Dua Tahun Perumahan Rakyat di Bawah Pemerintahan Jokowi-JK [Bagian 1]

TRANSINDONESIA.CO – Catatan Perumahan Rakyat (Pera) di awal pemerintahan Jokowi-JK pada akhir tahun 2014 sudah diramaikan oleh pembubaran kembali Kementerian Perumahan Rakyat yang kemudian digabung dengan Kementerian PU sehingga menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera atau PUPR).

Di masa pemerintahan Soeharto, urusan Pera menjadi salah satu pilar pembangunan di bidang kesejahteraan (sandang, pangan dan papan/pera) sehingga kelembagaan kementerian sangat stabil (1978-1998). Namun di era reformasi, kementerian ini berulangkali dibentuk dan dibubarkan.

Meskipun urusan Pera tetap ada, tapi keberadaannya jelas turun tingkat karena tidak memiliki Kementerian tersendiri. Padahal target merumahkan seluruh rakyat secara layak sebagai amanat UUD 1945 pasal 28H semakin jauh dari terpenuhi dengan semakin membengkaknya angka housing backlog. Dari data Sensus BPS, jika pada tahun 2000 ada 4,3 juta unit housing backlog, maka pada tahun 2010 membengkak menjadi 13,5 juta (13.505.866) unit.

Diturunkannya kelembagaan untuk menangani urusan Pera di hadapan masih terus membengkaknya angka housing backlog sudah menunjukkan sebuah paradoks pembangunan di masa pemerintahan Jokowi-JK.

Muhammad Jehansyah Siregar.[IST]
Muhammad Jehansyah Siregar.[IST]
Namun paradoks ini sepertinya ingin dipermak dengan mempertanyakan dan bahkan mengutak-atik data housing backlog yang ada. Pada awal 2015 dikeluarkan data baru angka housing backlog 7,6 juta unit berdasarkan kepenghunian (Perpres No.2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019), dan menyebutkan angka housing backlog 13,5 juta itu adalah berdasarkan kepemilikan. Mungkin dikiranya dengan adanya angka housing backlog yang baru (7,6 juta unit) itu, nuansa paradoks dalam urusan Pera agak sedikit terobati.

Padahal data baru tersebut sama sekali tidak merubah fakta yang tetap menunjukkan kondisi darurat perumahan rakyat. Masyarakat miskin dan berpendapatan rendah masih menghadapi kesulitan yang besar untuk bisa memenuhi hak dasar akan tempat tinggal yang layak dan terjangkau, terutama di kota-kota besar.

Apakah memang bisa demikian? Sebenarnya angka 13,5 juta (13.505.866) housing backlog (Sensus BPS 2010) diperoleh dari selisih jumlah rumah tangga total (61.390.300) dan jumlah rumah tangga yang tinggal di rumah milik sendiri (owner occupied house) yaitu sebanyak 47.884.434 ruta.

Meskipun belum terlalu presisi, namun angka ini tidak terlalu salah, karena menunjukkan fenomena makro kebutuhan perumahan rakyat. Asumsinya, untuk sementara mereka yang tinggal di rumahnya sendiri tidak mengalami masalah. Mereka sudah memiliki “secure tenure” yang menjadi modal dasar untuk tumbuhnya kepedulian untuk terus meningkatkan kualitas rumahnya.

Sedangkan yang 13,5 juta, masalahnya bervariasi, dari rumah tangga yang tinggal di permukiman kumuh, permukiman ilegal, mereka yang menyewa tanah untuk dibangun rumah, menyewa rumah, mengontrak atau menumpang dan masih banyak sekali jenis-jenis penghuniannya.

Baik yang formal dan terutama yang infomal, jelas-jelas menunjukkan kebutuhan rumah. Angka ini menunjukkan mereka yang bermasalah dengan menyewa, mengontrak atau menumpang!

Mereka yang terpaksa pindah kontrakan mencari yang lebih murah, mereka yang terpaksa pindah kos-kosan ke tempat yang lebih jauh, mereka yang ngemplang uang sewa akibat tidak mampu, mereka yang terus “ngegondeli” rumah orangtuanya, dan mereka yang menyewa di rumah yang tidak layak, dsb.

Apa mereka ini semuanya tidak dihitung housing backlog? Hanya karena mereka dianggap belum tentu membutuhkan rumah milik?

Mereka secara umum memang kekurangan rumah yang layak untuk dihuni. Mereka membutuhkan rumah-rumah sewa murah yang layak dan rumah milik yang mampu mereka jangkau.

Mungkin ada sedikit yang tidak bermasalah dari golongan menengah atas yang mengontrak rumah atau apartemen mewah. Golongan ini memang tidak layak dihitung sebagai housing backlog, namun diperkirakan jumlahnya sangat sedikit.

Memang sebaiknya ada survey lebih rinci yang menanyakan para penyewa rumah ini, apakah jika ada rumah sewa yang lebih layak dan lebih terjangkau dan berada di lokasi yang lebih strategis, mereka akan berminat? Inilah survey menggunakan metoda well informed choices yang patut dijalankan di setiap daerah perkotaan.

Adanya data yang lebih rinci ini tidak mengurangi pentingnya data angka housing backlog nasional tersebut sebagai gambaran makro.

Kesimpulannya, data housing backlog 13,5 juta itu masih sangat relevan dijadikan acuan makro kebutuhan perumahan rakyat. Baik yang dihitung di dalamnya rumah-rumah yang lokasinya di permukiman kumuh maupun mereka yang belum memiliki rumah karena menyewa atau mengontrak. Juga tidak perlu diembel-embeli dengan angka backlog kepemilikan, karena memang bukan berarti mereka harus memiliki rumah. Yang salah itu justru memberi embel-embel backlog kepemilikan, karena mengarahkan pada respon kebijakannya adalah menyediakan program rumah milik sebanyak 13,5 juta unit.

Padahal selain program rumah milik, justru yang perlu dikembangkan adalah program rumah sewa yang layak dan terjangkau di perkotaan.

Lalu bagaimana dengan angka housing backlog 7,6 juta unit (berdasarkan kepenghunian) di dalam RPJMN itu, yang kesannya hanya ingin menutup-nutupi parahnya pembengkakan kekurangan rumah di tanah air? Ternyata angka ini lebih tidak jelas dan sangat kasar, karena dihitung berdasarkan jumlah keluarga dikurangi jumlah bangunan rumah di seluruh Indonesia.

Padahal pada kenyataannya tidak ada itu 7,6 juta keluarga yang “keleleran” yang tidak punya rumah. Juga tidak seluruhnya satu keluarga tinggal di satu rumah. Apalagi jika  perhitungan backlog penghunian tersebut maksudnya setiap keluarga tidak diwajibkan untuk memiliki rumah, dan bisa menghuni dengan cara sewa/kontrak, justru semakin tidak jelas karena sumber datanya sendiri sangat kasar dan tidak ada menunjukkan berapa yang milik, berapa yang sewa, dan sebagainya.

Jadi angka housing backlog 7,6 juta ini tidak perlu dan justru bisa menyesatkan!  Sebaiknya angka housing backlog yang 13,5 juta itu tetap digunakan saja untuk memberi gambaran kebutuhan perumahan secara makro. Apalagi sensus berikutnya baru diadakan pada 2020, dan sangat bisa menunjukkan tren pembengkakan housing backlog yang sebenarnya, sebagaimana pembengkakan dari tahun 2000 ke tahun 2010 itu!

Lebih jauh, data membengkaknya housing backlog yang hendak ditutup-tutupi itu sebenarnya menunjukkan bahwa urbanisasi di kota-kota besar di tanah air masih belum bisa dikelola secara berkelanjutan. Ekonomi kota bertumbuh, golongan menengah atas semakin kaya, namun belum mampu dikelola secara berkeadilan dan seimbang antara pertumbuhan dan pemerataan.

Akibatnya kaum pendatang dari golongan miskin dan berpendapatan rendah semakin banyak dan semakin tidak mampu menjangkau tempat tinggal yang layak. Mereka terpaksa tinggal di lingkungan yang bukan haknya dan tata ruang yang bukan peruntukannya. Dari kondisi seperti Itulah angka housing backlog itu muncul!

Artinya, menangani masalah perumahan rakyat juga berarti membenahi pengelolaan pembangunan kota. Pemerintah tidak bisa hanya memperhatikan pembangunan ekonomi kota dan meniadakan kaum miskin kota hanya dengan isu ketertiban dan aspek legal semata, dan menikmati pertumbuhan kota hanya untuk segelintir kelompok menengah dan atas, termasuk aparat pemerintah kotanya.

Berani mengelola pertumbuhan kota berarti berani mengelola kebutuhan kaum pendatang dan memberdayakan mereka. Termasuk menyediakan berbagai pilihan tempat tinggal yang layak dan terjangkau bagi golongan bawah dan miskin kota.

Itulah makna angka housing backlog itu, yang seperti alarm dihidupkan setiap 10 tahun sekali oleh BPS untuk mengevaluasi arah kebijakan dalam pembangunan kota dan penyediaan perumahan rakyat. Bukan pula angka housing backlog itu dipakai hanya untuk menetapkan besaran angka-angka proyek perumahan sebagai justifikasi penggelontoran belanja anggaran negara.

Dan pembahasan ini belum menyentuh proyek-proyek itu, seperti  rumah susun sewa, bedah rumah, kredit rumah bersubsidi, bantuan prasarana umum, dsb, yang seharusnya bisa menjawab permasalahan Pera yang sebenarnya dihadapi rakyat. Jika di hulu perencanaan saja sudah salah kaprah, maka tidak mengherankan jika program Pera nanti tidak akan bisa menjawab kebutuhan rakyat secara efektif.

UN-Habitat (lembaga PBB di bidang perumahan, permukiman dan perkotaan) menyebutkan bahwa hanya ada dua golongan negara, yaitu pertama, negara-negara yang sudah memiliki strategi dan berada di jalan yang benar dalam memenuhi perumahan rakyat menuju pengurangan housing backlog secara berarti dan menata kota-kotanya menuju kota yang berkelanjutan. Kedua, negara-negara yang masih berada di jalan kegelapan dalam urusan ini.

Golongan negara kedua ini pun ada yang tetap tidak menyadari kondisinya dan suka merekayasa data dan terus melakukan pencitraan di forum-forum internasional. Namun ada pula negara-negara yang yang terus melakukan pembelajaran dan berusaha keras untuk keluar dari perangkap urbanisasi.

Tampaknya Pera di Indonesia hingga 2 tahun masa pemerintahan Jokowi-JK ini masih belum keluar dari perangkap urbanisasi yang tak mampu dikelola dengan baik itu. Angka housing backlog terus membengkak dan begitu juga permukiman kumuh yang terus bertambah. Sedangkan beberapa kepala daerahnya seperti putus asa dan lebih memilih melakukan penggusuran demi penggusuran. [Muhammad Jehansyah Siregar, PhD – Pakar Perumahan Rakyat dari ITB, Ketua 1 Housing and Urban Development Institute]

Share