Bhinneka Tunggal Ika dan Macetnya Dialog Kebangsaan

TRANSINDONESIA.CO –  Kubu Jokowi sudah melakukan aksi tanggal 19 November dengan tema “menjaga keberagaman”.

Aksi ini cukup menarik, pertama, kelompok ini tidak menunjukkan solidaritas atau empati sedikitpun dengan saudaranya sebangsa, ummat Islam, yang dinista Ahok.

Kedua, selain menampilkan simbol lokal, penampilan demonstran juga menggunakan simbol barat, yakni kostum Romawi. Padahal,  Bhinneka dalam pengertian lama bersumber dari spirit sumpah pemuda, 1928, yang menampilkan symbol-simbol suku bangsa asli kita. Simbol Romawi tidak ada dahulu, sebab itu simbol penjajahan barat.

Aksi damai 4 Nopember 2016.[IST]
Aksi damai 4 Nopember 2016.[IST]
Celakanya, melalui aksi 19 November ini, sebuah pesan simbolik yang salah telah disampaikan bahwa pertama, urusan penistaan Agama oleh Ahok merupakan bahagian kebhinnekaan kita. Kedua, kebhinnekaan kita sifatnya mendunia, bukan hanya untuk etnis pribumi.

Persoalannya adalah apakah pesan ini mengundang sebuah konvergensi antara gerakan 411 yang dianggap sangat Islami  versus kelompok yang menolak eksistensi massa aksi 411.

Nyatanya, aksi 19 November itu gagal mendorong sebuah dialog kebangsaan.

Lalu siapa yang akan mendorong dialog kebangsaan kita ke depan? Jika politik elite kita terlalu dinamis penuh intrik.

Menuduh makar pada kelompok yang sedang bertentangan sesuatu yang salah secara sosiologis. Ini adalah pertarungan peradaban yang butuh kesadaran elit untuk melihat “win win solution” bukan “zero sum game”. Jika terlalu lama, maka rakyat kehilangan harapan.

Situasi kita mirip dengan situasi amerika saat ini. Demokrasi super liberal telah memecah  bangsa secara diametral. Namun, Donald Trump tidak terjebak menuduh para demonstran anti Trump berbuat makar. Meski spanduk mereka di seluruh bumi Amerika memuat hastag #Not My Presiden.

Sebaliknya Jokowi mulai terjebak dengan menstigma para demonstran, yang dilindungi Universal Declaration of Human Rights , UUD45 dan UU, sebagai pembuat makar. Ini akan memicu tuduhan baru pada Jokowi sebagai Presiden yang anti demokrasi.

Lalu siapakah sosok kelompok tengah yang netral dan mampu menjembatani dialog, jika presidenpun dianggap anti demokrasi?‎

[Syahganda Nainggolan-Asean Institute for Information and Development Studies]

Share