Plintiran Sengkuni: Mencabut Logika Rerusak Taman Norma
TRANSINDONESIA.CO – Sengkuni dalam ceritera Bharata Yudha digambarkan sebagai tokoh licik, lihai memutar balikkan fakta, memprovokasi, menabur kebencian, memanaskan suasana hingga mengadu domba.
Plintiran dimaknai dengan merekayasa, atau meramu kata-kata menjadi kalimat yang mampu merubah suasana damai tenang menjadi penuh amarah.
Sengkuni dalam membakar amarah bukan sekedar untuk memperuncing suasana bahkan menimbulkan hasrat menguasai, mendominasi sumber daya dengan cara apa saja, yang penting senang, menang sekalipun harus perang.
Perang Bharata Yudha sebenarnya merupakan perang saudara. Dari memperebutkan hak Pandawa atas Hastinapura yang diduduki para Kurawa hingga menjadi menjaga harga diri Pandawa atas pelecehan para Kurawa.
Bharata Yudha merefleksikan atas pemberantasan angkara murka, yang dipicu adanya plintiran-plintiran Sengkuni yang terus menabur kebencian kepada para Pandawa.
Kelicikan Sengkuni, tega mengadu domba, memutarbalik fakta, memanfaatkan situasi untuk menjadi anarkhi merebut hak orang lain dengan cara tercela (sekaragn dikatakan inkonstitusional).
Dalam ceritera Maha Bharata, Sengkuni sudah menjadikan anarkhi. Bagaimana dengan banyak Sengkuni di sana-sini. Tentu saja akan semakin rumit, memperkeruh suasana.
Sengkuni di era digital, semakin kreatif dalam memelintir sesuatu. Bisa menghilangkan, bisa menambahkan, bisa menyusupkan, bahkan bisa mengendalikannya sekaligus.
Kelihaian Sengkuni di era modern ini adalah menunggangi, dengan memanfaatkan situasi dan memerankan aksinya dalam berbagai Bharata Yuda.
Dalam segala situasi kehidupan manusia, ditandai dengan logika sebagai standar peradabannya. Dalam segal kehidupan sosial kemasyarakatan yang beradab, norma-norma bagai taman yng mengatur, menata agar logika kemanusiaan terus terjaga.
Sengkuni tentu tidak akan menampakkan diri, ia lempar isue sembunyi diri. Mengatasnamakan apa saja yang bisa menjadi pembenaran bahkan pemaksaan dengan berbagai penghasutan.
Kehebatan plintiran Sengkuni ini adalah mencabut logika dan akal sehat untuk merusak taman norma. Seandainya ada “lebaran monyet” sekalipun Sengkuni tetap Sengkuni, senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang.[CDL19122016]
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana