Program Sejuta Rumah: Utamakan Rumah Swadaya

TRANSINDONESIA.CO – Anda hendak membeli rumah? Bersiaplah pergi ke pameran perumahan yang rutin digelar perhimpunan pengembang. Walaupun tak melulu memesan dan membeli rumah  pertama untuk dihuni sendiri atau malah untuk investasi,  penawaran rumah makin kompleks dan kompetitif dengan berjibunnya skim kredit pemilikan rumah (KPR) yang rajin ditawarkan segenap bank.

Rumah  yang ditawarkan di pasar perumahan ini dikenal sebagai rumah formal, yang dibangun pelaku pembangunan memenuhi kebutuhan hunian.  Akankah rumah yang dibutuhkan konsumen, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dirancang hanya tersedia di pasar perumahan? Akankah arah kebijakan pembangunan perumahan  melulu  bermuara pada  rumah formal?

Untuk MBR disediakan rumah umum yang  memperoleh kemudahan dan/atau bantuan, termasuk pembiayaan perumahan yang kini dikenal sebagai Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Selisih Bunga (SSB), dan Bantuan Uang Muka (BUM). Sayangnya, skim pembiayaan itu lebih menyentuh kelompok sasaran MBR formal dan pendapatan tetap (fixed income). Belum pula tersedia pembiayaan perumahan MBR multy finance yang beragam dan fokus bagi MBR non formal.

Kepada awam perlu disosialisasikan bahwa selain rumah umum, UU No.1/2011 juga mengakui  rumah swadaya. Pembangunan perumahan swadaya juga bagian dari kewajiban  Pemerintah  dan pemerintah daerah (pemda) memberikan kemudahan dan/atau bantuan.  Rumah swadaya  yang dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat, baik sendiri ataupun berkelompok, namun bukan mustahil mengembangkan mekanisme perumahan swadaya secara formal, terukur dan akuntabel.

Penulis, Muhammad Joni.[IST]
Penulis, Muhammad Joni.[IST]
 Menurut data, justru rumah swadaya itu porsi yang terbesar, yakni mencapai lebih 70-an persen  jumlah rumah di Indonesia.  Namun, kondisi rumah swadaya yang sudah ditempati bertahun-tahun, banyak yang berada pada kawasan kumuh, tidak tertata dan masuk kualifikasi rumah tidak layak huni (RTLH). Tersebab itu, tepat jika Pemerintah mengelontorkan  bantuan perbaikan rumah swadaya sebagai salah satu programnya.  Berdasarkan RPJMN 2015-2019, backlog kepemilikan sejumlah 13,5 juta unit, sedangkan backlog penghunian  (7,6 juta unit). Terdata pula 3,4 juta unit RTLH.  Lantas, apa yang dilakukan Pemerintah?

Dari tahun ke tahun, Program Sejuta  Rumah (PSR) terus memberikan bantuan stimulan perumahan swadaya. Dari laman www.pu.go.id/m/main/view/12072, diwartakan capaian PSR tahun 2016, pemerintah melalui Ditjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR  membangun  111.796 unit rumah  MBR,  terdiri dari rumah susun sewa (rusunawa) sebanyak 7.860 unit, rumah khusus (6.048 unit), rumah swadaya (97.888 unit) yang terdiri pembangunan rumah baru (1.007 unit) dan peningkatan kualitas rumah (96.881 unit).   Target  tahun 2017?  Dari laman majalah Indonesia Housing, Kementerian PUPR merencanakan stimulan 110.000 unit rumah swadaya.

Dari sisi kuantitas, intervensi bantuan stimulan terhadap rumah swadaya signifikan dalam statistik capaian PSR,  walaupun  intervensinya hanya mencakup perbaikan rumah dan pembangunan baru. Jika porsi statistik rumah swadaya penting bagi PSR,  akankah kemudahan dan/atau bantuan untuk perumahan swadaya (yang mengandalkan keswadayaan MBR)  sudah setara dengan intervensi terhadap rumah umum yang bersifat formal?

Kalau rumah umum masih melulu untuk MBR formal,  setidaknya sampai saat ini, namun untuk  rumah swadaya, penerima Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS)  justru tidak tersekat antara MBR formal dan MBR non formal. Malah, BSPS dirancang efektif menjangkau MBR non formal.

Hanya Bantuan Stimulan?

Perlu dicatat,  untuk rumah swadaya yang diberikan bantuan  Pemerintah dengan skim BSPS hanya mencakup Pembangunan Baru (PB), Peningkatan Kualitas (PK), dan/atau pembangunan Prasarana, Sarana dan/atau Utilitas (PSU).  Berbeda dengan  rumah umum bagi MBR yang seluruhnya pembangunan rumah baru dengan  ragam inovasi pembiayaan  perumahan, justru intervensi terhadap perumahan swadaya bisa lebih leluasa meningkatkan kuantitas mengatasi backlog dan RTLH, walaupun  masih  mencakup PK dan PB, serta bantuan PSU.

