TRANSINDONESIA.CO – Oleh Muhammad Joni – Advokat, penggagas demokrasi kulineri-
Soor kali, Ah!
Seperti halnya J. Nienhuys, yang terpincut dengan tanah subur luas kala menginjakkan kaki di Deli, meneguk air bening sungai Deli, dan menghirup hawa sejuk udara perkebunan yang dibangunnya, itu berarti Deli adalah serba swargawi.
Perkebunan Tanjung Spassai Labuhan Deli, adalah kebun pertama yang dibuat J. Neinhuys, hawanya sejuk dan masih dekat sungai yang airnya bisa diminum.
Konon, sekali saja mereguk air minum dari tanah Deli pasti mengikat hati setiap orang bertekun-tekun di Deli. Tinggal dan bergiat lama di Deli.
Tak heran jika van Den Brant, seorang warga Belanda yang merantaukan nasib ke Deli, berpraktek sebagai advokat dan jurnalis di Deli kala itu, aktif memperjuangkan nasib kawula bumi butera sampai di fora parlemen Belanda, yang terkenal dengan tulisannya “Mileniun uit Deli”, yang sempat gemparkan negeri Belanda.
Emil Wira Aulia, menuliskan sepenggal alkisah itu dalam novel sejarah hukum bertitel “Berjuta-juta dari Deli”, titel yang mengambil alih terjemahan judul tulisan van Den Brant “Mileniun uit Deli” tadi.
Lantas? Seperti J.Neinhuys dan van den Brant memiliki pengalaman besar mengenai Deli. Bahkan HAMKA yang pernah merantau ke Deli memiliki kesan batin kepada Deli, yang menginspirasinya menulis novel “Merantau ke Deli”, sebuah novel sastra klasik yang menjadi kenangan HAMKA era sebelum perang dunia kedua yang dimuat majalah “Pedoman Masyarakat” (1939-1940) dan diterbitkan penerbit Cerdas Medan tahun 1941.
Patik sendiri pun terbilang merantau ke Deli, kalau hendak menyebut pergi dari kota mungil Tanjungpura (dulu ibu negeri Kesulthanan Langkat) untuk kuliah hukum dan memetik “bunga suntingan kepala” ke Deli (sekarang Medan) itu, setuju termasuk kategori kosa kata merantau.
Tak terbantahkan, patik pun bersyukur hebat karena pernah menetap (ups, merantau) ke Deli, dan mereguk bening airnya, menghirup-hirup udara hangatnya, menjejakkan kaki dan menyimpan memori asmara di sana, bergaul dengan segala suku bangsa, dan bangga dengan kemegahan kawasan Kesawan, sampai tergila-gila dengan mewahnya kulineri Deli dalam sejumlah daftar panjang judul menunya.
Ohya,di kawasan Kesawan ada Gedung London Sumataera yang lazim dipanggil Lonsum yang tuntas dibangun tahun 1906 oleh pemiliknya David Harrison, pemilik perkebunan karet Harrison & Crossfield company (H&C) yang berpusat kota London. Gedung 5 lantai bergaya arsitektur rumah London abad 18-19, kuat pengaruh Eropa pada lekuk tengkap (jendela) di sisi kiri dan sisi kanan.
Seakan menjadi ikon kejayaan perkebunan yang bermarkas di Medan. Aha, akankah benar tesa ini, “Tak Mungkin Medan tanpa Kesawan”?
Jika anda sudah memiliki daftar kulineri yang hendak dikinyam kala tandang ke Medan, dengan haqqul yaqin patik hendak memantik api jawara selera anda, atau tepatnya menggoda anda menginyam semangkok kulineri bertitel “SKD”, yang bisa disajikan dengan sepinggan nasi putih berikut racikan ikan teri sambal merah dan kerupuk emping Aceh yang putih renyah.
Kalau anda belum pernah menginyamnya, saya percaya anda sudah bergelimang selera mewah dan bertenaga meruah dengan separagraf kalimat indikatif-provokatif berikut nanti. Bagi yang baru mendengarnya, patik memberitahu bahwa “kinyam” itu kata bahasa Melayu, yang lebih halus, santun dan elegan dari kata “makan”, apalagi kata “baham” dan “sentap” yang terkesan agar vulgar.
Oke. Aok-lah, kata bahasa Melayu. Mari kita bicara kinyam menginyam “SKD” tadi. Keberuntungan anda pada nikmat sehat wal afiat perlu disyukuri dengan mencoba sedapnya anugerah rasa “SKD”.
Kalimat ini tentu tak sanggup menjelaskan detail ikhwal kesempurnaan nikmat rasa adonan kuah sop berwarna rada kuning-merah yang ramai dengan sampiran dedaunan mungil penyedap beberapa helai saja, yang tak mampu menutupi tulang (kepala) kambing dengan tekstur daging yang berlapisan tebal dan empuk kala digilas ke dalam rongga mulut anda.
Aromanya saja sudah amat menggoda untuk bergegas segera menyeruput kuahnya yang berani dan tak pelit bumbu. Yang kala dihidangkan dalam keadaan hangat, aroma sedap yang keluar entah dari daging, dari tulang, dari kuah, pun dari asapnya, kiranya sanggup menyebarangi tingkap menganga sampai ruas jalan @Ringroad yang berkilap lampu berwarna.Tentu rasanya lebih mewah dan sempurna lagi dengan segelas jus terong martabe (kolaborasi markisah dan terong belanda) yang dipercaya bertenaga kuat melunturkan lemak jahat.
Jika menyaksikannya langsung, saya tak akan susah payah menuturkan bagaimana , penampilan dan aroma “SKD” yang tersaji di meja, dalam diam tanpa suara apapun sudah memikat urat selera makan anda kala hirupan pertama sop itu melewati rongga mulut anda.
Esai “demokrasi kulineri” Deli ini tak lepas dari sosok kawan patik masa SMP di Tanjungpura, Herlina Darus (“LD”), pemilik merek “SKD” itu. Pada sosok “LD” dan “SKD” yang sudah lama bertungkus lumus melakukan uji coba dan tabah menantikan hasil inovasi hingga akhirnya terciptalah menu andalan “SKD” itu.
Kenduri kulineri khas “SKD” itu makin “soor kali ah” dengan sambutan langsung dan tutur kata LD dengan suara bariton yang renyah berderai, logat khas Melayu yang kental, menjadi ciri sifat ramah yang tulus bukan buatan darinya. Kalau bertemu dengannya lagi, patik menyiapkan satu tanya: dimanakah alamat penyimpan resep rahasia itu?