RTJ [4]: Ini 6 Tema Pokok Reklamasi

TRANSINDONESIA.CO – Lama   setelah   pengumuman   penghentian sementara (moratorium)  Reklamasi Teluk Jakarta (RTJ) per 18 April 2016, baru   11 Mei 2016 publik mengetahui terbitnya Surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan  yang menghentikan sementara RTJ itu.

Dengan SK No. 354/Menlhk/Setjen/Kum.9/5/2016. Diwartakan, saat meninjau pulau C, salah satu 17 pulau reklamasi ala RTJ, Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian LHK bertutur bahwa penghentian sementara ini   berarti tidak melakukan apapun   selama   permintaan   pemerintah   terkait   dengan   dampak lingkungan dan ijin belum dipenuhi.

Lantas, apa saja yang mesti dibenahi ikhwal RTJ yang merupakan tindakan pemerintahan   atas   objek   ruang,   tanah,   dan   wilayah   perairan   yang merupakan   hak   menguasai   negara   (HMN)   itu?   Sudahkah mempertimbangkan   kepentingan   warga   masyarakat   pesisir?   Sudah melakukan audit kepatuhan hukum?

Reklamasi RTJ dihentikan.[Ist]
Reklamasi RTJ dihentikan.[Ist]
Akankah ada integrasi perencanaan berbasis komonitas mengatasi 3 soal utama   perumahan   dan   permukiman   (Perkim):   de<sit   rumah   bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), kawasan kumuh, rumah tidak layak huni? Dengan asumsi 17 pulau buatan itu idemditto kota baru alias Jakarta  Baru,   maka   sesuai   UU   No.   1   Tahun   2011,   perencanaan   perkim tidak boleh diabaikan.

Jika menghendaki versi baru RTJ yang tengah moratorium, beralasan jika ikhwal   dampak   lingkungan   dan   perijinan   menjadi   persyaratan   dalam menimbang   kelanjutan     RTJ.  Jangan lupa,   sesuai  keppres  No.  92  Tahun 1995,   konsideran dan maksud asli   RTJ adalah   membenahi keruwetan tata ruang dan defisit tanah kawasan pantura Jakarta Utara, sehingga ada aspek perkim dan peruahan rakyat (public housing). Jadi, RTJ untuk solusi masalah publik, bukan hanya membangun properti komersial mewah.

Andai   menelaah   apa   respon   publik   dan   pemerintah   terkait   RTJ,   dapat diidentifikasi   6   tema   pokok   yang   muncul   lewat   analisis   konten   media, yakni   terkait   (1)   legal/regulasi   dan   perijinan,   (2)   penataan   ruang,   (3) pertanahan   (peruntukan   dan   pemberian   hak).   (4)   dampak   lingkungan hidup dan sosial ekonomi, (5) kelembagaan yang melaksanakan RTJ, (6) abainya serapan partisipasi publik.

Pembaca sudah mafhum bahwa tanah hasil reklamasi yang  menjadi 17 pulau   buatan   itu   nantinya   adalah   dalam   status  hak   menguasai   negara (HMN)   yang   di   atasnya   diberikan   Hak   Pengelolaan   (HPL)   atas   nama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. HPL   itu   sendiri   tentunya   menjadi   ranah   Menteri   Agraria   dan   Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). HPL adalah sebagian dari HMN itu sendiri, yang diberikan untuk kepentingan publik tertentu, seperti HPL   untuk   pelabuhan,   HPL   otoritas   Batam,   HPL   transmigrasi,   HPL kompleks olahraga.

Momentum   moratorium   RTJ   dan   kemudian   terbitnya     SK   No. 354/Menlhk/Setjen/Kum.9/5/2016   itu   patut   dimanfaatkan   pemerintah untuk   membenahi   RTJ,   baik   regulasi,   kepatuhan,   perijinan,   termasuk kelembagaan. Jika konsisten mengacu Keppres No. 92 Tahun 1995, mesti dibentuk   Badan   Pengendali   dan   Tim   Pengarah   yang   diketuai   Kepala BAPPENAS,   serta   Badan   Pelaksana.   Ketiganya   adalah   “organ” pemerintahan, bukan swasta.

Karena RTJ menyangkut objeknya HMN dan HPL yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka publik berhak  mengetahui dan memberi partisipasi ikhwal apa  yang akan dilakukan pemerintah.

Dari   diskusi   dengan   Ketua   Umum   HUD   Institute,     Zulfi   Syarif   Koto, perlunya pemeriksaan RTJ  untuk sebesar-besar kemakmuran  rakyat  dan dilakukan sebagai tindakan pemerintahan,   dengan mengajukan 6 tema pokok   terkait     RTJ,   yakni,     Pertama:   RTJ   berkenaan   dengan   kawasan bersifat strategis nasional. Kedua, RTJ tindakan dan kebijakan pemerintah (bukan   nonpemerintah).   Ketiga,   RTJ   demi   sebesar-besar   kemakmuran rakyat  (bukan  segmented). Keempat, RTJ dilakukan dengan sepenuhnya kepatuhan hukum & tata kelola yang baik (zero tollerance).

Kelima, RTJ mestiterintegrasi dengan pembangunan benteng laut raksasa Jakarta, dan Keenam, RTJ wajib membuka partisipasi masyarakat.

Pun   demikian,   menyusul   terbitnya   SK   No. 354/Menlhk/Setjen/Kum.9/5/2016 aquo, tak usah ragu menelaah kritis dan tak   perlu   tergopoh   mengambil   langkah   yang   terbaik   dan   menjadi “bechmark” model perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan reklamasi. Walau tentunya dilakukan secara terbatas dan pilihan terakhir (last resort option).

Dari   identifikasi   6   jenis   pendapat   publik   terkait   RTJ,   hemat   penulis pemerintah   penting   menjelaskan   kepada   publik   hal-hal   apa   yang dilakukan pemerintah jika hendak melanjutkan lagi RTJ:  apa saja temuan Badan   pengendali   atau   komite   bersama,   apa   saja   perijinan   yang   perlu dilengkapi dan sudah dilengkapi, apa arahan dan kebijakan Tim Pengarah yang dipimpin Kepala BAPPENAS, apa kelembagaan untuk perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan paska reklamasi sudah terbentuk, apa saja perencanaan untuk integrasi pembangunan benteng laut raksasa Jakarta dengan reklamasi 17 pulau buatan seperti perintah Presiden Joko Widodo.

Muhammad Joni [Ketua Masyarakat  Konstitusi   Indonesia   (MKI),   Sekretaris Umum Housing and Uran Development (HUD) Institute, Managing Partner   Law O”ce Joni & Tanamas]

 

Share