Persoalannya, sebesar apa kebijakan anggaran Pemerintah dalam APBN agar lebih fokus  perumahan  swadaya? Bukankah  intervensi perumahan swadaya tak cukup hanya bantuan stimulan ala BSPS? Pun demikian, penting  membenahi mekanisme  BSPS yang terukur, akuntabel dan tepat sasaran.

Disarankan, Permen PUPR No.13/2016 tentang BSPS mesti dievaluasi dan dikembangkan agar efektif gerakkan keswadayaan MBR dan partisipasi swasta ala creating shared value (CSV) untuk rumah MBR yang diusulkan Ali Kusno Fusin dari HUD Institute untuk sempurnakan kebijakan PSR.  Sehingga kepada rumah swadaya bukan hanya memberi bantuan stimulan tetapi juga skim pembiayaan dan penjaminan rumah swadaya. Malah bantuan untuk rumah swadaya semestinya idemditto dengan intervensi untuk rumah umum bagi MBR.

Kua normatif, Pemerintah wajib menyediakan rumah bagi MBR [vide  Pasal 54 ayat 1 UU No.1/2011 dan  Pasal 37 ayat (1) PP No.14/2016]. Kewajiban Pemerintah itu tidak dibatasi hanya rumah umum saja, termasuk pula rumah   swadaya  yang dibangun atas prakarsa dan upaya MBR, baik sendiri  ataupun berkelompok. Apakah kemudahan dan/atau bantuan versi Pasal 54 ayat (3) UU No.1/2011 melulu untuk rumah umum? Tentu tidak. Tiap bentuk kemudahan dan/atau bantuan yang diberikan Pemerintah kepada MBR mencakup pula perumahan swadaya.

Artinya? Walaupun  Pasal 54 ayat (3) huruf b UU No.1/2011 menerakan eksplisit bantuan “stimulan rumah swadaya”, hemat penulis tidak berarti hanya bantuan stimulan PB dan PK  serta PSU saja  yang  dialokasikan untuk rumah swadaya, tetapi  mencakup pula keseluruhan kemudahan dan/atau bantuan dalam  Pasal 54 ayat (3) UU No.1/2011. Bias rumah formal mesti dihindari dalam intervensi penyediaan  rumah bagi MBR, termasuk PSR.

Namun  jika merujuk PP No.64/2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (sebut saja “PPMBR”), benarkah maksud Pemerintah bahwa PPMBR  hanya  pembangunan rumah umum yang bersifat formal? Jika PPMBR yang dimaksud dalam PP No.64/2016 itu  hanya yang dibangun oleh badan hukum (vide Pasal 5 ayat 1), maka  PPMBR bukan pembangunan perumahan swadaya MBR (sebut saja “PPSMBR”). Mari diskusikan, dengan inovasi dan adaptasi seperlunya,  dengan rujukan PP No.64/2016 itu PPMBR bukan mustahil mencakup pula PPSMBR.

Pembaca yang bersemangat, di tengah situasi makro keterbatasan APBN  untuk  skim pembiayaan perumahan MBR,  juga  rencana integrasi FLPP ke dalam Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), dan jurus konsolidasi tanah mengatasi permukiman kumuh,  dengan semangat  fasilitatif pemerintah versi  PP No.64/2016 mendukung  PPMBR,  penulis tergoda pada satu pertanyaan tersisa.   Apakah muskil  perumahan swadaya berbasis kawasan permukiman  diselenggarakan kelompok MBR dengan  membentuk kelembagaan pembangunan perumah swadaya?  Semoga gagasan cerdas dan  out of the box bisa membuatnya bukan hal musykil.

Jika  dengan  PP  No.64/2016  badan hukum melakukan PPMBR, maka  patut pula didorong kelembagaan yang tepat untuk PPSMBR. Atau, mengadopsi jurus out of the box  Ade Armansyah setakat diskusi perumahan Komite Ekonomi dan Industri (KEIN), bahwa  permukiman “kampung hunian” yang terdiri rumah swadaya dan RTLH dikonsolidasi dan terkoneksi dengan permukiman hunian mewah dan menegah dengan inovasi konsep hunian berimbang. Atau, dengan terkoneksi dengan PPMBR.  Akankah perumahan swadaya diutamanan  dan menjadi fokus pembangunan perumahan?

[Muhammad Joni – Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Ketua Dewan Pembina Lembaga Perlindungan Konsumen Properti dan Keuangan (LPKPK)]

Share