‘Housing are Built the Way They are Financed’

TRANSINDONESIA.CO –  Kota memang berwajah jamak. Buktinya, tatkala anda melewati jalan tol dalam kota dari bandar udara Soekarno Hatta ke arah Jakarta, masih tampak titik kawasan padat dan kumuh bersisian dengan gedung megah berkilap dan menjulang.  Yang menyajikan gambar dua sisi pembangunan kota   bertumbuh kencang tetapi masih luasnya perumahan padat dan kumuh. Itukah fakta ikhwal ketimpangan sistem pembiayaan perumahan?

Kontras antara  sisi pertumbuhan kencang realestat/properti yang megah menjulang dengan  situasi perumahan  dengan kekumuhan,  adalah tesis betapa pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (low income group) yang dikenal dengan akronim MBR,  masih belum menjangkau semua secara adil.  Walaupun, hal itu  bukan melulu  ciri Indonesia, namun diderita belahan dunia lain. Menurut data, 23 persen warga kota tinggal di permukiman kumuh. Kawasan Asia adalah penyumbang terbesar penduduk kumuh, yakni 504,2 juta jiwa.

Esai ini hendak menuliskan  satu paragraf kekuatiran. Akankah kawasan dengan kekumuhan itu segera bermetamorfosis menjadi  perumahan formal, atau  sasaran perbaikan kampung versi kebijakan Urban Renewal? Atau, malah  berubah wajah menjadi  kawasan realestat/properti komersial?

Muhammad Joni

Esai ini beranjak dengan asumsi bahwa tanpa kebijakan dan skim pembiayaan perumahan MBR non formal bagi kaum kurang beruntung, walaupun memiliki dan menguasai aset lahan strategis sebagai “kapital diam”,  sulit membenahi perumahan dan  permukiman (“Perkim”) tanpa pemerintah melakukan intervensi pembiayaan.

Itukah  implikasi  dari  tiadanya skim pembiayaan perumahan MBR non formal? Faktanya, kebijakan dan skim pembiayaan perumahan masih  timpang dalam arti minimalnya jenis pembiayaan perumahan bagi MBR.   Erica Soeroto, saat   peluncuran buku “Menggagas Sistem Pembiayaan Perumahan Yang Efisien” yang dihelat HUD Institute  mengungkap  kredit pemilikan rumah (KPR) didominasi perbankan, sebagian besar hanya melayani masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. Umumnya perbankan kurang berminat menyalurkan KPR bersubsidi.

Mengapa? Sebab, pembiayaan perumahan (housing finance) masih belum mencapai kelompok sasaran  MBR non formal yang berpendapatan tidak tetap (non fixed income). Pembiayaan perumahan melulu menggarap MBR formal dan tentu saja berorientasi penyediaan perumahan formal yang  diproduksi dan tersedia di pasar formal,  yang dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawaan Permukiman (“UU PKP”) disebut rumah umum.

Artinya, belum memasuki pembiayaan perumahan swadaya, yang di dalamnya sangat mungkin ada kawasan kumuh dan rumah tidak layak huni yang acap dihuni kelompok sasaran MBR non formal dan berpendapatan tidak tetap.  Kesenjangan  pembiayaan  MBR formal dengan MBR non formal dan berpendapatan tidak tetap  ini mesti dikurangi kalau tak bisa dinihilkan.

Saat ini  skim pembiayaan perumahan dalam Program Sejuta Rumah (PSR) hanya mencakup  mencakup Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) bagi MBR formal yang berpendapatan tetap,  Subsidi Selisih Bunga (SSB), dan Bantuan Uang Muka (BUM). Tambahan pula, keterbatasan alokasi dana APBN yang disediakan dalam Program Sejuta Rumah (PSR).

Soal lain, Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota  belum bergairah dan membuat  terobosan kebijakan dan inovasi pembiayaan perumahan, karena hambatan regulasi  ikhwal pembagian urusan pemerintahan bidang  Perkim antara pemerintah pusat dengan daerah versi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (“UU Pemda”).

UU Pemda  tak menerakan lingkup pembiayaan Perkim  sebagai urusan daerah dalam daftar lampiran pembagian urusan pemerintahan. Patik  berpendapat, walaupun UU Pemda tidak  menerakan urusan pembiayaan Perkim  sebagai urusan Pemda, belum tentu  dimaknai  melarang karena bukan norma larangan.  Mandatnya  terbuka  dengan  Pasal  54 ayat (2) UU PKP,  ikhwal kewajiban pemerintah dan Pemda  memberikan kemudahan dan bantuan pemenuhan kenutuhan rumah bagi  MBR, baik formal maupun non formal.

