Guru: Kehormatan dan Kebanggaan yang Hilang
TRANSINDONESIA.CO – Pada masa lalu menjadi guru begitu dihormati, dibanggakan karena menjadi pendidik, pencerah pemberi harapan baru.
Penyebutan, nama sekalipun dilekatkan status sebagai guru seperti, ‘mas guru, pak de guru, pak guru gunung (namanya sebenarnya :”gunung”)’.
Betapa masyarakat menempatkan status sosial yang tinggi bagi para guru dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Para guru tatkala sampai di sekolah, anak-anak berlarian menyambut berebut membatunya, dari membawakan tas menuntun sepedanya, memberi salam, hingga mencium tanganya.
Para murid menunjukkan baktinya kepada para guru yang dibanggakannya. Para gurupun sangat mencintai dan bangga atas pekerjaannya. Para guru dengan bangga dan tulus hati memberikan pengajaran yang memberi pencerahan.
Tatkala membaca novel Laskar Pelangi, atau melihat filmnya terbayang bagaimana ibu guru yng dengan gigih mengajar murid-muridnya dengan kebesaran hatinya. Tak peduli dengan kondisi sekolahnya, tak peduli gajinya. Ia begitu gigih mengajar dengan sepenuh hati dan mencintai para muridnya.
Namun apa yang terlintas tentang guru saat ini? Gaji kecil, tugas berat, penghargaan kurang, dituntut bergelar sarjana, diwajibkan ini dan itu, masih banyak beban dan tanggungjawab lainnya.
Menjadi guru tentu bukan pilihan favorit, bukan pula menjadi unggulan maupun pilihan utama bahkan mungkin karena keterpaksaan.
Lembaga-lembaga pendidikan sering terperangkap pada jaring-jaring birokrasi, yang kadang-kadang tidak merefleksikan suatu kecerdasan. Bagi yang ditugaskan pada lembaga pendidikan atau menjadi guru seakan mendapat demosi, atau hukuman.
Kalaupun promosi, juga tergolong promo singkir (nampaknya dipromosikan namun faktanya disingkirkan). Mengapa demikian? Pendidikan dijadikan syarat semata, yang utama bukanlah pada transformasi melainkan ijazah, ranking. Guru bukan lagi di gugu dan ditiru, malahan guru jadi nunggu wong turu. Ditinggal tidur muridnya, sang guru seakan bermonolog/sedang melakukan stand up comedy. Semua bisa dibeli, nilai dibeli, ranking dibeli, guru minta disangoni bahkan tak lagi berharga diri berani meminta bahkan memeras muridnya.
Pada pendidikanlah tergantung masa depan bangsa. Pendidikan bermutu di mulai dari gurunya. Tatkala gurunya tidak patut dan tidak layak dibanggakan /diunggulkan maka jangan berharap hasil didiknya akan baik.
Bagaimana akan menjadi guru yang baik, ketika ia harus memikirkan periuk yang sudah miring. Menjadi guru sering penuh dengan keterpaksaan, mengajar hanya sambilan dan harus bekerja mencari tambahan lain.
Sejatinya guru adalah ikon pendidikan. Pikiran, perkataan, perbuatan guru menjadi taruhan atas keberhasilan dari suatu pendidikan. Senyum sang guru terkadang penutup saji dan duka hatinya. Hidup dalam keterbatasan, terjepit dalam berbagai situasi dan kondisi, senyumnya sekaligus menunjukkan tangisnya.
Guru sang ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ sang pembuka cakrawala dunia. Pahlawan kemanusiaan yang dilupakan, tak jarang malah disia-siakan. Diabaikan dan sering posisinya dipermainkan. Tawa guru adalah harapan baru. Penghargaan kepada guru merefleksikan suatu cinta akan anak cucu dan generasi mendatang untuk dapat hidup dan terus tumbuh dan berkembang. Guru akan tetap menjadi guru, walau muridnya sudah mengangkasa.
Cinta kasih guru menghidupkan dan memberi harapan. Sang pahlawan terlupakan, namun kasih cinta jasanya terus hidup dan menghidupi sepanjang zaman.
Selamat Hari Guru … Tetaplah Semangat Wahai Para Guru … Sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa … Walau Sering Dilupakan Bahkan Disia-siakan … [CDL25112016]
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana