Mengupas Kewajiban 20% Rusun Umum (2): Vis A Vis Regulasi Lokal?

TRANSINDONESIA.CO – “La lotta contra la pena”. Berjuang melawan penghukuman. Mungkin adagium itu relevan mengingatkan agar dalam pembuatan hukum  tidak semberono membuat  sanksi pidana. Namun, dirumuskan dengan  norma  yang pasti  dan jelas,  bukan abu-abu alias kabur.

Begitulah mestinya  membangun konstruksi perbuatan apa yang dapat dikenakan sanksi pidana terkait kewajiban menyediakan 20% rumah susun (rusun) umum versi Pasal 16 ayat (2) UU Rusun. Yang pelanggrannya diancam  sanksi pidana versi  Pasal 109 UU Rusun.

Karena rumusan kewajiban Pasal 16 ayat (2) UU Rusun diamanatkan  pengaturannya dengan Peraturan Pemerintah (PP),  maka patut mengawal konten aturan PP yang jelas, detail, dan  pasti.   Disarankan, Rancangan PP yang disiapkan bukan hanya mengulangi dan sekadar mengambil alih norma UU Rusun tanpa melahirkan norma derivatif yang  mengisi kekosongan, keraguan dan kebutuhan sesuai  perintah Pasal 16 ayat (4) UU Rusun.

Rumah Susun.[DOK]
Rumah Susun.[DOK]
Mari telaah lagi Pasal 16 ayat (2) UU Rusun yang menormakan kewajiban menyediakan 20% rusun umum bagi pelaku pembangunan yang membangun rusun komersial. Yakni, menyediakan 20% rusun umum yang dihitung dari total luas lantai rusun komersial yang dibangun pelaku pembangunan.

Namun, semenjak disahkan tahun 2011, UU Rusun belum dilengapi dengan PP,  sehingga kewajiban 20% versi Pasal 16 ayat (2) UU Rusun itu tidak efektif. Walau pernah ada upaya mencoba menerapkannya dengan membuat laporan kepada kepolisian, namun tidak dapat dijalankan karena PP belum tersedia.

Bukankah, sesuai asas legalitas  ikhwal pelaksanaan kewajiban hukum yang diancam dengan sanksi pidana ataupun sanksi administratif  hanya bisa  diterapkan jika  aturan hukumnya sudah tersedia.  Bagaimana bisa menegakkan Pasal 16 ayat (2) Jo. Pasal 97 Jo Pasal 109 UU Rusun, jika PP yang diamanatkan  UU Rusun  belum tersedia.

Ikhwal penting lain dalam konteks efektifitas hukum,  apakah kewajiban  versi Pasal 16 ayat (2) UU Rusun itu menegasikan kewajiban yang timbul dari ketentuan lokal. Misalnya Keputusan Gubernur  DKI Jakarta Nomor 540/1990 dalam hal yang  pembebasan tanah untuk memperoleh SP3L (Surat Persetujuan Prinsip Pembebas Lokasi/Lahan)  harus memenuhi berbagai persyaratan, termasuk jika lokasi/lahan yang dimohon dengan kondisi lapangan dan/atau menurut rencana kota peruntukannya adalah perumahan yang luasnya 5.000 m2 (lima ribu meter persegi) atau lebih,

Menurut aturan Kepgub DKI Jakarta No. 540/1990 itu,  pemohon diwajibkan membiayai dan membangun rumah susun murah beserta fasilitasnya seluas 20% (dua puluh persen) dari areal manfaat secara komersil, dan/atau ketentuan lainnya yang ditetapkan oleh Gubernur  DKI Jakarta.

Diwartakan, pengembang masih menunggak kewajiban atas 20% membiayai dan membangun rusun murah versi Kepgub DKI Jakarta No. 540/1990 itu. Pertengahan tahun 2014, media mewartakan bahwa  Pemerintah  Provinsi DKI Jakarta masih terus menagih pengembang yang belum melunasi kewajibannya, karena  baru 428 pengembang yang telah dan sedang melaksanakan kewajibannya. Masih ada 2.545 pengembang yang belum memenuhi kewajiban (kompas.com, 24-08-2014). Perlu dipublikasi secara periodik kepatuhan pengembang dan bagaimana realisasinya, serta perlakuannya dalam perbendahaan daerah.

Jika rusun itu berasal dari kewajiban pengembang atas Kepgub DKI Jakarta No. 540/1990 itu, maka aset rusun itu  menjadi  perbendaharaan daerah. Tak hanya soal bagaimana tata kelola dan kemajuan  penyerahan atas rusun umum yang dibangun, namun bagaimana memastikan peralihan yang akuntabel dan pasti, serta pengelolaan rusun umum itu untuk kepentingan MBR.  Di sini isu pengelolaan rusun milik pemerintah daerah mesti diatur dengan detail dalam RPP Rusun.

Andai kata  kewajiban itu dialokasikan menjadi uang tunai maka menjadi sumber keuangan daerah. Merujuk UU Keuangan Negara, pendapatan itu menjadi sumber keuangan daerah yang dicatat satu pintu sebagai keuangan daerah. Tentu dengan menjamin akuntabilitas.

Kembali ke soal  kewajiban menyediakan 20% rusun umum versi Pasal 16 ayat (2) UU Rusun. Kua normatif, kewajiban  itu terpisah dengan kewajiban yang bersumber dari regulasi lokal. Karena kewajiban Pasal 16 ayat (2) UU Rusun itu terkait pelaksanaan pembangunan perumahan dengan konsep hunian berimbang,  termasuk pembangunan rusun.

Namun ada pertanyaan soal keadilan dan kepastian hukum,  apakah aturan Kepgub DKI Jakarta No. 540/1990 itu komulatif ataukah alternatif terhadap kewajiban Pasal 16 ayat (2) UU Rusun?   Soal ini yang mesti dijawab oleh PP yang sedang disiapkan agar tidak menyisakan persoalan hukum yang menghambat bagi pelaksanaan hunian berimbang oleh pelaku pembangunan.

Jika menelaah Kepgub DKI Jakarta No. 540/1990 yang menggunakan frasa “membiayai dan membangun” rumah susun murah dan fasilitasnya,  yang dibandingkan dengan Pasal 16 ayat (2) UU Rusun yang tidak  menyebutkan dengan frasa “membiayai dan membangun”, namun menggunakan frasa “menyediakan” rusun umum. Keduanya konsepsi yang berbeda namun bisa diharmonisasikan ke dalam PP.

Tidak ada rujukannya dalam UU Rusun jika pemaknaan kewajiban Pasal 16 ayat (2) UU Rusun itu digiring seperti ketentuan Kepgub DKI Jakarta No. 540/1990, yakni membiayai dan membangun rusun umum seluas 20%.  Kita menunggu apakah rezim PP yang sedang digodok  begitu pula Peraturan Menteri sebagai turunannya  akan bergerak ke arah mana? Sebab itu perlu mengawal agar PP dan  Peraturan Menteri tidak menyimpangi UU Rusun dan PP.

Alhasil banyak soal yang perlu dibicarakan dan disinkronisasikan demi kepentingan terbaik bagi MBR dan regulasi yang adil dan dapat diterapkan. Hemat penulis, oleh karena kewajiban menyediakan  20% rusun umum itu terkait norma Larangan (Pasal 97 UU Rusun) dan Ketentuan  Pidana (Pasal 109 UU Rusun), maka Pemerintah mesti  menyusun PP dan Peraturan Menteri lebih cermat, jeli, tidak menyisakan keraguan hukum,  dapat diterapkan. Plus melakukan harmonisasi dengan norma regulasi lokal, agar tidak terjadi kewajiban yang berulang-ulang.

Pastikan, PP Rusun  tidak tumpang tindih atau vis a vis dengan regulasi lokal sebab pelaksanaan pembangunan rumah susun  itu dilakukan di daerah dengan rezim perizinan  daerah.  Demi kepastian hukum,  mestinya ikhwal kewajiban hukum mesti diatur dengan regulasi bukan dengan diskresi.

[Muhammad Joni – Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, dan Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]

Share