Menara Gading: Memabukkan jadi Candu Kenikmatan
TRANSINDONESIA.CO – Di atas Menara Gading sarat puja puji, penuh dengan kemewahan dan pelayanan, apa yang dikata akan menjadi nyata. Kata-kata seolah menjadi sabda.
Semua siap sedia tanpa ada perbantahan, semua baik adanya. Tatkala memandang ke bawahpun semua akan indah bagai mutu manikam yang terurai penuh dengan warna-warni keindahan.
Sampah, kotoran, orang sakit, kekecewaan, kesedihan, kepahitan, kedukaan, bau amis, bau anyir darah tidak akan sampai di Menara Gading. Teriakan-teriakan kelaparan, aduan keputus asaan tiada terdengar di Menara Gading. Semua yang ada cantik, indah, wangi, siap dan penuh puja puji.
Menara gading menjulang tinggi, siapa menopangnya, siapa fondasinya, siapa yang menjadikanya kokoh? Pasti yang sedag mabuk akan lupa atau pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa yang ada dipilar-pilarnya adalah keringat, pengorbanan, kesedihan, kemarahan, kesengsaraan, kekecewaan yang semua dicurahkan agar menara gading kokoh, tegak, wangi untuk menjadi harapan yang dapat memberi solusi.
Menara gading bagai kursi panas sarat kutukan yang memabukan, yang membutakan, mentulikan atas segala penderitaan, kesusahan, kesedihan.
Semua itu diganti oleh para kroni dengan tipuan-tipuan yang memabukkan dan mencandui, sehingga tidak ingn dengar perbedaan, tidak ingin tahu kesusahan, tidaak ingin melihat kematian tidaak sudi mendengar rintihan kesakitan dan tidak suka menghirup anyir darah pengorbanan.[CDL-28072016]
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana