Dari Rumah Negeri Digenah

TRANSINDONESIA.CO – Ini bukan cerita baru, namun negara musti terus diingatkan. Watawasahu bil haq.  Dengan judul serupa esai “Dari Rumah Negeri Digenah” ini pernah naik dari (dapur) redaksi Majalah HUD Magz Edisi 5, 2015.

Namun konten DRND masih relevan dengan kondisi kini, selagi rumah bertapak di bumi. Lancar kaji karena diulang, untuk merawat kebijakan pro masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan pemihakan yang tabah dan konsisten. Rumah sebagai unit hak bertempat tinggal sangat penting, sehingga patut tertera eksplisit dalam  konstitusi. Hak atas tempat tinggal, mutlak kehadiran Negara.

Majelis pembaca pasti setuju, sudah takdir manusia menempati ruang dan menghuni rumah. Selain makhluk sosial, manusia adalah “makhluk menghuni” yang  memiliki tempat menetap. Kita membutuhkan ruang minimal dan  hunian layak untuk bermukim: rumah!

Ilustrasi

Mengisi ruang dan menghuni  rumah tempat menetap itu peradaban  yang manusiawi dan logis. Hukum memang logis. Hukum bertujuan memanusia sebagai manusia, dan dibuat untuk manusia.

Kelop, jika  bermukim menjadi hak konstitusi, hak asasi manusia (HAM), dan hak dasar. Kua konstitusi,  hak bermukim bagi seluruh rakyat (for all)  dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Lebih teknis-normatif,  diatur  UU HAM, pun demikian UU Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP) dan UU Rumah Susun (UU Rusun).

Majelis pembaca berbahagia,  pembangunan perumahan rakyat tidak sekadar idemditto membangun fisik rumah. Tak mesti memiliki namun bisa saja menikmati dan menghuni. Namun negara mesti hadir menggiatkan kesejahteraan rakyat dimulai dari rumah. Tak semua disiapkan  dengan skim rumah formal, malah  perumahan swadaya paling utama kuantitasnya: lebih 70 persen.

UU PKP memiliki  asas  bahwa kewajiban, tanggungjawab dan wewenang Pemerintah memenuhi perumahan rakyat.  Itu menjadi alibi yuridis  membantah satir-alegoris  “negara penjaga malam”.  Karenanya, urusan perumahan rakyat adalah kepentingan publik. “Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR “, titah Pasal 54 ayat (1) UU PKP. Bahkan  wajib memberi kemudahan dan atau bantuan bagi MBR  [Pasal 54 ayat (3) UU PKP].

Tepat, kebijakan Pemerintah ihwal pembangunan Sejuta Rumah bagi rakyat, walaupun bukan hanya MBR saja tetapi juga warga miskin. Mestinya tidak hanya via  rumah  formal saja namun  menyentuh rumah swadaya yang menyumbang signifikan.

Mengapa? Itu dorongan kodrati  “makhluk menghuni”. Pembangunan Sejuta Rumah itu kompatibel dengan  Nawacita, visi  Presiden Joko Widodo. Nun di hadapan, tantangan tidak sederhana. Laju angka defisit rumah atau  backlog   harus direm, belum lagi  kawasan kumuh  dan rumah tidak layak huni yang masih meluas. Konsolidasi tanah belum menjadi pilihan andalan.

Apapun, pembangunan Sejuta Rumah  harus didukung. Penggabungan portofolio perumahan rakyat dan pekerjaan umum, titik api peluang  lebih lincah merumahkan rakyat berasaskan kerakyatan. Kebijakan bisa dioptimalkan, koordinasi lebih ringkas, anggaran lebih jumbo,tindakan lebih lekas dikerjakan, dan partisipasi rakyat digiatkan.

Pantang surut ke belakang,  tantangan klasik dan terbesar pembangunan Sejuta Rumah tidak  menurunkan tekat.  Tantangan kelangkaan tanah dan kapitalisasi nilai tanah  menjadi biang abadi alasan menaikkan harga rumah bersubsidi.  Seakan tersandera oleh cara kerja pasar tanah yang tidak rasional.

Pemerintah patut segerakan bank tanah (land bank) dan mengelolanya secara cerdas dan bijak. Insya Allah, bisa mengerem eskalasi harga tanah. Regulasi dan skimnya sudah diatur UU PKP, bahkan jurus  kebijakan membebaskan pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk MBR sudah dibesut Menteri Agraria dan Tata Ruang,  memiliki efek strategis dan struktural bagi perumahan rakyat.

Pun demikian, postulat  HUD Intitute mengenai 5 (lima) komponen dasar hak bermukim harus menjadi area intervensi pemerintah. Selain penyediaan  tanah,  kompenen dasar lain adalah  tata ruang,  infrastruktur dasar, bangunan rumah dan bahan bangunan strategis, dan pembiayaan perumahan. Lima  komponen dasar itu  harus menjadi kebijakan, tindakan,  perlindungan dan affirmative action Pemerintah, termasuk  Bank Indonesia (BI).

Syukur, kabar gembira datang dengan kebijakan Bantuan Uang Muka (BUM), penurunan uang muka bunga KPB dari 5% menjadi menjadi 1%,  pemangkasan bunga kredit FLPP dari 7,25% flat 20 tahun menjadi hanya 5% per tahun flat 20 tahun.

Publik menunggu rentetan kabar gembira lain ihwal  penyediaan tanah dengan pembentukan  bank tanah, revitalisasi  aturan hunian berimbang,  revitalisasi Kasiba-Lisiba, dan optimalisasi tanah-tanah milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah, BUMN dan BUMD serta tanah terlantar.  Penting memastikan tata ruang untuk perumahan rakyat, pembangunan infrastruktur menjadi trigger perumahan rakyat, relaksasi dan inovasi pembiayaan perumahan rakyat, dan digenapkan dengan penyediaan bahan bangunan strategis pro MBR.   Demi kesejahteraan rakyat. Dari rumah negeri digenah.

@Muhammad Joni  [Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Ketua Dewan Pembina Lembaga Perlindungan Konsumen Properti dan Keuangan (LPKPK)]

Share