Watak Regulasi Properti: Mustahil Nihil Kepentingan Publik

TRANSINDONESIA.CO – Menyusul  Botani Square, pusat perbelanjaan yang terletak di jantung kota Bogor, kelak tak lama lagi Institute Pertanian Bogor (IPB) memiliki University Resort (U-Resort) di atas lahan seluas hanya 1,5 hektar.  Mau buat apa di atas lahan tak terlalu luas itu? Di tangan Lukman Purnomosidi, founder Eureka Group, bakal terbangun U-Resort yang berkonsep Eco Friendly, Student  Friendly, dan Research  Friendly  yang  terkoneksi dengan  infrastruktur pendidikan kampus IPB.

Disebut U-Resort  tersebab  lahannya memiliki panorama  danau Situ Gede dan hutan kota cifor yang rindang sehingga sangat mendukung aktifitas  belajar dan riset mahasiswa.

Segenap budaya kampus akan diterapkan di U-Resort termasuk bebas narkoba dan minuman keras/miras. Tentu saja larangan merokok dan bebas asap rokok sesuai Perda Kota Bogor No.12/2009 demi kepentingan publik menjaga kesehatan dan lingkungan.

Seperti  diwartakan,  setiap blok U-Resort tersedia jaringan internet wifi sehingga menjadi satu komplek residensial berbasis riset. Majalah  Indonesia Housing  edisi Februari 2017 secara elok menuliskannya dengan titel “University Resort, Pelopor Apartemen Mahasiswa Moderen”.

Muhammad Joni.[IST]
Mari membayangkan U-Resort  yang  bakal menjadi bagian kampus IPB. Inikah kolaborasi properti dan pendidikan? Lebih dari itu. Sebab,  bertemali dengan visi, konsepsi, hak milik intelektual, skim pembiayaan, kerjasama bisnis, pengelolaan,  selain pembangunan properti itu sendiri. Dan, tentunya menimbang sejumlah “belantara” regulasi.

Bahkan bukan hanya   regulasi   properti   komersial, namun regulasi bersifat publik yang tak   mungkin menihilkan kepentingan publik.

Pembaca yang bersemangat. Andai anda sontak disodori ratusan hektar tanah kawasan hijau berkontur molek di kabupaten pemekaran, apa yang anda lakukan?  Sebagai investor pun demikian developer anda tak hanya mencermati peluang pasar dan menghitung berapa kebutuhan kapital, namun lebih dari itu ditantang menjelmakan visi dan merumuskan konsep serta  jurus  jenius mewujudkannya, lengkap dengan promosi dan pemasaran yang laris manis.

Tak hanya sebagai peniaga-developer, anda dituntut menjadi perencana tata kota yang tangkas dan cerdas membangun (serta menjual) kota mandiri baru, menggaet  tenant pemegang merek terkenal, mendisain code of estate, mengendalikan keamanan dan stabilitas sosial, dan memimpin “pasukan” melayani keluhan warga. Berlakon bak “walikota” pada kota baru mandiri buatan anda.

Untuk menghargai tinggi karya properti premium itu, tak cukup hanya promosi namun perlu menggiatkan literasi properti untuk menciptakan konsumen yang cerdas dan Loyal. Mulai berkembang  jurus developer tak sebatas iklan promosi produk, namun lebih edukatif dengan menggiatkan literasi properti.

Juga di titik inilah urgensi  kaum developer menghargai perlindungan konsumen, bahkan pada   derajat yang tinggi. Pun demikian bisnis properti yang sempurna terikat kewajiban menjamin mutu produknya.  Lagi-lagi, regulasi properti komersial tak mungkin menihilkan kepentingan publik.

Begitu pula setakat  menyulap puluhan hektar kawasan mentah menjadi sunrise area yang menjadi magnet konsumen cerdas, tidak cuma visi, konsepsi dan jurus melakoni pengembangannya, namun anda bertemali sejumlah regulasi.

Sebut saja misalnya  regulasi penataan ruang, pengelolaan lingkungan, kewajiban hunian   berimbang,  penyediaan prasarana, sarana dan utilitas, ruang terbuka hijau, dan sebagainya.   Tersebab itu, regulasi properti komersial tidak mungkin menihilkan kepentingan publik. Bahkan wujudnya sebagai aturan memaksa.

Pembaca, begitulah sehalaman narasi mengapa hukum properti mustahil nihilis anasir kepentingan publik. Karena hukum properti tak sekadar hukum perjanjian tentang property yang berasaskan kebebasan berkontrak. Pakemnya, jangan berkhayal menghendaki UU ikhwal  properti komersial yang hanya mengatur konten “ABC”-nya bisnis properti semata.

Namun regulasi yang mempertemukan  kepentingan sektor privat dengan kepentingan publik yang dirumuskan sebagai aturan yang mengatur, memfasilitasi dan bahkan memaksa dengan sanksi. Menjadikan hukum sebagai alat bagi rekayasa sosial (law as a tool of social enginerring) untuk mencapai tujuan mulia bernegara.

Lagi-lagi, mustahil membuat regulasi yang hanya melulu urusan properti komersial yang menihilkan kepentingan publik.

Sebaliknya, ikhwal kepentingan publik atas ketersediaan rumah yang digarap ke dalam    Program Sejuta Rumah (PSR) yang dirancang mengatasi backlog, mengentaskan rumah tidak   layak huni dan kawasan permukiman kumuh, tidak hanya urusan yang diselesaikan Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pemda) sendiri.

Akan tetapi melibatkan peranserta pelaku pembangunan alias developer swasta secara  signifikan, sebagaimana terbukti dalam perjalanan PSR memasuki tahun ketiga ini. Sebuah   majalah mewartakan,

“PUPR Minta REI Tetap Dukung Sejuta Rumah” Idemditto, aturan hunian berimbang yang   tercakup dalam UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (UU PKP) maupun kewajiban menyediakan  minimal 20% rusun umum dari total luas lantai rusun komersial versi   Pasal 16 ayat (1) UU No.20/2011 tentang Rumah Susun (UU   Rusun), menghendaki    peranserta yang lantas bermetamorfosis menjadi “kewajiban” pengembang swasta dalam pembangunan perumahan bagi   masyarakat   berpenghasilan rendah (MBR).

Walaupun, patut digemakan terbitnya “kewajiban” swasta itu berasal dari kewajiban/tanggungjawab asli Pemerintah yang diamanatkan Pasal 54 ayat (1) UU PKP dan Pasal 15 ayat (1) UU Rusun.

Alhasil, tak elok berfikir hendak memisahkan hukum properti komersial dengan perumahan   rakyat yang bersifat kepentingan publik. Bahkan, tren regulasi saat ini menghendaki kerjasama   dan arsiran antara domein privat dengan domein publik dalam pengaturan perumahan dan permukiman.

Hal mana tertuang  dalam  berbagai regulasi terbaru seperti PP No. 14 Tahun 2016, PP No. 64 Tahun 2016. Lagi-lagi,  regulasi  tidak menihilkan peranserta pelaku pembangunan  properti komersial dalam pemenuhan perumahan bagi MBR sebagai kepentingan publik.

Ringkasnya, rezim hukum versi UU PKP dan UU Rusun tak menafikan perumahan (properti)   komersial dalam belantara regulasi perumahan dan permukiman. Bahkan semestinya   menambahkan rezim hukum pembangunan perkotaan (urban development).

Sebaliknya sektor pembangunan properti komersial bertemali dengan kewajiban pembangunan perumahan  bagi MBR. Postulatnya, hukum properti komersial hanya satu “pohon” saja dalam   “belantara” hukum perumahan, permukiman dan pembangunan perkotaan (housing and urban development law).

Tepat jika didalilkan, hukum properti tak hanya hukum perjanjian properti namun bertemali   dengan kepentingan publik. Pun demikian,  jangan pula alergi jikapelaku pembangunan sebagai stakeholder diberi ruang turut berkonstribusi dalam merumuskan regulasi.

Apapun bentuk dan namanya, regulasi sektor apapun tetap loyal menjadikan kepentingan publik   sebagai ruhnya.  Itulah alasan mengapa pemerintah sebagai regulator, bukan non pemerintah alias swasta.

Tepat jika Ketua Umum REI Soelaeman Soemawinata menjadikan hukum (dan perijinan) alias   regulasi sebagai satu dari 7 Pilar programnya. Begitulah, watak regulasi properti mustahil nihil kepentingan publik.

Penulis: Muhammad Joni [Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum   Housing and Urban Developement (HUD) Institute, Ketua Dewan Pembina Lembaga   Perlindungan Konsumen Properti dan Keuangan (LPKPK)]

Share