Catatan atas 4 Program Strategis Menteri Sofyan Jalil [2]: Dimana RUU Pertanahan?

TRANSINDONESIA.CO – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Jalil mengungkapkan jurusnya dengan  4 (empat) program strategis setakat   berbicara pada helat  Indonesia Property & Bank Award  (IPBA) 2016.  Menurutnya,  baru sekitar 40% lahan bersertifikat di Indonesia.

Pada bagian (1) tulisan ini mengeritik  tidak disinggungnya reforma agraria, yang  tak bisa dilepaskan dengan RUU Pertanahan yang legalisasi reforma agraria. Lantas, mengapa RUU Pertanahan tak dimasukkan Menteri ATR Sofyan Jalil? Padahal pendahulunya Ferry Mursyidan   Baldan   menjadikan   legislasi   RUU   Pertanahan,   untuk   kerangka   hukum berjalannya reforma agraria.

Pun demikian,   draf   RUU Pertanahan yang paling anyar   diketahui publik bukan tanpa kritik, semisal ikhwal takrif Hak Menguasai Negara (HMN), persediaan tanah untuk perumahan rakyat,  justifikasi dan disain seperti apa peradilan pertanahan yang dirancang?

Muhammad Joni
Muhammad Joni

Karena Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Jalil tidak menyingung RUU Pertanahan, maka logis jika konten   dan   arah   kebijakan   politik hukum ikhwal RUU  Pertanahan   tidak dijadikan programnya.  Padahal publik pro reforma agraria menanti itu diprioritaskan. RUU Pertanahan   itu   juga   sejalan   dengan   Perpres   No.   45   Tahun  2016   tentang   Rencana   Kerja Pemerintah   (RKP)   yang   menjadikan   reforma   agraria   sebagai   agenda   dengan   penguatan kerangka regulasi. Tentunya, sekali lagi,  dengan legislasi RUU Pertanahan.

Kua substantif, ada beberapa catatan ikhwal arah politik hukum dan substansi hukum RUU Pertanahan. Terutama  review dan menafsirkan ulang atau memperkaya  takrif   HMN. Takrif HMN versi UUPA saat ini sentralistis dan mengabaikan hak lokal (local rights).

Dalam   helat   Semiloka   Housing   and   Urban   Development   (HUD)   Institute, 1 September    2016 mengenai  pembangunan kota baru publik   yang juga   membahas bank tanah,   terkuak  ikhwal  HMN mengenai persediaan tanah dan peruntukan tanah adalah aspek yang belum dioptimalkan pengaturannya.

Kembali   ke   soal   HMN   dan   hak   lokal   (local   rights).   Kasus   divestasi   saham   PT. INALUM yang terletak di Sumatera Utara bisa menjadi contoh bagus untuk membuktikan betapa  local right  atas tanah dan air serta ruang yang ada di kawasan danau Toba, sungai Asahan, dan pelabuhan Kuala Tanjung (semuanya terhampar di tanah lokal Sumut), tragisnya sama sekali tidak dianggap memiliki local rights.

Mengapa?   Karena   seluruh   saham   PT.  INALUM   dimiliki   Pemerintah   pusat.  Hasil divestasi tahap akhir 58,1% saham milik Nippon Asahan Aluminium (NAA) dialihkan ke akarta sebagai pemilik baru   per 1 Nopember 2013. Untuk divestasi akhir itu Pemerintah  Pusat mengalokasikan Rp7 Triliun.

Ironis,  setelah dari NAA Jepang  kembali  dikuasai  Jakarta.  Tak pun selembar saham atau nol persen saham dimiliki pemerintah daerah (pemda), baik   provinsi Sumut ataupun pemda kabupaten lain sekitar danau toba dan sungai Asahan.

Bukankah tanah danau Toba dan air sungai Asahan yang menjadi modal signifikan perusahaan   patungan   Indonesia   dengan   Jepang   itu   semuanya   berada   di   Sumut?     Tak sepotongpun tanahnya berada di  Jakarta.    Model divestasi   PT. INALUM  adalah   contoh betapa local right mesti ditafsir ulang dalam takrif HMN. Semakin lesap local right Sumut ketika INALUM menjadi “champion” dalam agenda holding company BUMN pertambangan.

Kritik lain atas RUU Pertanahan mengenai persediaan tanah untuk kepentingan public dan pelaksanaan hak konstitusional bertempat tinggal yang dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Jika merujuk   Pasal 14 ayat (1) UUPA,   terdapat perintah membuat rencana umum  persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah,  yakni: (1) untuk keperluan negara, (2) untuk keperluan   peribatan,   (3)   untuk   keperluan   pusat-pusat   kehidupan   masyarakat,   sosial, kebudayaan, dan lain-lain kesejahteraan, (4) untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian,   peternakan,   dan   perikanan   dan   yang   sejalan   itu,   (5)   untuk   keperluan     memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.

Mari kita teliti periksa. Kua yuridis formal   Pasal 14 ayat (1) UUPA tidak eksplisit menyebut   persediaan,   peruntukan,   dan   penggunaan   tanah   untuk   perumahan   dan permukiman. Dalam hal ini perumahan rakyat sebagai public housing  yang notabene status perbendaharaan milik Pemerintah,   maupun perumahan rakyat sebagai rumah umum untuk MBR yang tersisip bantuan (subsidi) Pemerintah (dan Pemda),  maupun rumah khusus dan  rumah negara versi Pasal 21 UU PKP.

Oleh   karena   itu,   beralasan   jika     mereview   Pasal   14   ayat   (1)   UUPA   yang menambahkan   pemaknaan   norma   persediaan,   peruntukan,   dan   penggunaan   tanah   untuk perumahan rakyat (rumah umum versi Pasal 21 ayat (3), ayat (6) Jo. Pasal 54 UU PKP) dan public housing yang notabene perbendaharaan milik Pemerintah untuk pelayanan publik.

Public   housing   bisa   jadi   termasuk   rumah   komersial   untuk   non   MBR.   Dasarnya mengacu Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang mengakui hak konstitusinal  bertempat tinggal, walaupun  hadir belakangan setelah UUPA tahun 1960.

Hal ini  untuk mengisi/melengkapi  ketentuan Pasal 14  ayat (1)  UUPA yang hanya menggunakan   frasa   keperluan negara,  mesti dimaknai termasuk keperluan negara untuk perumahan rakyat dan public housing.

Pun   demikian   bisa   diharmonisasi   ke   dalam   norma/frasa   untuk   keperluan   pusat kehidupan   masyarakat”   dan   norma/frasa   untuk   keperluan   memperkembangkan   industri, dalam hal ini industri perumahan rakyat dan public housing.  Selagi rumah masih bertapak du tanah,   maka   persediaan   tanah   bagi   rumah   rakyat   sangat   mendasar.  Dari   rumah   negeri digenah.

Muhammad Joni [Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute]

Share