Eksistensi Asosiasi Faskes JKN (Seri 1)

TRANSINDONESIA.CO – Jaminan Kesehatan  Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan sudah hampir berjalan 3 tahun. Dari berbagai permasalahan yang dihadapi dalam kurun waktu 3 tahun tersebut, salah satu yang ingin kita bicarakan adalah terkait dengan Asosiasi Fasilitas Kesehatan, tempat berhimpunnya Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)  maupun Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL) untuk bernegosiasi dengan BPJS Kesehatan terkait dengan tarif pelayanan kesehatan JKN sebagai dasar hitungan dalam menyusun perjanjian kerjasama antara faskes dan BPJS Kesehatan yang  diamanatkan dalam UU SJSN.

Mari kita lihat apa bunyi norma terkait peran asosiasi faskes dalam SJSN, yaitu pada pasal 4 ayat (1), “besarnya pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Badan Penyelenggara Jamnan Sosial dan asosiasi fasilitas kesehatan diwilayah tersebut”.

Dalam rangka memperjelas asosiasi faskes dimaksud, diterbitkanlah Permenkes Nomor 455/MENKES/SK/XI/2013, tentang Asosiasi Fasilitas Kesehatan tanggal 21 November 2013. Dalam Permenkes tersebut, ditetapkan ada 4 asosiasi faskes yang ditunjuk pemerintah, yaitu pertama, untuk lingkup asosiasi rumah sakit  ditunjuk PERSI (Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia), disini bergabungnya berbagai asosiasi RS pemerintah maupun swasta.

Ilustrasi
Ilustrasi

Kedua, Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (ADINKES) sebagai perwakilan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), dan praktek perorangan bidan. Ketiga, Asosasi Klinik Indonesia (ASKLIN) sebagai perwakilan klinik, dan keempat,  Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia (PKFI) sebagai perwakilan klinik dan praktek pelayanan dokter/dokter gigi.

Keempat asosiasi  faskes tersebut  bergabung dalam Forum Asosiasi Fasilitas Kesehatan.

Permenkes juga sudah memberikan batasan apa yang harus dinegosiasikan; PERSI, ASKLIN dan PKFI untuk membahas tarif INA CBG’s rumah sakit dan klinik utama; ADINKES, ASKLIN dan PKFI untuk membahas tarif kapitasi bagi faskes tingkat pertama yang terdiri atas Puskesmas, praktek perorangan dokter/dokter gigi, klinik pratama dan rumah sakit kelas D pratama.

Pada diktum keenam Permenkes tersebut menjelaskan bahwa  setelah keempat asosiasi faskes tersebut membahas tentang besaran Ina CBG’s dan kapitasi, maka Forum Faskes melakukan negosiasi dengan BPJS  Kesehatan  mengenai besaran pembayaran pelayanan kesehatan kepada fasiltas kesehatan penyelenggara JKN.

Dan mensosialisasikan hasil kesepakatan dengan anggota masing-masing. Tentunya keberadaan forum tersebut  lebih bersifat menyederhanakan proses negosiasi dengan BPJS Kesehatan sedangkan substansi negosiasi sudah disepakati antara asosiasi terkait dengan BPJS Kesehatan.

Disisi lain Menkes juga  menerbitkan Permenkes tentang kapitasi dan Ina CBG’s, sebagai pengaturan lebih lanjut tentang  tarif pembayaran di rumah sakit /FKTL dan pengaturan pembagian dana kapitasi untuk FKTP.

Disamping itu, untuk memperkuat status dan payung hukum penggunaan dana kapitasi di faskes pemerintah daerah, maka diterbitkan Perpres Nomor 32 tahun 2014. Hal penting dari Perpres ini, adalah membolehkan dana langsung masuk ke rekening bendaharawan kapitassi yang ada di puskesmas, dan digunakan langsung untuk pelayanan JKN termasuk belanja obat dan bahan medis habis pakai.

Terkait dana JKN ini juga Menkes memperbaiki Permenkes nomor 59 tahun 2014 tentang standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan dengan Permenkes Nomor 12 tahun 2016, yang isinya lebih detail lagi mengatur pola pembagian kapitasi berdasarkan kriteria SDM yang ada. Mulai dari pueskesmas tidakada dokter, ada dokter satu atau lebih, ada atau tidak ada dokter gigi dengan strata tarif yang berjenjang.

Terkait dengan pembayaran pelayanan kesehatan pada faskes yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan yang diatur dalam undang-undang SJSN, Undang-Undang BPJS, dijabarkan dalam Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri Kesehatan  secara umum cukup detail dan komprehensif.

Sampai disini, memang sudah cukup diatur dan sudah siap untuk dilaksanakan.  Memang saat itu, karena JKN  harus diluncurkan 1 Januari 2014 (perintah UU |BPJS), maka berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang dihasilkan masih banyak yang belum harmonis dan menimbulkan multi tafsir dan irisan wewenang  dan tanggung jawab antara Kemenkes, BPJS Kesehatan, Organisasi profesi kesehatan  dan dengan Pemerintah Daerah.

Tetapi, karena waktu berjalan sudah 3 tahun maka sudah saatnya harus dikaji ulang berbagai aturan yang ada yang terkadang menjadi penghambat atau sumber konflik antar stakeholder. Dari semua situasi itu yang paling dirugikan adalah  peserta BPJS Kesehatan, para dokter yang melayani karena manajemen pengelola faskes yang buruk (-moral hazard dan fraud-), dan muara dari kondisi itu semua yang paling terjepit posisinya dan sering menjadi “sasaran tembak” adalah BPJS Kesehatan.

Pembahasan dan solusi

Kita sudah memahami diawal tulisan ini, bahwa asosiasi faskes merupakan lembaga yang harus ada yang diperintahkan oleh UU SJSN untuk merumuskan besarnya pembayaran biaya pelayanan kesehatan kepada faskes oleh BPJS Kesehatan untuk setiap wilayah.

Artinya, ada otoritas asosiasi faskes diwilayah (provinsi atau kabupaten/kota), untuk bernegosiasi dengan BPJS Kesehatan Cabang setempat (tentunya), sesuai dengan kondisi fiskal daerah dan ketersediaan faskes dan SDM Kesehatan yang ada.

Hal utama yang kita soroti adalah, dalam proses persiapannya, pemerintah kurang msaksimal  bahkan terlupakan untuk mempersiapkan asosiasi faskes tersebut.  Ini terlihat dalam Permenkes 455/2013, untuk FKTL, ditunjuk hanya satu asosiasi faskes yang memang sudah eksis yaitu PERSI, sedangkan untuk FKTP ditunjuk Adinkes, Asklin, dan PKFI dan yang disebut kedua terakhir baru lahir pada saat hendak diluncurkannya program JKN 1 Januari 2014.

Saya terheran-heran kenapa Asosiasi Dinas Kesehatan menjadi asosiasi FKTP mewakili puskesmas. Saya ngak habis fikir lembaga SKPD milik pemerintah daerah yang diatur dalam Undang-Undang Otonomi Daerah membentuk asosiasi?.

Dan asosiasi ini bernegosiasi soal kapitasi, padahal  SKPD tersebut adalah regulator dan pengawas tehadap implementasi dari regulasi. Pada saat saya mengetahui hal tersebut sebelum jadi  Permenkes, dan saya tanyakan pada Dirjen BUK Kemenkes Prof. Akmal Taher, disatu kesempatan bertemu, beliau menyatakan asosiasi itu sifatnya sementara agar JKN dapat jalan.

Demikian juga pembentukan dan penunjukkan asosiasi tidak melibatkan IDI. Pada suatu rapat  DJSN, PB IDI dan pejabat es.I Kemenkes, dengan Menkes (dr. Nafsiah Mboi), IDI mengancam hendak mangajukan class action ke MA, Ibu Menkes meminta dengan sangat untuk diakomodir dulu agar pelaksanaan program JKN tidak terganggu, dan berjanji pada kesempatan berikutnya akan diperbaiki.

Halnya PP IAI, protes kenapa Asosiasi Apotik tidak dilibatkan dan dicantumkan dalam Permenkes, padahal dari total biaya kesehatan sekitar 40% belanja obat dan bahan medis habis pakai.

Ada delapan hal pokok yang harus diperbaiki kedepan, terkait peran asosiasi faskes  JKN (FKTP), yaitu pertama, perlu dilakukan reposisi dan restrukturasi (penyederhanaan) asosiasi faskes JKN (FKTP), dengan lebih menitik beratkan pada asosiasi faskes dimasing-masing wilayah/daerah. Pembentukan dan pembinaan asosiasi faskes diserahkan kepada masing-masing pemda, tidak perlu diatur oleh Permenkes, tetapi oleh  Perda atau Pergub. Dalam pembentukannya Pemda harus melibatkan organisasi profesi terkait dimasing-masing daerah agar kepentingsan professional semua stakeholder terakomodir.

Kedua, Adinkes bukan asosasi FKTP, dan puskemas yang ikut BPJS Kesehatan, bergabung dengan asosiasi faskes JKN FKTP. Ketiga, terkait dana kapitasi Kemenkes tidak perlu mengatur pembagiannya secara detail, tetapi cukup yang bersifat umum, misalnya batas bawah dan batas atas tarif kapitasi sehingga cukup memberikan ruang gerak bagi daerah.  Kriterianya umum saja, misalnya setiap FKTP yang bekerjasama dengan BPJS kesehatan harus dilayani oleh dokter umum (klinik, praktek dokter perorangan), dan praktek dokter gigi. Dan untuk terjaminnya ketersediaan obat dan bahan medis habis pakai harus membuat jejaring kerjasama dengan apotik setempat. Yang perlu ditentukan dari Kemenkes kewajiban jam  buka pelayanan, misalnya minimal 12 jam perhari, dan  harus ada  pembagian giliran FKTP yang buka 24 jam.

