Vaksin Palsu [7]: Cukup Tapi Langka, Halo BUMN Farmasi?

TRANSINDONESIA.CO – Vaksin palsu disebabkan kelangkaan barang dan harganya mahal.  Setidaknya begitu logika sederhana dan perilaku pasar atas barang yang kurang  tersedia.

Idemditto, logika itu senada dengan pengakuan pabrikan pelat merah yang berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mari mencermati pengungkapan Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma (Persero), yang menduga pemalsuan vaksin terjadi karena barangnya susah dicari atau harganya mahal, sebagaimana diwartakan tempo.co,16 Juli 2016,  dibawah judul “Vaksin Palsu, Biofarma: Karena Barang Susah dan Harga Mahal”.

Mengapa langka? Padahal di sisi lain BUMN Bio Farma secara resmi mengumumkan kemampuannya  dengan  kapasitas produksi lebih dari 3,2 Miliar dosis pertahun, sehingga Bio Farma telah memenuhi kebutuhan vaksin Nasional dan kebutuhan vaksin dunia melalui WHO dan UNICEF.

Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia, Muhammad Joni.[Ist]
Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia dan penggiat perlindungan anak, Muhammad Joni.[Ist]
Lebih dari itu, dengan mengusung filosofi Dedicated to Improve Quality of Life,  Bio Farma berperan aktif dalam meningkatkan ketersediaan dan kemandirian produksi vaksin di negara-negara berkembang dan negara-negara Islam untuk menjaga keamanan kesehatan global (Global Health Security).

Pengungkapan itu seperti menertawakan diri sendiri. Tidak elok BUMN farmasi membanggakan dirinya setakat terkuak ironi vaksin palsu bertahun-tahun melanda negeri.  Siapa pantas bangga kapasitas produksi dan ekportasi  di tengah kasus berlanjut vaksin palsu  terjadi?

BUMN Bio Farma sengaja menjelaskan kepada media bagaimana proses produksi vaksin sebelum diedarkan. Sangat ketat, dan berstandar tinggi, dimulai dengan penyediaan bahan baku, yang mana spesifikasi dan vendor harus memenuhi standar dan diaudit rutin.

Kemudian, fasilitas manufaktur produksi yang harus divalidasi dan memenuhi regulasi ketat hingga fasilitas penyimpanan dan proses distribusi yang dimonitor ketat agar memenuhi kualitas, keamanan, dan efektivitas yang konsisten.

Lanjut dengan tahap vaksin diregistrasi ke Badan POM untuk mendapatkan ijin edar. Setelah produk dipasarkan, akan dilakukan Post Marketing Surveillance (PMS) yakni melihat imunitas atau kekebalan yang terbentuk di masyarakat, sehingga bisa diketahui efektivitas dan kualitas vaksin tersebut.

Singkat kata, BUMN farmasi di negeri ini mampu dan berkelas internasional dalam produksi vaksin.  Padahal  tidak sembarang negara di dunia mampu memeroduksinya.

Namun, mengapa untuk program nasional vaksinasi anak yang nota bene investasi generasi bangsa, sejak 2003 telah tersebar vaksin palsu? Bukankah BUMN farmasi sudah mampu?

Bukankah itu justru menyisakan mempertanyakan  realisasi swasembada vaksin untuk program nasional? Kebanggaan  apa yang dihimpun dari ekspor vaksin ke luar negeri sementara anak-anak masih terjerat  sindikat vaksin palsu?

Mirip dengan kelangkaan obat yang mengakibatkan mahalnya obat dan sediaan farmasi, perlu dilakukan audit menyeluruh yang mencakup  faktor strategis industri dan perdagangan obat nasional.

Hal pertama yang perlu diaudit,  pemerintah mesti mengoreksi kebijakan dan tindakannya ikhwal produksi dan peredaran serta pengawasan vaksin selama ini. Pas jika kasus vaksin palsu menjadi momentum  membenahi kebijakan hulu.

Dengan menjadikan kasus vaksin palsu sebagai kausal, pemerintah bisa  menunjuk BUMN farmasi sebagai produsen tunggal vaksin untuk kepentingan program nasional di dalam negeri.

Langkah ini  sekaligus  mengamankan rantai distributor resmi  dan mengebiri  pemain jahat yang saat ini tiarap dan mengendap di luar rantai distribusi.  Soalnya, mau atau tidak?

Oleh: Muhammad Joni [Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia-MKI dan Pegiat Perindungan Anak]

Share