Belajar dari Aksi Bela Islam:Pemimpin Otentik Dipatuhi dan Diikuti Tanpa Bunga [2]
TRANSNDONESIA.CO – Mau tahu seluk beluk mesin dan perkakas mobil anda, pahamilah buku manual terbitan pabriknya. Hendak memahami Indonesia, pahamilah konstitusinya. Siapa nekat menafikan Pembukaan UUD 1945 alinia III yang menggunakan frasa “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa …., maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Jangan pula sungkan membaca Pasal 29 ayat (1) berbunyi “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tersebab itu, kua konstitusi, tak bisa menafikan arti penting Islam dalam kelahiran Indonesia. Kua historis, tak bisa menafikan peran umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan. Karenanya, dalam era sekarang ini, tolong jangan gegabah menyudutkan umat Islam intoleran dan semberono menuding radikal kepada Negara Indonesia yang dulu diperjuangkannya dan legowo menerima kebhinnekaan. Jangan-jangan yang semberono menuding itu yang belum membaca sejarah dan gagal paham isi konstitusi, dan karenanya tak mengerti pada moral dan nilai demokrasi.
Namun, sebaliknya bangsa ini mesti berterimakasih karena mendapatkan pengajaran yang cepat, tanpa biaya sosial-politik yang tinggi, dan justru elegan ikhwal cara bijak dalam mengorganisir gelombang pendapat, menyalurkan lautan aspirasi yang terbukti damai, aman dan otentik sebagai bagian tak tersembunyi dari esensi demokrasi. Serta, pada saat yang sama berhasil membuktikan umat Islam Indonesia sanggup bersikap dewasa dan kampiun berdemokrasi, toleran dan teguh dalam pendirian yang tak pupus karena hambatan buatan.
Itulah pelajaran demokrasi yang kadarnya tinggi dan sifatnya esensial dalam cara menyampaikan pendapat, aspirasi, unjuk rasa sebagai hak politik yang dijamin konstitusi dan Undang-undang. Itulah pelajaran demokrasi yang berhasil dibenihkan, yang sudah boleh dipetik dan disumbangkan kepada bangsa Indonesia, yang dihidangkan sebagai outputs dari berbagai aksi umat Islam yang terbukti damai dan mengusung nilai konseptual. Bukan hanya demi politik praktis jangka pendek semisal pilkada, seperti tudingan kalangan Islamofobia.
Terbukti, aksi 212 maupun aksi 55 itu adalah gelombang pendapat dan lautan aspirasi yang terus memekar tersemai dengan damai, walau kontestasi pilkada usai. Pandailah membacanya. Itu sebagai surplus kecerdasan politik warga. Kalau tak bisa mengejanya dengan mata, perlu “mata” yang lain untuk cermat membaca surplus kesadaran politik umat Islam itu.
Surplus kesadaran politik itu, menyumbang aras Politik (“P” huruf kapital) makin esensial, berorientasi nilai-konseptual, sekaligus damai dalam operasional, bukan sekadar kontestasi suka tak suka yang acap lakon politik kekerasan, culas, kecurangan, koruptif yang merendahkan defenisi politik sebagai tak simpatik. Islam sebagai rahmatan lil alamin yang mengusung tema pokok keadilan dan setarikan nafas menjamin pluralitas, adalah idenya. Yang dalam “hidangan” demokrasi Indonesia sudah lama menenun dua hal yang tak bisa diceraikan: keIndonesiaan dan keIslaman. Lantas, masihkah gegabah menuding kepatuhan warga idemditto umat kepada ajaran Islam dituding intoleran? Kepentingan apa hendak diraih menceraikan keIndonesiaan dengan keIslaman?
Bukankah aksi 212, pun yang terakhir aksi 55 hanya ekspresi kebebasan berpendapat dan menghendaki jaminan keadilan hukum dalam negara hukum? Apalagi terbukti aksi 55 digiatkan dengan super damai seperti pengakuan otoritas keamanan. Tak berlebihan jika bangsa dan negara lain perlu antri belajar ke sini soal posulat dan cara bergiat dalam hal ikhwal kebebasan berpendapat.
Tersebab itu umat Islam Indonesia patut menjadi inspirasi, laboratorium bahkan ikon baru bagi bangsa dan negara di dunia yang berhasrat kepada demokrasi. Seperti dulu sejarah mencatat Indonesia sebagai pionir gerakan kemerdekaan negara bangsa di benua Asia dan Afrika.
Mengapa bisa terjadi? Sebab adanya persenyawaan ulama dengan rakyat/umat. Kini, rakyat saling merindu dan loyal kepada sang pemimpin otentik, yang tempatnya nyaris tak berjarak dengan rakyat, baik dalam aksi maupun pikiran dan kepentingan. Kalaupun ada jarak, itu hanya penghargaan kepada kepemimpinan, dan ketahuilah: itu cuma sedikit. Seperti alegori pepatah minang, “ditinggikan seranting, dimajukan selangkah”.
Pemimpin otentik adalah yang suaranya seperti magnet yang menarik-narik. Yang sanggup dengan lekas menjalinkan batin dan tenaga rakyat idemditto umat untuk turun berjuang. Dengan sampiran takbir dan bernukleuskan keadilan.
Siapa bisa? Hanya pemimpin otentik yang mampu melakukannya, seperti mereka sang founding fathers yang dulu menjadi generator perjuangan kemerdekaan. Dan, seperti kini mereka yang mengilhami dan melakoni aksi memperjuangkan keadilan. Dari belasan, ratusan bahkan jutaan generator perjuangan keadilan. Sebagai sosok: ulama, kiai, habaib, ustadz. Sebagai pemimpin otentik yang diikuti dan dipatuhi, yang saling merindukan dan mempersatukan. Yang menyempurnakan ikhtiar perjuangan keadilan dengan zikir dan doa, tanpa embel-embel karangan bunga.
[Muhammad Joni, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)]