Masa Transisi Pengelolaan Apartemen: Beban Biaya Siapa?
TRANSINDONESIA.CO – Kerabat saya bercerita membeli apartemen “C” di Kelapa Gading, Jakarta Utara, unitnya sudah ditempati sebagian. Ada pemilik ada pula bukan pemilik, alias penghuni yang menyewa dan diberikan kuasa oleh pemilik. Pengelolaan masa transisi ditangani developer.
Tatkala pembangunan apartemen selesai dibangun dan siap ditempati pemilik dan penghuni, sudah pula lengkap dengan fasilitas terpasang dan terbit Sertifikat Layak Fungsi (SLF) versi Pasal 44 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun), siapakah menanggung beban biaya pengelolaan dalam masa transisi? Soal ini penting, karena menyangkut kewajiban yang acapkali merebak menjadi isu sensitif yang menyisakan banyak pertanyaan praktik bagi pemilik atau konsumen yang berniat membeli apartemen.
Merujuk UU Rusun, dalam masa transisi sebelum terbentuknya Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS), pelaku pembangunan wajib melakukan pengelolaan rumah susun (vide Pasal 59 ayat 1 UU Rusun). Sekali lagi wajib. Apakah paham lebih lanjut masa transisi? Soal ini dibahas esai berikutnya.
Jika menengok Pasal 59 ayat (4) UU Rusun yang berbunyi “Besarnya biaya pengelolaan rumah susun pada masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung oleh pelaku pembangunan dan pemilik sarusun berdasarkan NPP setiap sarusun”. Ketentuan itu dijiplak lagi ke dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Rumah Susun namun menghilangkan kata “setiap sarusun” di akhir ayatnya. Artinya, pengelolaan menjadi beban biaya pelaku pembangunan dan pemilik sarusun.
Namun, kua juridis frasa “pelaku pembangunan dan pemilik sarusun”, dalam Pasal 59 ayat (4) UU Rusun itu tidak konsisten dengan ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU Rusun yang menggunakan frasa “pemilik atau penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun”.
Pemilik sarusun (owner) tentu saja berbeda dengan penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun, namun menempati sarusun dan diakui menjadi anggota PPPSRS [vide Pasal 74 ayat (2) UU Rusun].
Maksud frasa “pelaku pembangunan dan pemilik sarusun” dalam Pasal 59 ayat (4) UU Rusun sebagai pihak yang menanggung biaya pengelolaan rumah susun, berarti tidak dibebankan kepada penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun. Padahal secara faktual dan juridis penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun diakui dalam UU Rusun dan memanfaatkan unit sarusun, termasuk menikmati aset kepemilikan bersama.
Mestinya, sesuai dengan prinsip “prestasi setara/proporsional dengan kontra prestasi”, maka siapa yang menempati dengan sah sarusun adalah yang dibebankan biaya pengelolaan.
Apabila ditelaah lebih lanjut, de facto status penghuni pada rusun atau apartemen cukup beragam. Bukan hanya pemilik dan penghuni yang mendapatkan kuasa pemilik. Kualifikasi penghuni lebih luas dan dapat dibedakan atas: (1) Penghuni yang pemilik sarusun (“penghuni-pemilik”). (2) Penghuni yang mendapat kuasa pemilik (“penghuni kuasa pemilik”). (3) Penghuni yang tinggal/menetap bersama penghuni penerima kuasa pemilik karena hubungan keluarga (“penghuni tanggungan kuasa pemilik”). (4) Penghuni yang tinggal pada sarusun tetapi tidak menerima kuasa dari pemilik sarusun (“penghuni bukan kuasa pemilik”). (5) Penghuni yang menempati dengan cara menyewa sementara dalam jangka pendek (bulanan atau mingguan), yang dapat disebut “penghuni lain-lain”.
Namun jika merujuk penghuni sarusun yang menjadi anggota PPPSRS versi Pasal 74 ayat (2) UU Rusun termasuk “penghuni kuasa pemilik”. Karenanya, yang dibebankan tanggungan biaya pengelolaan selain pemilik adalah juga adalah “penghuni kuasa pemilik”.
Tersebab itu, jika dalam masa transisi biaya pengelolaan dibebankan kepada pelaku pembangunan tidak menjadi soal. Namun menjadi soal jika dibatasi hanya pemilik sarusun saja, maka hal itu tidak adil (unfair), tidak logis, dan tidak sesuai dengan prinsip “prestasi setara/proporsional dengan kontraprestasi”.
Hal ini penting karena berpengaruh kepada regulasi turunan yang hendak dissusun, apakah RPP ataupun Peraturan Menteri ataupun lainnya dalam hal menentukan norma beban biaya dan menentukan aturan PPPSRS yang menarik beban biaya pengelolaan dalam masa transisi. Dibebankan kepada pelaku pembangunan dan pemilik saja, ataukah penghuni kuasa pemilik juga?
Soal lain, terkait dasar penarikan biaya adalah NPP (Nilai Perbandingan Proporsional). Pertayaannya, apakah rujukan NPP? Apakah NPP yang tertera dalam pertelaan sesuai SHM sarusun ataupun SKBG sarusun? Atau NPP versi rancangan pertelaan? Sebab jika NPP di dasarkan pada pertelaan dalam SHM sarusun ataupun SKBG sarusun versi Pasal 47 ayat (3) dan Pasal 48 ayat (3) UU Rusun, bukankah tanda bukti kepemilikan itu bisa jadi belum terbit pada masa transisi? Soal ini mesti dijernihkan dalam RPP dan Peraturan Menteri.[Muhammad Joni – Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Dewan Pembina Lembaga Perlindungan Konsumen Keuangan dan Properti (LPKPK)]