Presiden Harusnya Kerahkan Kekuatan di Laut China Selatan Bukan “Perang” Aksi 212

TRANSINDONESIA.CO – ‘Rasa Aman’ tidak dapat diukur dan dinilai nilai dengan materi, karena rasa aman dan dirasakan secara individu, lingkungan maupun suatu negara. Kepastian rasa aman menjadi jaminan negara yang di emban negara melalui militer, penegak hukum, dan aparat atau aparatur negara.

“Keamanan bertujuan ‘aman’ memberikan dan memastikan rasa aman itu sesuatu yang mahal. Bagaimana di Suria, Irak maupun negara yang sedang bergolak, masyarakatnya tidak lagi memikirkan ekonomi tetapi bagi mereka yang terpenting rasa aman,” kata Direktur Program Imparsial, Al Araf,SH,MA, saat memberi materi ‘Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia’ pada Sekolah Keamanan Nasional (Kamnas) Angkatan II, Pusat Kajian Kamnas di Kampus Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Jalan Raya Perjuangan, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis 15 Desember 2016.

Menurutnya, ada dua ancaman atau rasa ketidak amanan yakni, ancaman dari militer dan non militer.

Al Araf.[HSB]
Al Araf.[HSB]
Dimana dalam ruang lingkup keamanan lanjutnya, adalah  pertahanan (militer), keamanan dalam negeri (kamdagri), keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) dan keamanan individu.

“Keamanan seolah-olah statis dan stabil. Mahalnya aman tidak bisa diukur dengan budget seperti proyek pembangunan jalan. Orang-orang di Suria tidak penting ekonomi yang penting aman dulu,” terangnya.

Lebih lanjut Al Araf menyatakan, aman dari apa? ancaman militer dan non militer yang ada di Indonesia bisa di lihat jelas tetapi orang hanya melihat ancaman dari dalam saja

“Padahal, ancaman nyata dengan Malaysia, Australia, China. Ini nyata, tapi orang melihat ancaman dalam sampai mengerahkan kekuatan pada Aksi 212,” katanya.

Dikatakannya, ancaman militer dari luar yang sewaktu-waktu bisa terjadi ‘Perang Laut China Selatan’. “Ini ancaman paling diprediksi akan terjadi. Perang di Asia Tenggara telah diprediksi,” ungkapnya.

Halnya, Pulau Natuna yang di klaim China menjadi ancaman militer dan terbukanya perang militer. “Tapi Indonesia tidak mempersiapkan persenjataannya. Karena itu, Indonesia akan gagal bila terjadi hal terburuk di Laut China Selatan,” ungkapnya lagi.

Untuk itu, Presiden sudah saatnya memperkuat militer dengan melengkapi persenjataan dalam menghadapi kekuatan Asia Tenggara.

“Presiden harusnya siapkan kekuatan menghadapi Asia Tenggara. Skenario terburuk, maka seluruh kekuatan disiapkan di Laut China Selatan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya perang. Bukan semuanya dikerahkan menghadapi Aksi 212,” terangnya.[HSB]

Share