekaan dengan spirit perjuangan, bukan belas kasihan pemberian. Dan dengan bekal HMN yang bersumber dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengusung keadilan sosial dan menggantikan asas domein verklaring era kolonial Belanda, namun kesejahteraan perumahan masih jadi persoalan mencemaskan?
Mencemaskan, sebab jika kekurangan rumah atau housing backlog 13,6 juta unit dengan produksi rerata 200 ribu unit per tahun, perlu 68 tahun mengatasi defisit perumahan itu. Syukur, ada terobosan Program Sejuta Rumah (PSR) yang kini memasuki tahun ketiga, dengan pola pembiayaan 5-4-1 (bunga FLPP 5%, bantuan uang muka Rp4 juta, dan uang muka 1%) menjadi angin segar.
Namun jurus pola 5-4-1 itu belum termasuk intervensi terhadap penyediaan tanah. “Ndak ada lahan ya sama saja pak Joni”, komentar Asnawi Manaf, akademisi Universitas Diponegoro tatkala patik mengirim link esai bertitel “Housing are Build the Way They are Financed” mengulas inovasi pembiayaan perumahan MBR non formal.
Benar komentar “grenek” dari Asnawi Manaf itu sejalan dengan HUD Institute yang kembangkan 5 Komponen Dasar Hak Bermukim (5KDHB): penataan ruang, penyediaan tanah, infra struktur dasar, pembiayaan, dan bangunan rumah, teknik & teknologi.
Selalu ketersediaan tanah menjadi “tertuduh” persoalan rumit perumahan. Satu pertanyaan Pancasilais bisa diajukan, mengapa Indonesia terjerat dengan alasan klise mahal dan langkanya tanah untuk hajat membangun perumahan rakyat, khususnya di perkotaan.
Pembaca. Banyak uraian yang telah malang melintang mengulas hal ikhwal “abc”-nya bank tanah. Tak usahlah mengunyah lagi di halaman esai ini. Tidak menarik jika membawanya ke dalam pusaran perbincangan teknis yang menyisakan perdebatan dan perbedaan pandangan.
Perdebatan bank tanah publik bisa meruyak kemana-mana, apabila tidak beranjak dari “titik persamaan” yakni kesejahteraan perumahan yang nota bene hak konstitusional. Jangan divergen menjauh dari saripati keadilan sosial yang menjadi nucleus amsal kehadiran negara. Bukankah sejahtera adalah alasan bernegara?
Mungkin, jalan keluar yang jernih dan orisinil menjawab problematika kesejahteraan perumahan dan lepas bebas dari tikungan kebimbangan, dengan membuka lagi pikiran jujur, jernih dan aseli dari founding fathers. Untuk apa ragu dan berdebat lagi, jika ikhwal kehadiran negara dalam kesejahteraan umum sudah tuntas dibincang founding fathers?
Heroisme-kenegarawanan diperlukan ikhwal memperjuangkan bank tanah, seperti watak founding fathers yang membuldozer asas domein verklaring. Kesejahteraan umum termasuk kesejahteraan perumahan. Adakah pertemalian bank tanah dengan Hatta?
Alam Pikiran Hatta
Mari menyiapkan waktu sejenak untuk merenungkan bank tanah dengan bertanya kepada Mohammad Hatta, pejuang kemerdekaan dan proklamator Indonesia. Hatta pemuda Minang yang pada usia 19 tahun menjadi mahasiswa kampus ternama Rottredamse Handelshogeschool nun jauh di Belanda, berjarak 8.000 mil dari Aur Tajungkang, Bukittinggi, tempatnya lahir dan dibesarkan.
Dari Rottredamse Handelshogeschool, Hatta meraih gelar doktor ekonomi. Dia mencintai tanah airnya dan menggembleng jiwa kebangsaan, dan dari sana Hatta mengasah pena perjuangan, menjadi aktifis gerakan. Menjadi Ketua Indonesische Vereniging, yang metamorfosis dari Indische Vereniging.
Karya pena dari pikiran Hatta menjadi bukti bahwa Indonesia turut dimerdekakan dengan kecerdasan dan kecerdikan pemuda bangsa. Buktinya, “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka) satu manifesto politik Hatta yang berpengaruh. Hatta memiliki ketajaman pena dan kekuatan analisis justru lebih digjaya daripada tembakan salvo mana pun, sekalimat pujian yang dialamatkan kepada sosok “Gandhi of Java” dalam buku “Hatta – Jejak Yang Melampaui Zaman”.
Mengadu kepada Hatta sangat kuat dalam alasan, karena dia berwawasan mondial dan moderen dengan pemahaman filsafati yang utuh yang diulasnya lewat buku “Alam Pikiran Yunani” yang ditulisnya sepenuh hati. Mengapa? Sebab, “Alam Pikiran Yunani” dijadikan mas kawin ketika menikahi Rahmi Rachim.
Pun, kala sekolah di Belanda, Hatta tak cuman belajar namun berjuang, berdiplomasi, juga menerbitkan buku “Indonesia Ditengah-tengah Revolusi Asia” yang menuai kritik keras pers Belanda. Belanda tak suka Hatta, dan mencap de Inlandsche studenten telah dihinggapi semangat revolusioner yang susah dikikis (“Hatta – Jejak Yang Melampaui Zaman”, h.8). Tentu itu menjelaskan pikiran Hatta yang begitu kokoh kepada cita-cita memerdekakan bangsanya. Itu gambar ringkas sebagian sosok Hatta, tempat esai ini mengalamatkan aduan.
Adakah konteks bank tanah dengan “Indonesia Vrij”, seperti dulu dipidatokan Hatta? Diperlakukan sebagai apakah tanah? Apakah tanah benda ekonomi? Tidak seutuhnya, sebab tanah dengan HMN untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Menurut Hatta dasar-dasar bagi sosialisme Indonesia berakar kuat.
Sebagai ekonom jebolan Rottredamse Handelshogeschool, Hatta pasti paham seluk beluk ekonomi tanah yang acap jadi komoditas, karenanya Hatta inheren konsep hukum ikhwal tanah dengan HMN untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Menjadikan tanah objek spekulasi, kehilangan landasan etik dan normatif.
Dalam buku “Ekonomi Indonesia di Masa Depan”, Hatta menegaskan tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang seorang untuk menindas atau memeras kehidupan orang banyak, yang inheren Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Begitulah segelintir cuplikan buah pemikiran Hatta yang bertebaran, yang kita sebut saja “Alam Pikiran Hatta”.
Tepat pikir, jika esai ini mengikuti dan memercayai pikiran Hatta bahwa tanah untuk kesejahteraan rakyat. Artinya, tanah faktor penentu kesejahteraan. Distribusi tanah adalah distribusi kesejahteraan. Termasuk untuk kesejahteraan perumahan, karena tidak bisa melepaskan pembangunan perumahan dengan penyediaan tanah.
Idemditto terbitnya ijtihat membentuk bank tanah publik dalam rangka pemenuhan hak konsitusional atas tempat tinggal. Juga, untuk realisasi kewajiban Pemerintah memenuhi kebutuhan rumah bagi low income group alias masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), sesuai perintah Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2011 (UU PKP).
Bahkan, UU PKP sendiri sudah menormakan berbagai cara penyediaan tanah yang tentu sudah ditimbang efektifitas pelaksanaannya (vide Pasal 106 UU PKP dan Pasal 122-127 PP No. 14 Tahun 2016). Norma hukum yang mustinya bisa dilaksanakan, bukan hanya manis sebagai janji kata-kata, tetapi amanat yang bisa dipenuhi Pemerintah.
Namun masih saja belum tersedia bank tanah publik khususnya untuk perumahan rakyat. Masih tingginya angka backlog perumahan, kawasan kumuh dan rumah tidak layak huni, berikut harga yang terus menanjak, acapkali kelangkaan tanah dan mahalnya harga tanah sebagai penyebabnya.
Patutkah kita mengadu kepada Hatta? Mungkin, terdengar mewah jika masih mengadu kepada hati, pikiran dan sejarah. Walaupun tidak usah sungkan melakukan itu dalam kesendirian. Bertanya ke dalam hati lebih kaya frekuensi rabbani. Tak usah ragu jika mengadu kepada Bapak Proklamator Muhammad Hatta. Sebab, pada sosok bung Hatta itu tercakup ketiganya: hati, pikiran dan sejarah.
Mengapa? Dalam “Hatta Jejak Melampaui Zaman”, dikutip pidato kebudayaan Nurcholis Madjid lugas menyebutkan, “Penampilan Bung Hatta yang seperti seorang sufi, memiliki ketulus-ikhlasan, kesederhanaan, kerendahan hati, dan kedalaman pikiran, tak lepas dari latar belakang keluargannya: dia putra seorang mursyid sebuah persaudaraan sufi di Sumatera Barat”. Defenisi kaum sufi adalah kaya hati.
Itu alasan soal hati. Alasan pikiran dan sejarah? Kala Deliar Noor menulis buku “Hatta Biografi Politik”, isinya tak hanya sejarah namun buah pikiran pun berlimpah ruah. Usah heran jika Daniel Dhakidae menyebut “Hatta Biografi Politik” sebagai biografi intelektual, yang memadukan ide dengan sejarah dalam satu sajian.
Andai Hatta masih hidup dan berkesempatan meminta nasihat soal perumahan rakyat, jawabannya kepada pembaca akan serupa kandungan pidato Hatta dalam Kongres Perumahan tahun 1955. “…tjita-tjita oentoek terselenggaranja keboetoehan peroemahan rakjat boekan moestahil apabila kita soenggoeh-soenggoeh maoe dengan penoeh kepertjajaan, semoea pasti bisa…”.
Patik memetik kata kunci Hatta ikhwal perumahan rakyat: “bukan mustahil” dan “sungguh-sungguh”, untuk menggambarkan watak patriot dan negarawan optimis Hatta. Pidato tahun 1955 itu menjadi kabar gembira besar saat itu. Jika ditanyakan lagi kepada Hatta, langkah konkrit akan tertuju pada jurus “Satu Rumah Sehat Untuk Satu Keluarga”. Yang masih kuat relevansi hingga kini dan nanti, selagi backlog perumahan masih tinggi.
Potongan pidato bersemangat dan menembus zaman dari Hatta itu, dikutip dan diyakini pula Zulfi Syarif Koto, yang asli Koto Tuo Ampek Koto, Bukittinggi, kini Ketua Umum HUD Institute dalam “Cuplikan Buku: Ekonomi Politik Program Sejuta Rumah, Membangun Untuk Siapa?”. Pas jika kegiatan mengadu dialamatkan kepada bung Hatta.
Jika bertanya lagi kepada Hatta ikhwal kehadiran negara dalam kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial? Kiranya, penulis berandai Hatta mengujarkan kepada saya, “jangan abaikan perumahan karena itu kesejahteraan rakyat yang nyata”.
Mengadu kepada Hatta, bersiaplah memasuki lekak lekuk “Alam Pikiran Hatta”. Hatta mengendus adanya pembedaan konsep kedaulatan politik dengan kedaulatan ekonomi (Imperium versus Dominium), karena produk sejarah yang “tidak senonoh” (Tabloid Pergerakan Daoelat Ra’yat, Tahun I, 1931, No.1, h.2, dalam Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstiotusionalisme di Indonesia, h.123).
Dahulu, pemikir memisahkan konsep Imperium versus Dominium secara diametral. Imperium adalah konsep mengenai “rule over all individuals by the prince”. Dominium adalah konsep mengenai “rule over things by individuals” (Baron de Montesquieu, L’Esprit dos, dalam Morris R. Cohen, Law and Social Order: Essays In Legal Philosophy, dalam Jimly Asshiddiqie, h.121-123).
Dari titah Montesquieu, politik tidak mengurus ekonomi alias kesejahteraan rakyat. Katanya, dengan hukum publik (political law) kita memperoleh kebebasan, dengan hukum perdata kita memperoleh hak milik (property). Rakyat dipahami hanya berdaulat dalam bidang politik.
Nasib rakyat dalam bidang ekonomi diserahkan kepada keuletan masing-masing dan daya kompetisi sendiri di pasar bebas. Negara tidak mengurus perut dan mulut, tamsil untuk ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Keduanya mesti dipersatukan sebagai keadilan sosial. Bung Karno dalam satu tulisannya berjudul “Demokrasi Politik + Demokrasi Ekonomi = Demokrasi Sosial”. Pandangan itu yang kemudian masuk ke dalam konstitusi menjadi Kesejahteraan Sosial.
Generator
Kembali ke soal bank tanah yang ditunggu, seperti menanti lahirnya “generator” kesejahteraan perumahan. Esai ini tetap memberi energi positif dan apresiasi tinggi kepada Pemerintah yang bertekat membuat bank tanah. Tak ada kosa kata mundur, karena sudah masuk “janji” dalam dokumen rencana pembangunan. Sudah point of no return. Seperti tak ada kata mundur untuk “Indonesia Vrij” yang dulu digemakan Hatta di pusat kekuasaan kolonial.
Melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN), sebutlah dua teranyar mulai dari Menteri Ferry Mursyidan Baldan sampai sekarang Menteri Sofyan Djalil, bertekat kuat mewujudkan bank tanah, namun masih perlu melanjutkan perjuangan. Soal tanah bukan sembarang perjuangan, namun perjuangan yang musti dihinggapi semangat revolusioner yang susah kikis, seperti pernah dialamatkan Belanda kepada Hatta yang kemudian menjadi Wakil Presiden.
Di titik ini patut mendukung Menteri Sofyan Djalil yang malang melintang berpengalaman dalam ragam pemerintahan, agar gemilang membuat sejarah. Dengan kepiawaian dalam ilmu hukum, memudahkannya membawa bank tanah publik ke titik “nol kilometer” kelahiran.
Apalagi tahun ini pula dimulai geliat Reforma Agraria. Tak salah juga merancang konsideran bank tanah publik dalam konteks Reforma Agraria. Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2016, menggariskan prioritas nasional adalah reforma agraria. Bank tanah bisa berarsiran dengan penataan penguasaan dan pemilikan tanah, untuk kepentingan kesejahteraan perumahan.
Penantian lahirnya bank tanah semakin dihinggapi semangat menjulang. Sebab ada kabar teranyar Kementerian ATR/BPN memasang tenggat waktu bulan Agustus 2017 terbentuk bank tanah publik. Semestinyalah dengan Peraturan Pemerintah (PP). Hadirnya bank tanah publik itu untuk mengontrol fluktuasi harga tanah dan menjamin ketersediaan tanah pada program nasional pemerintah, termasuk perumahan. Begitu kabar yang pernah beredar.
Memang, selagi rumah dan bangunan gedung masih bertapak di bumi, maka penyediaan tanah untuk perumahan adalah anasir mustahak. Tak ada bangunan yang mengantung di langit. Tak ada “negeri di awan”, seperti mimpi mewah KLA Project. Semua bertapak di bumi.
Bung Hatta tentu tak lupa akan gedung Teheus van Indische Studenten, asrama mahasiswa asal Hindia Belanda yang bertapak di atas tanah Jalan Prins Maurietplein, tempat Hatta mondok pertama kali di Belanda. Di atas tanah Jakarta bertapak 189 gedung bertingkat tinggi atau high rise hingga 2019, semua bertapak di bumi. Kebutuhan rumah bagi MBR mengatasi backlog butuh penyediaan tanah. Program Sejuta Rumah tanpa tanah, akan sulit mencapai rumah untuk semua (for all), layak dan terjangkau (affordable).
Postulatnya: dari dulu hingga kini, tanah adalah tempat bertapak bangunan. Walaupun tiori hukum menganut asas pemisahan horizontal (horizontale scheidings beginsel), memisahkan tanah dan benda di atasnya. Ada pula menganut asas perlekatan (natrekking beginsel) yang tiorisasi bangunan sebagai benda tetap melekat dengan tanah, sehingga diasumsikan tak terpisah.
Selagi perumahan bertapak di bumi, dan tanah adalah pengungkit kesejahteraan rakyat, maka “Alam Pikiran Hatta” sangat tepat dan relevan terus menerus direproduksi sebagai “generator” mencapai kesejahteraan perumahan.
“Apa Kata Rakyat Nanti?”
Jika bung Hatta masih di tengah kita, tekatnya tak akan berubah dan tak surut mundur seinci pun akan Keadilan Sosial. Sebab wataknya yang tegas dan jernih menjadi cirinya, karena beliau dikenal tokoh non kooperatif yang bermakna konsisten, loyal dan tabah dalam sikap pendapat. Hatta tegas dan lugas.
