Pejalan Kaki Sedunia, Bersatulah!
TRANSINDONESIA.CO – Konsep wisata mulai dibongkar. Sebagian pelaku usaha jasa kenyamanan itu memperbarui bresep plesir. Menguji coba dengan faktor nonkonvensional, menambahi ikhwal sentuhan kemanusiaan dan kemaslahatan. Agar tak melulu reproduksi kesenangan. Berasal dari kata plesure, kata itu terserap ke bahasa Indonesia menjadi plesir.
Saya pernah membaca reportase menarik majalah “i-Kreatif” milik teman saya uda Erfendi “Pepeng”, yang mengulas bongkar-bongkar konsep plesir. Setakat itu patik sontak tersentak. Bagaimana tidak “i-Krearif” mewartakan ikhwal paket wisata unik yang di luar mainstream. Paketnya mengajak (atau “memaksa”?) wisatawan Jepang menelusuri jalan setapak. Merancang hajat datang ke satu destinasi untuk memperbaiki pagar kampung dan mengecat mushalla, sembari bertukar cerita dan bergurau dengan orang-orang baru.
Menjual “destinasi” kampung sebagai wisata bisa jadi tak masuk dalam daftar destinasi yang diandalkan otoritas kota. Lumrah saja, sebab hal itu adalah di luar konteks konsep plesir. Itu alternatif yang belum lazim, walaupun tentu saja berbayar dan ada tarifnya.
Membaca “i-Kreatif” itu, pikiran patik jingkat melompat ke Langkat. Daku membatin. Inikah yang dulu waktu masa sekolah dasar patik di Tanjungpura, Langkat, Sumut, pernah dikenalkan sang guru sebagai darma wisata? Mendarmakan sesuatu kebajikan berbalut kesukariaan sebagai wisata. Benakku mengatakan, wisata tak sesempit plesir!
Wisata idemditto berjalan. Walau tidak selalu identik. Pun demikian, berjalan dalam arti jalan kaki gaya bebas sebagai menu utama wisata tumbuh bagaikan menu baru, yang tren-nya mengejala ke belahan dunia. Seakan hendak meneguhkan postulat: banyak jalan banyak kebahagiaan!
Berjalan menelusur jejak setapak yang tak terekam geogle map? Aha…. tentu bisa menemui panorama eksotik. Diwartakan, penggemar jalan kaki bebas berhimpun menjadi asosiasi pejalan kaki, baik domestik maupun dunia yang mulai digemari. Banyak berjalan banyak kawan.
Diwartakan, Jogja Walking Association menggelar Jogja International Heritage Walk (JIHW), ajang jalan kaki rekreasi dan olahraga yang dibesut bertaraf internasional.
Berbeda dari Indonesia yang baru tahun ini mengeliatkan antar anak pertama kali ke sekolah, di Jepang awal sekolah anak-anak diantar orangtuanya. Bedanya? Wajib jalan kaki. Walau hanya anak-anak kelas 1 yang diantar sekolah.
Maksudnya untuk edukasi dan menikmati. Tersebab itu, nikmatilah berjalan kaki dan rekam-lah. Jangan ganggu kemewahan itu dengan kesibukan lain.
Di New Jersey, Amerika Serikat, sedang digodok aturan denda bagi mereka yang bermain dengan ponselnya saat menyeberang atau berjalan.
Di Jakarta bersemi Koalisi Pejalan Kaki (KoPK) yang berjuang membebaskan trotoar dari penjajahan pengendara motor dan pedagang. Pejalan kaki belum dinyamankan seperti pemilik sedan. Menurut data WHO: 270 ribu pejalan kaki meninggal per tahun akibat kecelakaan lalu lintas. Atau 22% dari total kecelakaan lalin sebesar 1,24 juta kematian. Pantas digelorakan jargon: “Pejalan Kaki Sedunia, Besatulah!
Jangan takut berjalan, karena justru sehat. Berapa lamakah anda menghabiskan waktu berjalan dalam sepekan? Ini sedikit catatan: orang Inggris malas berjalan. Dalam sepekan 25% orang Inggris hanya berjalan tak lebih 1 jam. Bagaimana dengan jalan kaki orang Indonesia?
Berjalan kaki gaya bebas sebagai menu utama wisata? Akankah ada paket wisata jalan kali di Bali? Ya. Kedengarannya masih hambar dan acap dituding alasan mengirit. Mengapa? Karena visinya masih konvensional dan mainstream. Masih kapitalisasi plesir. Bahkan untuk urusan wisata religius sekalipun.
Lupakan sementara wisata jalan kaki “gaya bebas”. Kita kembali kepada konsep konvensional yang menjadikan wisata sebagai jasa industri plesir. Walaupun konsep itu menghendaki kesiapan infrastruktur (bandara, hotel, jalan raya, dll.) dan objek destinasi sebagai faktor utama industri pariwisata, seperti terungkap dalam seminar internasional Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan Profesi Advokat dalam Industri Pariwisata yang dibesut asosiasi advokat, PERADI, di Bali, 5 Agustus 2016.
Untunglah, Gubernur Bali Mangku Pastika mengingatkan bahwa pariwisata menghendaki faktor outside market. Tak sekadar infrastruktur dan objek destinasi. Gubernur Pastika menyebut daya pikat magnetis lain yakni faktor mentalitas wisata dan kultur komunitas sosial. Pun beliau menyebut keamanan (security) dan kepastian hukum, setakat membandingkan hajat Pemerintah mengundang pemodal dan menggiatkan otorita danau Toba. Menjadikannya sebagai “Monaco” Indonesia.
Pegiat industri wisata patut mencatat pesan Pastika. Akankah pelancong nyaman dengan tarif parkir 100 ribu di badan jalan kota? Patutkah pedagang souvenir marah kepada calon pembeli souvenir yang gagal transaksi? Eureka, surplus ramah tamah dan menyamankan tetamu mesti dikulturkan.
Dengan perasaan aman dan tak lupa gembira sembari belajar menikmati plesir jalan kaki gaya bebas sepanjang pagi kepada siang, Sabtu, 6 Agustus 2016, patik berjalan melenggang kaki menyusuri Kute sampai ke ujungnya, sesekali menengok atraksi landing pesawat dari berbagai maskapai dan negara, menuju landasan pacu bandara I Gusti Ngurah Rai yang menjorok ke laut. Kabarnya landasan pacu akan ditambah dengan reklamasi pantai.
Walau tak sempurna, saya sempat merekamkan pandangan mata alakadarnya di sekitar pangkal pantai Kuta. Seakan berambisi mencoba sensasi jalan kaki gaya bebas. Berusaha keluar dari mainstream.
Namun apa daya. Jalan kaki itu masih dominan merekam panorama, pepohonan, peristiwa naik turun pesawat dari kejauhan, terselip pula atraksi seni tari Kecak yang terkenal itu.[Muhammad Joni]