Keempat, tidak ada keharusan puskesmas ikut dalam BPJS Kesehatan, tergantung kemampuan puskesmas  dan SDM yang tersedia dalam memberikan pelayanan aspek manajemen dan aspek medis. Sebab kedepan ini puskesmas harus dikembalinya kepada fungsinya untuk melaksanakan upaya kesehatan masyarakat (UKM, promkes).

Kelima, untuk daerah terpencil, pulau terluar, antar Negara dan penduduk jarang, dengan faskes dan SDM terbatas pola pembayarannya harus non kapitasi, sehingga perhitungan standar biaya diatur bersama antara BPJS  Kesehatan dan Pemda setempat. Dalam hal ini Pemda dapat juga berkontribusi biaya yang diperlukan sehingga mutu pelayanan JKN tetap terjaga.

Keenam, e-katalog tidak diperlukan, karena tidak ada diatur dan diperintahkan oleh Undang-Undang SJSN, dan Undang-Undang BPJS. Masing- masing wilayah/daerah silahkan FKTP dan FKTL belanja langsung  kemasing-masing distributor farmasi. Asosiasi faskes dapat membentuk untuk kemudahan  aksesibilitas jumlah dan jenis obat yang diperlukan sesuai dengan Fornas, guna mempermudah distributor farmasi untuk menyediakan/stok obat yang dibutuhkan. Mekanisme ini akan terbentuk harga obat yang kompetitif, karena setiap faskes akan mencari obat dengan harga yang lebih murah dengan mutu yang baik.

Ketujuh, peran BPJS Kesehatan Cabang akan semakin sentral. Karena tugas pengendalian pembiayaan dan manfaat pelayanan kesehatan semakin besar di level cabang (desentralisasi tugas dan tanggung jawab). Tidak ada lagi alasan untuk melemparkan tanggung jawab ke BPJS Kesehatan pusat,  dan hal ini akan mendorong BPJS Kesehatan (pusat) untuk membentuk Cabang-cabang BPJS Kesehatan disetiap Kabupaten/kota.

Kedelapan, perjanjian Kerja sama antara FKTP /FKTL dengan BPJS Kesehatan bukan hanya sekedar diatas kertas saja. Tetapi harus mampu menjadi instrument untuk mengontrol  para pihak, dan BPJS Kesehatan atau FKTP/FKTL berani bersikap memutuskan kerjasama jika ada komitmen yang dilanggar.

Penutup

Sebagaimana kita ketahui bersama sesuai dengan Roadmap JKN 2012-2019,  bahwa tahun2017 Jamkesda diintegrasikan dengan Program JKN – BPJS Kesehatan. Kedelapan  point diatas, adalah upaya untuk memposisikan Pemda secara proporsional sesuai dengan UU Otoda.

Kedelapan langkah tersebut juga akan mendorong percepatan Pemda untuk mengintegrasikan Jamkesdanya dalam JKN, dan membangun rasa kebersamaan dan rasa memiliki program JKN sebagai program Nasional yang merupakan milik seluruh bangsa Indonesia.

Disisi lain dalam praktek penggunaan dana kapitasi di puskesmas ibarat “jeruk makan jeruk”. uang iuran PBI yang berasal dari pemerintah pusat mengalir ke kas pemerintah daerah, walapun Perpres 32/2014 memerintahkan digunakan langsung oleh puskesmas, kenyataannya banyak daerah menerapkannya tidak sesuai dengan Perpres.

Para SKPD itu banyak yang lebih patuh pada  Perda, Pergub/Perbup/Perwali, daripada Perpres dan Permen, kecuali Permendagri..

Kebijakan Presiden Jokowi dan Mendagri untuk menghapuskan ribuan Perda yang memnghambat proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan memang suatu keniscayaan.

Tetapi Presiden perlu juga melihat dan menghapuskan berbagai Peraturan Menteri yang tidak sesuai dengan kebijakan diatasnya, dan lebih menonjolkan ego sektoral  mengabaikan peran mitranya, hal yang sama juga berbagai peraturan BPJS Kesehatan yang pada level implementasinya menimbulkan banyak gesekan dengan stakeholder lainnya.

Kebijakan untuk berbagi wewenang kekuasaan dan tangung jawab perlu dibangun bersama, sesuai pepatah “ berat sama dipikul, ringan sama di jinjing”.

[Chazali Husni Situmorang/Ketua DJSN 2011-2015]

Share