Trans Global

Mengatasi itu, Erica Soeroto dalam buku hasil disertasinya mengajukan opsi memperluas jumlah dan jenis lembaga keuangan penyalur KPR terutama  non bank finacial institution (NBFI) khusus (dahulu Lembaga Keuangan Bukan Bank/LKBB)  untuk melayani MBR termasuk yang berpenghasilan tidak tetap. Persis serupa dengan norma Pasal 123 ayat (3) UU PKP.

Senada itu,  The HUD Institute  menawarkan konsep dan skim KPR MBK (Kredit Penghunian/Pemilikan Rumah-Mikro Berbasis Komunitas). Khusus bagi MBR non formal dan non fixed income. Teranyar  soal itu dibahas lagi dalam helat diskusi fokus bertitel  “Menggagas Regulasi dan Skim Pembiayaan Perumahan Bagi MBR Non Formal/Non Fixed Income Berbasis Komunitas Dalam Upaya Penataan dan Peningkatan Kualitas Kawasan Kumuh di Propinsi Banten”, 23 Mei 2017.  Targetnya mendorong Pemda menyiapkan regulasi, kelembagaan, dan skim pembiayaan perumahan bagi MBR non formal dan berpenghasilan tidak tetap.

Mungkinkah Pemda  membuat regulasi dan inovasi pembiayaan perumahan MBR non formal? Jawabnya mungkin. Kua yuridis-formal, UU PKP membuka mandat  kepada Pemda  harus mengembangkan sistem pembiayaan perumahan bagi MBR, termasuk mengembangkan lembaga pembiayaan (Pasal 121 ayat 1 UU PKP).

Pemda dapat menugasi atau membentuk badan hukum pembiayaan perumahan dan kawasan permukiman (Pasal 122 ayat 1 UU PKP). Pemda mendorong lembaga keuangan bukan bank dalam pengerahan dan pemupukan dana  lainnya  khusus perumahan dan permukiman (Pasal 123 ayat 3 UU PKP).

Persoalannya, mandat dan kewenangan pembiayaan perumahan versi UU PKP itu belum harmoni dengan lingkup urusan Perkim versi Pemda UU Pemda. Ada kesenjangan sistemik ikhwal pembiayaan urusan Perkim antara UU PKP dengan UU Pemda. Esai berikutnya akan mengulas  ikhtiar hukum menjembatani kesenjangan rezim pembiayaan perumahan dalam UU PKP dengan UU Pemda.

Mungkinkah inovasi? Sangat. Inovasi pembiayaan MBR non formal juga  sudah mulai digelindungkan Bak Tabungan Negara (BTN). Menurut informasi, KPR bagi MBR non formal dan non subsidi dengan skim  pembiayaan  KPR maksimal Rp 75 juta, jangka waktu (tenor s.d 10 tahun), peruntukan pembelian rumah baru atau sekunder (second), membangun rumah, merenovasi rumah, menabung di BTN terlebih dahulu minimal  3 (tiga) bulan sebelum proses KPR dilakukan, dan berbasis komunitas.  Bentuknya KPR mikro Rp 1,2 juta hingga 2,6 juta  untuk pekerja informal  yang tidak  FLPP yang menyasar MBR berpendapatan tetap.

Ikhtiar dan jurus kebijakan itu  bukan hanya untuk mengatasi backlog dan penataan kawasan kumuh di perkotaan dan rumah tidak layak huni, namun  mencari terobosan   pembiayaan MBR non formal yang menyasar perumahan swadaya dan “kampung terjepit”. Ikhtiar untuk keluar dari  kesenjangan pembiayaan perumahan bersubsidi bagi MBR menemui aras keadilan pembiayaan perumahan.  Ikhtiar mengatasi  kontras wajah  kota yang menyisakan kesenjangan sosial,  yang jika menengok laporan  negara-negara Afrika   tertulis miris dalam laporan  bertitel  “Two sides of African cities: strong growth,  but poor housing & persistent poverty”.

Lagi-lagi, kuncinya adalah kebijakan pembiayaan. Persis  seperti  ungkapan  kalimat lugas bernas dari pakar pembiayaan perumahan Bertrand  Renaud, “Cities are built the way they are financed”.  Tujuh  kata dalam satu kalimat yang  brilian  itu  menggambarkan dan hendak meyakinkan pemerintah bahwa  kota dibangun  melalui jalan bagaimana  perbankan membiayainya.

Ringkasnya, raut wajah kota adalah hasil pembiayaan.  Tidak usah sungkan menerima realitas gambar pembangunan perumahan MBR saat ini hasil ikutan dari sistem pembiayaan yang tersedia.

Pembaca, mengikuti Bertrand  Renaud, mungkin satu kalimat ini tepat menggambarkan kebijakan pembiayaan perumahan:  “Housing are build the way they are financed”. (MJ).

@Muhammad Joni: Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Ketua Dewan Pembina Lembaga Perlindungan Konsumen Properti dan Keuangan (LPKPK)

Share