PPPSRS, Komunitas “Negeri di Awan”
TRANSINDONESIA.CO – Malam itu, gemerlap lampu menjilati gedung jangkung apartemen di kawasan komersial Kuningan. Lift cepat yang wangi naik vertikal ke lantai 27 apartemen mewah karya group domestik.
Sesekali senyum dan sapa Angah Amru, yang menjemput penulis di pintu lift, meluncur dari bibirnya pada sesama penghuni yang tengah kembali ke “sangkak”.
Sekelebat, saya memungut “potret sosial” suasana hunian jangkung. Di situ ada situs hunian, ada keluarga, ada komunitas. Ada keterikatan aturan. Tentu saja, ada denyut ekonomi komunitas hunian menjulang.
Menurut data, selama kuartal III-2013, luncuran proyek apartemen laris manis terserap. Dengan rasio serapan 86,4%, atau naik 3,5% dari kuartal sebelumnya, dengan pasokan kumulatif apartemen strata-title meningkat 3% secara kuartalan (QoQ) mencapai 128.353 unit, dan harga QoQ menaik 5% per tahun. Komunitas “negeri di awan” di Jakarta akan semakin ramai dan bergeliat.
Selagi apartemen masih dihuni manusia, dan berhimpun sebagai komunitas, pelaku pembangunan (developer) tidak hanya canggih dan rancak membangun fisik properti. Pun lihai membangun kenyamanan interaksi sosial. Jangan abai, konsumen atau pemilik/penghuni apartemen tak hanya tidur, istirahat dan makan, namun makhluk sosial gemar bergaul.
Aha, postulatnya: developer tak hanya property enginerring yang cerdas membangun fisik properti, namun aktif menggiatkan “social enginerring”. Idemditto ajaran Roscoe Pound bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social enginerring). Caranya? Membuat aturan (rules) dan tabah menggiatkan kepatuhan aturan menuju kedamaian sosial “komunitas menjulang”.
Sebelum terbit aturan, mulai membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) seperti amanat UU No.20/2011 tentang Rumah Susun (“UU Rusun”). PPPSRS dirancang untuk kenyamanan dan kedamaian. Ijtihat saya, PPPSRS adalah juga struktur sosial dan entitas hukum yang dibentuk untuk menyamankan “komunitas menjulang”. Tepat logika hukumnya jika pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuk PPPSRS [Pasal 75 ayat (1) UU Rusun]. Bukan oleh Pemerintah. Tidak logis pembentukan PPPSRS difasilitasi Pemerintah. Doktrinnya, hukum itu harus waras dan normatif (logic and norm).
Selain itu urusan Pemerintah sudah padat dan merayap. Lagi pula PPPSRS adalah ihwal perdata, dan hanya untuk rumah susun komersial (apartemen) dan rumah susun umum milik [Pasal 59 ayat (1) UU Rusun]. Tidak untuk rumah susun umum bersubsidi, rumah susun sewa, rumah susun khusus dan rumah susun negara.
Mengapa pemilik satuan rumah susun (sarusun) atau apartemen yang diwajibkan membentuk PPPSRS? UU Rusun mengambil tiga ijtihat cerdas.
Pertama: Untuk memastikan perlindungan atas kepemilikan bersama (common property) atas tanah bersama, bagian bersama, benda bersama yang tidak dimiliki secara personal tetapi bersama (kolektif). Harta benda wajib dijaga dan dilindungi pemiliknya, termasuk kepemilikan bersama.
Kedua: UU Rusun mengerti kebutuhan social development melalui interaksi sosial dan menciptakan sub kultur sosial yang teratur nyaman dan damai di gedung vertikal yang terlanjur dicap individualistis. Formula PPPSRS dirancang sebagai entitas sosial, karenanya institusionalisasinya tidak dalam bentuk badan hukum perseroan terbatas (PT), atau koperasi, atau perhimpunan perdata (vereniging) dengan seluruh pemilik dan penghuni adalah pemilik/anggotanya. Namun dalam bentuk dan nama PPPSRS.
Ketiga: PPPSRS sebagai entitas “masyarakat menjulang” tidak dirancang murni sebagai pengelola sarusun ataupun apartemen. Buktinya, Pasal 75 ayat (3) UU Rusun membuka opsi dapat membentuk atau menunjuk pengelola atau building management yang prokomersial. Cuma, opsi itu masih ragu-ragu karena menggunakan kata “dapat” bukan “wajib” membentuk pengelola. Artinya, bisa “ya” bisa pula “tidak”.
Wajibkah semua pemilik atau penghuni menjadi anggota PPPSRS? Itu pertanyaan menggelitik yang perlu pembahasan mendalam. Karena adanya kepemilikan bersama atas tanah bersama, benda bersama dan bagian bersama, maka logis seluruh pemilik menjadi anggota PPPSRS. Namun, UU Rusun memakai frasa “para pemilik atau penghuni” bukan “seluruh pemilik atau penghuni”.
Yang pasti, menubuhkan PPPSRS tidak menghapus tanggungjawab produk (product liability) developer atas sarusun atau apartemen yang dijual. Jika ada cacat produk (product defect) misalnya saluran air, konstruksi bangunan sarusun, developer tetap bertanggungjawab. Bahkan tanggungjawab produk atas tanah bersama, benda bersama, bagian bersama. Itu soal enteng, karena developer masih bisa mengklaim kontraktor sebelum serah terima pekerjaan.
Tak cuma itu, developer bertanggungjawab penuntasan sertifikat kepemilikan sarusun, namun usia pengurusannya tidak pendek, bisa lebih 2-3 tahun.
Bagi konsumen, soal terpenting adalah kepastian dan kenyamanan menghuni gedung menjulang itu. Nyaman dan damai dengan aturan dan kepatuhan aturan (house rule). Komunitas hunian apartemen anggota PPPSRS, dirangsang taat house rule atau estate code, agar di sana terbina kenyamanan dan kedamaian sosial menghuni apartemen. Seperti lirik lagu Negeri di Awan ala KLA Project, “dimana kedamaian menjadi istananya”. Demi kenyamanan dan kedamaian, biasanya konsumen rela mengeruk kocek lebih dalam. Kedamaian ada harganya.
Terbuktilah, social enginerring bukan cost center malah bisa dikelola sebagai nilai lebih. PPPSRS dan developer pun bisa bertemali secara simbiosis mutualistis, jika properti menjulang itu dibangun, dihuni dan dikelola secara “In Hamoni”. Persis seperti tagline jasa hukum Joni & Tanamas: “Lawyering with Heart”.
[Muhammad Joni – Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Ketua Dewan Pembina Lembaga Perlindungan Konsumen Properti dan Keuangan (LPKPK)]