Fotografer Profesional: Antara Karya dan Etika

TRANSINDONESIA.CO – Heboh tentang kabar sertifikasi fotografer yang mencuat akhir-akhir ini juga ikut merisaukan seorang Firman Ichsan, salah seorang fotografer profesional senior yang juga Ketua IPPA (Indonesia Professional Photographer Association).

Ditemui wartawan Transindoensia.co di suatu sore di kediamannya minggu lalu di bilangan Komplek Timah Jalan Fatmawati Raya, Jakarta Selatan, Firman ditemani oleh Tigor Lubis pun berbagi sedikit cerita tentang dunia Fotografi Profesional di Indonesia.

“Sejak dulu, ketika bicara fotografer profesional, ukuran kami, ada pada kompetensi yang dia miliki lewat portofolionya”, ujar Firman Ichsan memulai bincangnya sore itu.

Portofolio yang ditunjukkan oleh Sang Fotografer itu, lanjut Firman, bisa menunjukkan bagaimana dia berkarya dan siapa saja klien-klien yang memercayakan produknya untuk difoto oleh  fotografer itu.

Ketua Umum IPPA, Firman Ichsan.[MIC]
Ketua Umum IPPA, Firman Ichsan.[MIC]
“Ukurannya simpel koq, dengan liat portofolionya kita bisa lihat kemampuan si fotografer itu sendiri. Juga pada klien-klien yang pakai mereka ikut menentukan  bahwa mereka profesional”, lanjut Firman lagi. Namun diakui oleh Firman ada dua masalahnya yaitu pengakuan kompetensi lewat sertifikasi dan kualitas  dari si fotografer itu sendiri. Inilah yang coba disederhanakan oleh IPPA lewat rekrutan keanggotaannya. Awalnya dulu, untuk bisa bergabung di IPPA ditentukan minimal harus dua tahun berkarya sebagai fotografer profesional,”Namun dalam perkembangan, kasihan kalau ada anak yang dalam 6 bulan sudah jago dan bekerja profesional  tidak bisa terwadahi. Asal ada penjamin dari para fotografer senior yang mengendorse dan tentunya berdasarkan portofolionya dia bisa gabung”.

Saat disinggung soal sertifikasi kompetensi fotografi, Firman tidak menampik hal itu. Namun  aspek etika dan karya yang dihasilkan oleh fotografer itulah yang jadi acuan.

“Sertifikasi kompetensi tidak bicara, misalnya pada ranah etika nah kita (IPPA) berupaya memperkenalkan itu”, ujar Firman. IPPA berupaya memperkenalkan etika relasi antara fotografer dengan pengguna jasa fotografi, etika relasi antara fotografer dengan para asistennya. Hal-hal yang real terjadi di dunia fotografi profesional yang kerap terjadi, coba disosialisasikan lewat wadah IPPA itu. Nah hal ini tidak disentuh dengan adanya sertifikasi kompetensi itu.

“Intinya, kami ingin ada standar kualitas fotografer profesional dari sabang hingga merauke”, demikian

Caranya? ” Kemarin kami baru saja pulang dari Kendari sebagai juri lomba fotografi mahasiswa yang diadakan di sana. Saya dan Arbain Rambey hadir di sana dan ini salah satu cara kami mensosialisasi tentang fotografer profesional itu seperti apa”,

Penekanan IPPA, mencoba meningkatkan relasi fotografer dengan klien lewat kualitas karya yang bagus.

Member IPPA memang masih belum banyak, seperti harapan pengurus IPPA di awal. Banyak fotografer profesional saat ini masih mempertanyakan manfaat apa yang bisa mereka rasakan dengan keikutsertaan mereka di asosiasi ini.

Trans Global

“Beda dengan dulu, kalau dulu orang kalau mau aktif harus ikut asosiasi dulu sedangkan sekarang mereka bertanya ikut organisasi untungnya apa?”.

Nah, menurut Firman ini yang harus diubah. Kalau orang ingin berubah maka ikutlah organisasi dimana sama-sama ikut mengubah suatu keadaan menjadi lebih baik sesuai yang diharapkan bersama.

Tigor Lubis.[MIC]
Tigor Lubis.[MIC]
Tigor Lubis, sebagai salah satu pengurus IPPA pun menambahkan,” Ada stigma sekarang bahwa profesional itu dilihat dari gear yang mereka pakai, kalau sudah pakai Kamera Digital kelas atas baru bisa dibilang pro padahal esensi pro bukan di situ letaknya”.

Yang benar belum tentu bisa diterima oleh masyarakat. Di iklim yang demokrasi ini, kebenaran bukanlah hal yang mutlak, orang bisa bebas berpendapat dan ini pula berdampak pada dunia fotografi itu sendiri.

Untuk mencerna kata Tigor, di atas nggak gampang, harus belajar. Sementara masyarakat di alam demokrasi yang bebas ini boleh bebas bicara dan  punya pandangan lain dan ini susahnya. “Padahal demokrasi itu baik kalau masyarakatnya sudah terdidik”, ujar Firman menanggapi pendapat Tigor tadi. Jika dalam situasi masyarakat yang tidak terdidik, maka berlaku pendapat dari suara terbanyak bukan yang terbaik.

“Ketika kepakaran harus ngalah dengan selera pasar yang ada”, tambah Firman lagi.

Ini tak lepas dari perkembangan dinamika di dunia fotografi itu sendiri.” Dulu, untuk menghasilkan karya foto yang bagus dimana rentang bukaan f stop atas dan bawah ekstrim bedanya dibutuhkan pengetahuan yang mumpuni untuk mengeksekusi hingga bisa menghasilkan foto bagus itu”. Sekarang? “Kita cenderung dimudahkan oleh teknologi kamera digital yang berkembang pesat”.

Hingga orang awampun dengan sedikit kemampuan mereka mampu menghasilkan foto yang bagus. Hingga ada istilah,”Pake I-Phone aja udah keren ngapain juga musti bayar fotografer profesional dengan alat-alat yang canggih”.

Masyarakat sekarang lebih permisif terhadap karya fotografi itu sendiri ditambah lagi dengan kecanggihan alat membuat seseorang bisa dengan mudah belajar dan menjelma jadi seorang fotografer profesional.

“Nah, kami menghimpun diri lewat IPPA salah satu goalnya agar para fotografer profesional Indonesia tetap mendapat porsi tersendiri di tengah gencarnya serbuan fotografer asing yang sudah sangat gencar membidik pasar di Indonesia yang memang menggiurkan itu”, pungkas Firman Ichsan menutup obrolannya sore itu.[Mirza Ichwanuddin]

Share