Komnas HAM: Kerusuhan Tanjung Balai Langgar HAM

TRANSINDONESIA.CO – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan kerusuhan berbau SARA yang terjadi di Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara telah memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia.

Komisioner Komnas HAM sekaligus Ketua Tim Pemantuan dan Penyelidikan Peristiwa Tanjungbalai Natalius Pagai mengatakan bentuk-berntuk perbuatan pelanggaran tersebut adalah kebencian atas dasar ras dan etnis, hak atas kepemilikan dan hak atas rasa aman.

“Penyimpangan informasi yang dilakukan dan disebarluaskan oleh oknum-oknum tertentu dengan kecenderungan kebencian terhadap etnis Tionghoa di Tanjngbalai dan memicu pengrusakan dan pembakaran tempat tinggal dan rumah ibadah etnis Tionghoa. Ini tidak sesuai dengan larangan diskriminasi ras dan etnis yang diatur dalam Pasal 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,” ujar Natalius di Kantor Komnas HAM, Jakarta, kemaren.

Tampak massa yang sudah emosi merusak dan membakar Klenteng pada kerusuhan “SARA” di Kota Tanjung Balai, Jumat (30/7/2016) malam.[Ist]
Tampak massa yang sudah emosi merusak dan membakar Klenteng pada kerusuhan “SARA” di Kota Tanjung Balai, Jumat (30/7/2016) malam.[Ist]
Kemudian, kerusuhan tersebut menyebabkan 15 bangunan termasuk rumah ibadah, yayasan dan pribadi yang tidak sejalan dengan perlindungan terhadap hak milik yang diatur dalam Pasal 36 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selanjutnya, Komnas HAM menilai peristiwa di Tanjungbalai telah menyebabkan rasa ketakutan dan kekhawtiran yang dialami oleh semua pihak yaitu masyarakat di sekitar tempat kejadian, khususnya etnis Tionghoa, dan masyarakat umum.

“Artinya telah terjadi pelanggaran hak atas rasa aman yang dijamin di Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 30 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM,” kata Natalius.

Atas penemuan pelanggaran HAM tersebut, Komnas HAM pun memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan aparat keamanan.

Pertama, Komnas HAM meminta proses hukum yang dijalankan pihak kepolisian tetap dilanjutkan dengan mempertaimbangkan dan menghormati HAM para tersangka.

Kedua, Komnas HAM meminta Pemerintah Pusat, Pemerintah Sumut dan Pemerintah Kota Tanjungbalai untuk memutus rantai komunikasi yang berorientasi pada kebencian ras, etnis dan agama.

Ketiga, Komnas HAM meminta pemerintah dari tingkat pusat sampai Pemkot Tanjungbalai untuk melakukan reintegrasi sosial antaretnis dan antaragama pascaperistiwa yang terjadi pada Jumat (29/7/2016) tersebut.

“Proses ini harus dipimpin oleh pemerintah dengan melibatkan berbagai tokoh masyarakat dan tokoh agama di Tanjungbalai. Langkah ini penting karena peristiwa terkait kebencian agama dan etnis juga pernah terjadi di kota yang sama pada tahun 1979, 1989 dan 1998,” tutur Natalius.

Terakhir, Komnas HAM meminta pemerintah dari pusat sampai daerah memastikan rasa aman, nyaman dan memastikan kejadian yang sama tidak terulang.

Adapun untuk kasus ini, kepolisian telah menetapkan 21 orang tersangka, terdiri dari delapan tersangka tindak pencurian, sembilan tersangka tindak perusakan dan empat tersangka provokator.[Ant/Dod]

Share