TRANSINDONESI.CO – Larangan Allah bagi orang yang beriman agar tidak “wahn”, pada penjelasan Tausiyah Ramadhan bersama DR. Muhammad Iqbal Irham sebelumnya, menunjukkan besarnya perhatian dan kasih sayang-Nya kepada mereka.
Orang beriman selalu dalam pantauan dan perlindungan dari Allah, sehingga mereka selalu diingatkan agar tidak melakukan atau memiliki hal-hal yang buruk. Menjauhi keburukan, tentu saja akan semakin memperteguh keimanan di dalam hati.
Baca juga Tausiyah DR. Muhammad Iqbal Irham sebelumnya, terkait skill ruhani : tidak wahn, Kemudahan Hidup, Kenali Skill “Ruhani” Orang Beriman, Shalatnya Khusyuk

Jika dalam makna hadits sebelumnya, wahn berarti cinta dunia dan takut kematian, maka dalam Psikologi Islam, wahn lebih pada makna lahiriahnya yakni lemah (kelemahan) yakni lemahnya jiwa seseorang.
Al-Quran menjelaskan bahwa jiwa (nafs) memiliki dua sifat atau potensi yakni potensi buruk (fujur) dan potensi baik (taqwa).
فالهمها فجورها وتقوىها…
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. (Qs. Asy-Syam, 91: 8).
Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa jiwa adalah salah satu dari tiga unsur diri, selain fisik dan ruh. Jika fisik bersifat kehewanan, dan ruh bersifat keilahian, maka jiwa bersifat kemanusiaan. Dalam sifat kemanusiaan ini, ada dua hal yang sama besar dan kuat potensinya, yakni fujur dan taqwa.
Jiwa yang buruk (fujur) sesungguhnya merupakan kekurangan atau kelemahan jiwa yang harus diperbaiki. Di antara ciri-ciri orang yang lemah jiwanya adalah memuji diri sendiri. Dalam tinjauan psikologi, sebenarnya orang seperti ini adalah orang yang hendak menghibur hatinya yang sedang galau, gelisah. Di sisi lain, sikap memuji diri adalah sebagian dari tanda kelemahan akal.
مدح النفس علامة قليل العقل
“Memuji diri adalah tanda rendahnya akal”.
Kalimat ini menunjukkan bahwa orang yang suka memuji dirinya, sebenarnya adalah orang yang “belum dewasa” cara berpikirnya. Ia masih kekanak-kanakan dalam penggunaan akal, meski usianya sudah tua. Meminta pertimbangan atau nasehat kepada orang seperti ini, tentu saja merupakan sebuah kekeliruan.
Ciri lain dari jiwa yang lemah adalah rasa bangga ketika ia memperoleh keberhasilan dan kesuksesan. Lebih dari itu, apabila mendapatkan kenikmatan atau kesenangan, mereka akan menunjukkan kegembiraan secara berlebih-lebihan. Berjingkrak-jingkrak kegirangan, melompat kesana kemari, tertawa terbahak-bahak, berjalan dengan sombong dan congkak. Namun jika ditimpa musibah atau kesulitan, maka mereka akan mengumpat, memaki-maki, marah-marah serta menyalahkan berbagai pihak atas kejadian yang menimpanya. Sebaliknya, boleh jadi mereka akan merasa terpuruk, terkucil dan terhina. Efeknya mereka sering melamun, mengunci diri, atau bahkan menyendiri serta bicara dan tertawa sendiri.
Allah menggambarkan keadaan orang yang berjiwa rapuh ini dalam surat Al-Fajr ayat 15-16 :
فامالانسان إذا ما ابتله ربه واكرمه ونعمه فيقول ربي اكرمن. واما إذا ما ابتله فقدر عليه رزقه فيقول ربي اهانن
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi Rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. (Al Fajr, 89: 15-16).
Ego atau kesombongan juga merupakan merupakan tanda dari kelemahan jiwa. Ia mengambil sifat yang bukan sifatnya. Itu adalah sifat Tuhan yang Maha Agung lagi Maha Berkuasa.
Allah melarang orang beriman memiliki jiwa yang lemah. Ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran, adalah tanda lain dari kelemahan jiwa yang dilarang-Nya.
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu (pernah) merasakan penderitaan itu; sedangkan kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Qs. An-Nisa, 4: 104).
Dalam ayat ini secara tersirat dijelaskan bahwa orang yang selalu berharap (raja’) kepada Allah, tidak mudah mengeluh karena penderitaan atau sakit yang dirasakan. Ia tetap berjuang meski mengalami berbagai kesulitan. Bahkan, dalam perjuangan menegakkan kebenaran, ia akan terus mengejar dan memburu musuh, meski sampai ke lubang semut. Inilah gambaran dari ketegaran orang beriman, karena kuatnya harapan kepada Allah.
Dengan demikian skill ruhani orang beriman adalah ketegaran dan kemampuan menghadapi berbagai ujian. Skill ruhani yang mereka miliki, sehingga berdampak pada kekuatan jiwa, bersumber dari kesabaran.
… فما وهنوا لما أصابهم في سبيل الله وما ضعفوا وما استكانوا والله يحب الصابرين
“Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar”. (Qs. Ali Imran, 3: 146).
Dengan kata lain, sejatinya setiap mukmin adalah orang tegar, kuat dan kokoh jiwanya, dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.
Penting untuk diingat bahwa kondisi kesehatan dan ketegaran jiwa seseorang, sangat berpengaruh bagi kualitas hidup dan ketangguhannya dalam menghadapi berbagai masalah atau problematika hidup. Orang yang jiwanya sehat dan kuat dapat menghadapi berbagai masalah kehidupan dengan mudah.
Orang yang kuat jiwanya akan menghadapi persoalan hidup dengan ketenangan, ketentraman dan kedamaian. Ia mersa tenang menjalani hidup karena yakin bahwa Allah yang Maha Rahman dan Rahim, akan selalu memberikan yang terbaik baginya. Jiwanya tentram karena merasakan keindahan mengingat-Nya. Hatinya penuh kedamaian karena merasakan kedekatan dengan-Nya.
Jadi, jika dipertanyakan, mengapa orang beriman itu kuat, tegar dan kokoh jiwanya? Jawabannya, karena dia memiliki ketersambungan atau keterhubungan yang baik dengan Allah.
Bagaimana dengan kita…? Semoga Ramadhan ke-7 ini, Allah membuka hati kita dan menitipkan cahaya (nur) di dalamnya.[DR.H. Muhammad Iqbal Irham]