Dari sumber tulisan bertitel “Moral dan Kepemimpinan” dari Deliar Noor, pernah setelah Hatta lepas dari jabatan Wakil Presiden pada Desember 1956, Hatta mengalami tikungan yang menggoda. Tatkala banyak yang memintanya menjadi komisaris utama perusahaan asing, Hatta menolaknya. “Apa kata rakyat nanti?”, ujar Hatta ringkas. Lugas yang tak pernah kikis.
Entah apa jawaban bijak dan bernas Hatta, tatkala diajukan pertanyaan: “Adakah yang salah masih menyanjung HMN, andai tanah untuk perumahan rakyat masih sulit dan mahal?” Bukankah HMN berasal dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang digali dari “pertambangan” pandangan hidup dan ideologi Pancasila yang menyanjung keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bukankah negara membuat “kontrak sosial” mewujudkan kesejahteraan umum sebagaimana Pembukaan UUD 1945? Yang kemudian sempurna dengan hak bertempat tinggal yang masuk tertera dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Ibarat kata pepatah “sekali datang ombak pantai berubah”, maka jika masuknya “ombak” yang bernama hak bertempat tinggal dalam konstitusi mestinya berimbas kepada berubahnya “pantai” pemenuhan kebutuhan perumahan bagi rakyat Indonesia. Yang diwujudkan sebagai fakta tersedianya kesejahteraan perumahan, kuatnya kelembagaan perumahan rakyat, teratasinya backlog, dan terjangkaunya (affordable) harga rumah bagi rakyat. Bukan justru malah terus menerus menanjak naik harga rumah bersubsidi Pemerintah. “2017, Harga Rumah Subsidi Naik Rp 6,5 Juta”, tulis judul sebuah berita.
Seakan kabar klise, masih saja tanah mahal dan harga rumah naik tak terjangkau. Sejak dulu? Tengoklah fakta ini. Zulfi Syarif Koto dalam bukunya “Politik Pembangunan Perumahan di Era Reformasi – Siapa Mendapat Apa?” mengungkapkan eskalasi harga rumah sederhana (RS) dan rumah sederhana sejahtera (RSS) selama sepuluh tahun 1997/1998 s.d 2009/2010 mengalami kenaikan mencapai 1500%. Tahun 1997/1998 harga RS sebesar Rp.5,9 juta dan harga RSS sebesar Rp.4,2 juta. Tahun 2009/2010, harga RS sebesar Rp.80 juta dan harga RSS sebesar Rp.55 juta.
Harga tanah? Untuk kawasan Jakarta kenaikan harga tanah dalam 10 tahun bisa mencapai 570,4% atau 57% se tahun. Untuk kota Bekasi kenaikan komoditas tanah mencapai 61,5% se tahun, sedangkan Bogor (56,4%), dan Tangerang (56%). [Data dari Majalah P&B, Edisi 112-2015, Ir.Torushon Simanungkalit,MM., CPA].
Angka kenaikan harga tanah relatif tinggi juga pernah diungkap Andrinof Chaniago yang pernah menjabat Menteri PPN/Kepala BAPPENAS. “Tiap tahun naiknya ada yang bisa mencapai sekitar 37%. Kalau seperti itu, bagaimana bisa dijangkau oleh MBR,” kata Andrinof Chaniago setakat sebagai pakar kebijakan publik Universitas Indonesia berargumentasi dalam acara Silaturrahmi Nasional Keluarga Besar Perumahan Rakyat yang dihelat HUD Institute, Kamis (27/2/2014).
Dari fakta di atas, sangat mendesak penyediaan tanah pro MBR melalui intervensi Pemerintah dengan pembentukan bank tanah. Agar tanah tidak dijadikan ajang spekulasi yang merusak kepentingan Negara dan menghambat ihtiar Pemerintah merumahkan rakyat.
Patut memberi apresiasi dengan langkah Pemerintah hendak membentuk bank tanah. Semakin patut diberi apresiasi jika Pemerintah menuruti semangat pidato Hatta tahun 1955, yang diulangi lagi di sini: “…tjita-tjita oentoek terselenggaranja keboetoehan peroemahan rakjat boekan moestahil apabila kita soenggoeh-soenggoeh maoe dengan penoeh kepertjajaan, semoea pasti bisa…”. Dengan “sungguh-sungguh”. Dan, dihinggapi semangat revolusioner yang susah dikikis, seperti pernah disematkan kepada Hatta.
Walaupun bank tanah bukan jurus baru bagi swasta, karena sudah lebih awal mengeliatkan fungsi bank tanah untuk industri properti. Kalau swasta bisa, mengapa pemerintah tak bisa? Padahal Pemerintah disematkan kuasa negara.
Kalau swasta bisa membuat bank tanah privat, tidak ada alasan Pemerintah menyegerakan bank tanah publik. Sebab Pemerintah memiliki apa yang disebut Prof.Mr.Djokosoetono (guru besar Fakultas Hukum UI) dengan the bases of authority yang berarti sandaran atau dasar kewibawaan (de groundslag van het gezag) yang berarti pembenaran atau penghalalan negara (de rechtvaardiging van de staat). Sedangkan swasta tidak memiliki de rechtvaardiging van de staat, karena tidak dikenal dalam hukum perdata. Menteri Sofyan Djalil, yang alumni FH UI sangat memahaminya.
Patut dicemaskan indikasi kalah ligat negara melakukan hal strategis kesejahteraan perumahan, jika menengok masih terseok dan belum terbentuknya bank tanah publik, dibanding swasta sudah lama melakoninya. Menengok “meteor” pembuatan kota baru privat yang terkoneksi dengan infrastruktur dan transportasi, sementara terseok dan belum ada tambahan pembentukan kota baru publik.
Kata kunci dari bung Hatta masih relevan dikumandangkan. Idemditto meneladani sikap mentalnya: “dihinggapi semangat revolusioner yang susah kikis”.
Jika berkaca dengan bank tanah di luar negeri, justru sudah lama ada dan sudah maju. Lihatlah USA membentuk State Land Bank, malah di negara bagian. The mission of the Michigan Land Bank is to promote economic growth in this state through the acquisition, assembly and disposal of public property.
Tengok pula Korea Land and Housing Corporation (KLHC), yang mengemban missi memajukan stabilitas residensial nasional dan efisien dalam pengunaan tanah untuk meningkatkan kualitas kualitas hidup dan pertumbuhan ekonomi nasional. Jelas sekali, relasi yang kuat dan inheren antara tanah dengan kesejahteraan rakyat.
Bagaimana dengan Indonesia? Akankah menunggu lebih lama lagi? Minus sisi penguasaan komersial, konsep Hak Pengelolaan (HPL) misalnya HPL pulau Batam, ada sesisi perannya mirip menjalankan fungsi “bank tanah” untuk kepentingan pengembangan dan publik, walaupun kini Badan Pengusahaan (BP) Batam sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Selain merujuk Pasal 106 UU PKP, menarik mengkaji tanah-tanah untuk kepentingan nasional dilekatkan status HPL lebih dahulu? Bank tanah juga berarsiran dengan Reforma Agraria, yang saa-sama merujuk Paal 33 ayat (3) UUD 1945.
Epilog
Sampai pada paragraf epilog, esai ini hendak mengikis risau mencapai kesejahteraan perumahan. Esai ini memekarkan harapan menguatnya kelembagaan perumahan rakyat dengan menyerap semangat dan pikiran dari Bung Hatta. Mengambil saripati “Alam Pikiran Hatta” yang relevan dan mampu melampaui zaman, yang jiwa kebangsaannya tak diragukan.
Cocok jika hendak membumikan “Alam Pikiran Hatta” menjadi “Alam Pikiran Indonesia” khususnya dalam ikhtiar kesejahteraan perumahan. Modal bertenaga bagi kemajuan bangsa dengan nasionalisme yang tak kikis. Menepis keraguan dan meretas hambatan apapun menuju kesejahteraan perumahan dengan jurus bank tanah publik untuk perumahan rakyat. Jika bank tanah publik tidak juga terbentuk, “apa kata rakyat nanti?”.
Hening malam menunjuk jam 01.47 dini hari, pas 17 Ramadhan 1438 H, esai ini tiba pada kalimat paragraf paling akhir. Patik menutupnya dengan seuntai doa dan membacakan Al Fatiha untuk Bung Hatta. Walau tak usai membaca pikirannya sebagai cara menghormati jasa Bapak Bangsa.(MJ)
#Muhammad Joni, S.H., M.H.: Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas.