Ahok Tersangka Perkara Penodaan Agama: Lima Catatan Hukum

TRANSINDONESIA.CO – Beragam pelajaran hukum dapat dipetik dalam dinamika perkara penodaan agama Pasal 156a KUHP yang diduga dilakukan Tersangka Ahok yang berkembang dinamis dan menyedot perhatian luas. Berikut beberapa catatan hukum.

Pertama: Karena hukum bukan berada di dalam ruang hampa, kua sosiologis kerapkali penegakan hukum itu berjalan dengan langkah tidak ringan, menyita fokus perhatian, dan ragam dinamika sosiologis. Karena itu, beralasan jika warga masyarakat secara proaktif-konstruktif membantu terbitnya semangat dan dedikasi Polri, bahkan  turut mengawal langkah penyelidik dan atau penyidik Polri agar tabah dengan karakter independen dan impartial (tidak memihak) selain kepada Hukum. Sehingga, patut dipetik pelajaran dalam berhukum bahwa Polri tetap perlu terus menerus didukung bekerja profesional dalam menegakkan hukum.

Kedua: Dengan  penyelidik dan atau penyidik Polri yang bertindak profesional, dengan watak merdeka dan impartial, namun tetap perlu dikawal dan disemangati agar Polri sebagai penegak hukum total konsisten kepada Hukum dan bertumpu kepada alat-alat bukti sesuai Pasal 184 ayat 1 KUHAP:  keterangan saksi dan diperkuat dengan keterangan ahli, surat, petunjuk, berikut barang bukti yang sudah diakui sah dan sesuai aslinya.  Menguji bukti adalah soal yang tidak boleh ditoleransikan validitasnya.

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.[Ist]
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.[Ist]
Ketiga: Proses Penyelidikan yang kemudian disempurnakan dengan langkah gelar perkara yang terbuka secara terbatas patut diapresiasi sebagai preseden hukum yang positif dalam rangka akuntabilitas penegakan hukum.  Dengan hasil penyelidikan yang bermuara kepada penetapan status Tersangka, bermakna Polri membenarkan adanya peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana (vide Pasal 1 angka 5 KUHAP) yang dilakukan dan kemudian  menetapkanTersangka. Artinya Polri telah menguji dan mengakui adanya bukti-bukti yang sah yang dijadikan dasar penentuan status Tersangka.  Diyakini bahwa Polri sudah menguji bukti-bukti versi Pasal 184 ayat 1 KUHAP itu sebagai dasar menerapkan ketentuan hukum pidana (Padal 156a KUHP)  serta merujuk yurisprudensi tetap dalam kasus konkrit.

Keempat:  Penyelidikan atas perkara pidana yang dilakukan Penyelidik dalam rangka menghimpun bukti-bukti, keterangan, serta untuk menemukan suatu peristiwa  yang diduga tindak pidana,  yang sudah diakui adanya  alat-alat bukti versi Pasal 184 ayat 1 KUHAP dan telah dipaparkan terbuka dengan ‘ijtihat’ gelar perkara, maka merujuk  pengalaman praktek,  penyidikan  menjadi dapat diperkirakan (predictable) kelancarannya dan relatif tanpa kesenjangan hukum atau disparitas putusan.  Sebab, dengan bukti-bukti yang teruji, dan sudah memiliki yurisprudensi tetap dalam hal perkara penodaan agama Pasal 156a KUHP, maka penyidikan dan penuntutan diharapkan akan semakin lancar dan profesional.

Kelima: Apalagi dalam perkara dugaan tindak pidana sejenis versi Pasal 156a KUHP,  Penyidik memiliki preseden hukum yang senantiasa meminta, merujuk dan menggunakan pendapat ahli  agama dari MUI sebagai acuan hukum. Oleh karena MUI sudah pula menerbitkan sikap/pendapat keagamaannya, sehingga sah sebagai acuan dalam penyidikan sampai penuntutan dan persidangan. Lagi pula perihal delik Pasal 156a KUHP, sudah memiliki berbagai yurisprudensi MA yang bersifat tetap sehingga  penyidikan, penuntutan bahkan peradilan terhadap delik Pasal 156a KUHP diharapkan tidak mengalami disparitas putusan dari yurisprudensi tetap. Adanya supremasi hukum dan penegakan hukum yang adil dan pasti serta perlakuan hukum yang sama (equality before the law) adalah hak konstitusional yang dijamin Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.

[Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Tim Advokasi Muslim Indonesia]

Share