TRANSINDONESIA.CO – Terbitnya PP No.14 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dinilai mengandung kelemahan mendasar. Mengapa?
Menurut Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Muhammad Joni, semestinya PP No. 14/2016 memberikan kepastian hukum urusan perumahan dan kawasan permukiman, mengisi kekosongan hukum.
“Bukan mengulang atau pemindahan (translasi) norma UU No.1 Tahun 2011 ke dalam PP sehingga menjadi kerancuan frontal,” kata Joni dalam siaran persnya yang diterima Transindonesia.co di Jakarta, Selasa (14/6/2016.
Kedua lanjut Joni, pengaturan hunian berimbang dikurangi dan tidak mengatur kebutuhan kekosongan hukum UU No.1 tahun 2011, misalnya soal pembangunan perumahan skala besar, kewajiban pemerintah dan pemerindah daerah, kewajiban memberikan bantuan dan insentif, kerjasama antar daerah berbatasan.
Ketiga, yang seharusnya tidak diatur namun ditambahkan atau memasuki bagian luar batas norma UU No. 1 tahun 2011, misalnya norma sebelumnya tidak wajib atau harus malah menjadi wajib.
Keempat, tidak mengatur norma yang sudah diatur, misalnya pengaturan badan hukum yang sama dalam UU No.1 Tahun 2011, namun dikorting atau tidak diatur dalam PP No.14/2016. Kelima, pelaksaksanaan sanksi administratif tidak dilengkapi dengan petugas penyidik PNS yang melakukannya.
“PP No.14/2016 ini menunjukkan tidak adanya konsistensi normatif dalam penyusunan PP itu. Mestinya PP ini bisa mendukung kelancaran praktik pembangunan perumahan rakyat pro masyarakat berpenghasilan rendah (MBR),” terang Joni yang juga Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute.[Saf]