Masalah Idiologi yang Belum Selesai

TRANSINDONESIA.CO – Idiologi Bangsa Indonesia sudah jelas dan final yaitu Indiologi Pancasila. Sila-sila yang tercantum dalam Pancasila tercantum dalam Mukadimah UU Dasar 1945,  dan bagian integral dari Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam perjalanan Indonesia selama 71 tahun merdeka pasang surut idiologi Pancasila sangat dinamis. Dimasa Orde Lama, upaya  menggabungkan nasionalisme, agama dan komunis  (NASAKOM),  dalam idiologi Pancasila menimbulkan resistensi yang luar biasa dari sebagian besar rakyat Indonesia, karena tidak sesuai  dengan pehamanan  falsafah Pancasila yang  sudah mengalir dalam darah rakyat Indonesia.

Puncaknya adalah pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965 untuk menggantikan idiologi Pancasila dengan tumbal banyaknya pertumbahan darah rakyat  akibat konflik horizontal yang terjadi diantara rakyat. Ini sangat memilukan dan merupakan puncak sisi  gelap dalam sejarah perjalanan bangsa yang sebelumnya sudah terjadi beberapa pemberontakan dengan tujuan mengubah idiologi Pancasila maupun yang terkait dengan ketidakpuasan antara pusat dan daerah.

Ilustrasi
Ilustrasi

Idiologi komunis akhirnya diharamkan di Indonesia melalui TAP/MPRS-RI  NOMOR  XXV/MPRS/1966  tentang \pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia  bagi Partai Komunis Indonesia  dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan seluruh ketentuan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 ini, kedepan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Dimasa Orde Baru, idiologi Pancasila oleh Pemerintah diperkokoh dengan berbagai strategi dan kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pemerintah Orde Baru mengelaborasi pemahaman Pancasila yang sadar atau tidak sadar, suka tidak suka ujungnya untuk melanggengkan kekuasaan.

Dirumuskan butir-butir Pancasila, dengan 36 butir sebagai penafsiran resmi pemerintah. Untuk   mengedukasi  masyarakat dibentuk lembaga yang namanya BP7, dan penatar-penatarnya di beri gelar Manggala  pada level nasional maupun propinsi dan kabupaten/kota. Kemudian keluar kebijakan pemerintah agar setiap organisasi masyarakat harus  menerapkan azas tunggal Pancasila dan tidak boleh ditambah embel-embel azas lain. Pola penerapan idiologi Pancasila gaya Orde Baru  mendapatkan penolakan dan resistensi dari sebagian masyarakat terutama para tokoh – tokoh Ormas dan dunia kampus.

Lengsernya Soeharto tahun 1998, dan melahirkan orde Reformasi yang sudah berjalan 16 tahun sampai saat ini, persoalan idiologi Pancasila tidak begitu banyak dibicarakan. Pancasila sebagai idiologi  terbuka nampaknya merupakan phenomena baru dan  menjadi semangat  lahirnya gerakan reformasi.

Yang penting nilai-nilai Pancasila harus menjadi rujukan/referensi bagi semua warga masyarakat dalam menjalankan kehidupannya bernegara, beragama, bermasyarakat   dalam bingkai  NKRI.  Demokrasi mendapatkan tempat yang seluas-luasnya, bahkan sebagian masyarakat menyebutkan sudah kebablasan.

Kita tidak ada lagi mendengarkan perdebatan dan diskusi serius soal indiologi Pancasila. Para idiolog bangsa mulai khawatir jangan-jangan masyarakat Indonesia mulai  lupa Pancasila dan bahkan  generasi muda tidak hapal sila-sila Pancasila. Upaya alm.Taufik Kiemas sewaktu menjadi Ketua MPR, mensosialisasi 4 pilar Pancasila, UU Dasar 1945, NKRI  dan Bhineka Tunggal Ika merupakan langkah terpuji untuk mengawal bangsa ini untuk tidak lupa dengan idiologi bangsanya yaitu Pancasila.

Masalah idiologi muncul kembali

Pada kesempatan Ibu Megawati Sukarnoputri, memberikan sambutan dalam rangkat HUT PDIP ke-44 hari Selasa 10 Januari 2017, di JCC, sebagai Ketua Umum PDIP secara mengangetkan menyinggung soail idiologi Pancasila, dan berkembangnya idiologi terutup yang mengancam bangsa ini. Saya mendengarkan sampai habis pidato beliau di TV dan agar tidak keliru saya membuka internet untuk mendapatkan naskah tertulis dan juga membaca kutipan dari media online TEMPO.CO yang kutipannya sama dengan yang saya dengar di tv dan naskah pidatonya. Saya mencermati bahwa ada kegelisahan  Ketua Umum PDIP atas situasi akhir-akhir ini yang berkaitan dengan isyu SARA dan idiologi tertutup.

Walaupun sampai akhir pidato  saya tidak mendengar dan tidak ada di naskah sambutan tertulis  siapa yang dituding, kelompok mana yang dimaksudkan dengan membawa paham idiologi tertutup. Masyarakat disuruh menduga-duga siapa gerangan dengan ciri dan tanda-tanda  yang beliau  sampaikan.

TEMPO.CO mengutip, Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri meminta seluruh kadernya memahami pentingnya Pancasila sebagai dasar kehidupan bernegara. Menurut Megawati, Pancasila mendeteksi  dan menjadi tameng terhadap serangan “idiologi tertutup”.

Idiologi tertutup yang dimaksudkan Mega mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Idiologi ini bersifat dogmatis  dan tidak berasal dari cita-cita yang sudah hidup di masyarakat. “Idiologi terutup tersebut hanya muncul dari suatu kelompok tertentu ang dipaksakan diterima oleh seluruh masyarakat”

Megawati menambahkan, kaum penganut idiologi tertutup ini kerap memaksakan kehendaknya. Dialog dan prinsip-prinsip demokrasi tidak ada lagi. “Bagi mereka terror dan propaganda adalah jalan kunci tercsapainya kekuasaan” ucapnya.

Menurut Megawati syarat hidupnya idiologi tetutup yaitu lahirnya aturan hingga dilarangnya pemikiran kritis. Mereka menghendaki keseragaman dalam berpikir dan bertindak dengan cara pemaksaan. “Karena itu pemahaman terhadap agama dan keyakinan sebagai bentuk kesosialan pun dihancurkan, bahkan dimusnahkan tuturnya”.

Megawati berujar, kaum dengan idiologi tertutup ini anti kebhinekaan. “Itulah yang muncul dengan berbagai persoalan SARA akhir-akhir ini”.

Selain itu, Megawati menganggap para pemimpin idiologi tertutup ini memposisikan dirinya sebagai para peramal masa depan. Mereka, kata Megawati tampak fasih meramalkan yang terjadi dimasa depan higga masa pasca kehidupan. “Padahal notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya”.  Ujar Megawati.

Dari pidato Megawati tersebut, secara keseluruhan tentu adanya keinginan untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini dengan   menggunakan referensi Pancasila sebagai idiologi terbuka. Bahkan Pancasila harus dijadikan benteng terhadap serangan idiologi tertutup.  Karakter idiologi tertutup yang disampaikan oleh Megawati tentu tidak dikehendaki oleh siapapun di republik ini.

Apalagi lagi melarang pemikiran kritis, memaksakan kehendak, anti kebhinekaan, tidak ada dialog, tidak ada demokrasi. *Pertanyaannya adalah apakah ada  yang menerapkan idiologi tertutup didalam masyarakat/kelompok masyarakat atau bahkan di penyelenggara negara  sebagaimana yang disinyalir oleh Megawati*. Pertanyaan  ini tentu memerlukan jawaban dengan melakukan introspeksi kepada semua pihak apakah masuk dalam idiologi tertutup.  *Jika ada, segeralah memperbaiki diri, dan segera kembali kepada idiologi Negara Pancasila*.

*Hal kedua yang menjadi pertanyaan adalah terkait adanya  para pemimpin idiologi tertutup  memposisikan dirinya sebagai para peramal masa depan. Mereka, tampak fasih meramalkan yang terjadi dimasa depan hingga masa pasca kehidupan. “Padahal notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya”*. Pertanyaan ini perlu dijawab, sebab biasanya  yang bicara soal  hidup sesudah mati  adalah pemimpin agama (semua agama). Intinya mengingatkan manusia untuk berbuat baik di dunia, dan akan mendapatkan ganjaran kebaikan juga nanti di akhirat.

Sebagaimana kita pahami sebagai umat beragama, khususnya Islam sebagai agama yang saya anut, mengajarkan bahwa dalam hubungan antar manusia gunakanlah aqal/nalar  mu (idiologi terbuka), dan jika terkait hubungan dengan Tuhan mu, ta’atlah/patuh  padaKu ( bersifat mutlak –aku ta’at dan aku patuh). Dalam Al-Qur’an, Allah SWT, berulang-ulang mengingatkan manusia “ *apakah engkau tidak berfikir?, apakah engkau tidak menggunakan aqalmu?*.

[Chazali H. Situmorang – Dosen FISIP UNAS-FKIP UNIDA -Direktur Social Security Development Institute]

Share