Pakar Hukum: Eksepsi Ahok Tak Relevan
TRANSINDONESIA.CO – Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahja Purnama (Ahok) sempat menangis saat membaca eksepsinya pada sidang perdana yang digelar di PN Jakarta Utara, Selasa 13 Desember 2016.
Selain tangis Ahok yang mendapat ‘meme’ dari berbgai netizen juga mendapat tanggapan pakar hukum.
Halnya pendapat yang disampaikan DR.H. Abdul Chair Ramadhan,SH,MH, yang menilai eksepsi Ahok lebih pada pembelaan dan lebih mengarah pada politik, seakan-akan Ahok menjadi korban politik. Belum lagi tentang agama Islam serta membawa-bawa nama tokoh bangsa, termasuk penasehat hukum Ahok banyak hal yang tidak relevan disampaikan pada eksepsi tersebut.
Berikut 10 hal yang dicermati Abdul Chair Ramadhan atas eksepsi Ahok:
- Eksepsi tidak fokus. Eksepsi lebih ke arah pembelaan (pledoi). Sangat sedikit menguraikan tentang adanya dakwaan PU yang kabur (abscur libel) dan lainnya, sebagai syarat eksepsi.
- Ahok menyatakan tidak ada niat (mens rea) dan tidak bermaksud untuk menista agama. Dia maksudkan kepada lawan-lawan politiknya yang tidak bisa bersaing dalam program. Hal ini tidak sesuai bukankah pada tanggal tersebut belum masuk waktu kampanye dan bahkan belum ditetapkan calon oleh KPUD?
- Dia juga nyatakan telah menanyakan tentang Asbabun Nuzul kepada teman-temannya tentang maksud Al Maidah: 51. Hal ini tidak dapat dibenarkan, dia tidak ada legal standing untuk menjelaskan surah Al Maidah 51 karena ia tidak mengimani Al Quran dan dia bukan bersama Islam, sehingga bagaimana mungkin dia dapat mengetahui makna yang sebenarnya.
- PH (penasehat hukum) tidak relevan dengan menyebut video yang diunggah oleh Buni Yuni, karena sudah dilakukan uji Labfor oleh penyidik dan hasilnya ‘sah’ sebagai barang bukti.
- PH tidak relevan dengan mengaitkan Aksi Bela Islam terkait dengan tuntutan keadilan dalam proses penegakan hukum. Adalah sah dan di jamin UU setiap warga negara menyampaikan pendapat dan menuntut keadilan.
- Cepatnya proses sidik dan pelimpahan ke PN tidaklah menyalahi hukum acara pidana. Tahapan penyelidikan sampai dengan gelar perkara sudah memenuhi ketentuan. Penetapan tersangka juga sudah sesuai dengan hukum acara, didahului oleh adanya 2 alat bukti yang sah serta sudah dilakukan gelar perkara penyidikan seusai gelar perkara penyelidikan.
- PH menyatakan bahwa harus diterapkan prinsip Ultimum Remedium. PH telah salah mengaitkan asas ini, terlebih lagi dikaitkan dengan SKB dalam penerapan Pasal 156a huruf a KUHP. Apalagi disebut Pasal 156a adalah delik materil. Perlu diketahui prinsip Ultimum Remedium baru dikenal baru-baru ini, sebagaimana diterapkan dalam UU Lingkungan Hidup, jadi tidak ada kaitannya dengan UU 1 PNPS 1965. Adapun SKB hanya dapat diterapkan untuk penyalahgunaan terhadap ajaran agama yang menyimpang dari suatu aliran sesat yang menyerupai ajaran agama yang bersangkutan. Untuk penodaan tidak perlu SKB. Sifat delik pada Pasal 156a adalah delik formil jadi tidak membutuhkan adanya akibat sebagaimana delik materil.
- PH mengaitkan asas Restoratif Justice juga tdk relevan. Ini Teori dari Jhon Rawls yang tidak terkait dengan delik agama, lebih tepat teori ini untuk pemidanaan terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup.
- PH menyatakan huruf b pada Pasal 156a KUHP harus dibuktikan karena sifat delik adalah kumulatif. Ini menunjukkan bahwa PH tidak mengerti struktur Pasal 156a dan tidak mengerti nuansa kebatinan – histories Yuridis – masuknya Pasal 156a dlm KUHP. Pasal 156a adalah alternatif, oleh karena itu ada 2 kejahatan yang diatur yakni huruf a atau huruf b. Dalam huruf a juga berlaku alternatif perbuatan (actus reus), permusuhan atau penyalahgunaan atau penodaan.
- PH menyebut tidak ada kejelasan tentang ‘subject korban’. Perlu dicatat bahwa Perbuatan Pidana pada Pasal 156a huruf a tidak mensyaratkan subject korban adalah manusia tetapi agama itu sendiri salah satunya Kitab Suci. Adapun Pasal 156 KUHP subjectnya sangat jelas yakni Golongan Penduduk yang salah satunya berdasarkan agama.[DR.H. Abdul Chair Ramadhan,SH,MH]