Teratai: Waras dalam Kegilaan

TRANSINDONESIA.CO – Teratai hidup di tempat yang kumuh, berlumpur, kotor, mungkin berbau  namun ia tak ikut kotor malah diantara kekumuhan, kekotoran dan kebauanya, ia memberikan penghiburan. Berapa bunga indah yang merubah tempat kotor, kumuh dan bau menjadi asri.

Kalau tidak ikut dengan orang kebanyakan, takut dibilang sombong, sok suci, tidak solider, bahkan bisa jadi dikatakan pengecut atau penghianat. Tidak berada pada pikiran atau gerakan banyak orang menjadi tantangan baik sebagai pribadi atau profesi.

Opini/image orang kebanyakan tidaklah selalu benar. Sering malah sebaliknya, kehilangan rasionalitas, kesadaran, tiada kekritisan, mengekor, tidak sewajarnya serba dibuat-buat. Penuh kemunafikan menutup borok kepentingan dalam tata krama yang disukai banyak orang.

Teratai
Teratai

Pada zaman yang sarat KKN dan mendewa-dewakan uang, jabatan, kekuasaan serta kewenangan, saatnya berani memilih jalan sendiri untuk tidak hanyut/luntur dalam idiologi sesat.

KKN sudah terbukti melemahkan dan menggerogot sendi-sendi sosial kemanusiaan. Penjarahan terhado rakyatnyapun dengan bangga terus dieksploitasi hingga menjadi ampas.

Di zaman edan sopo sing ora melu edan ora keduman. Saat-saat ora keduman memang “sakitnya sampai disini” sambil nunjuk dengkul.

Tatkala complain atau protes mengajar kebaikan malahan akan dimatikan. Ngedan lebih bahaya dari edan. Edan gila lupa ingatan, ia tak ada kepentingan. Ngedan menjadi bahaya karena ada kesadaran atau kepemtingan yang memanfaatkan kegilaanya.

Di sela orang sakit masih ada orang yang waras, yang mengingatkan dan menatanya. Tatkala hancur masih ada yang mampu membangunya.[CDL30092016]

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share