Ayat Perumahan Rakyat (4) : Harkat dan Identitas Manusia

TRANSINDONESIA.CO – Jamaah pembaca yang budiman. Dapat dipastikan, tidak   ada   yang mengelak jika didalilkan bahwa tidak ada orang yang tidak mempunyai nama sebagai identitas, dan karenanya dalam setarikan nafas, tidak ada orang tidak bertempat tinggal. Mengacu itu, tidak semestinya rakyat Indonesia dibiarkan menjadi   tuna   wisma   (homeless)   dan tak menikmati tempat tinggal,   yang akhirnya menjadi   penghuni tetap kolong jembatan,   warga kota tanpa hunia yang layak dan terjangkau seperti halnya fenomena “manusia gerobak”.

Manusia gerobak itu pemulung terdiri dari suami/istri dan anak-anak yang  mengumpulkan barang-barang bekas, dan  kebutuhan sehari-hari yang dibawa dalam gerobak,  malam hari mereka tidur di dekat gerobak  di kawasan tertentu, misalnya, di taman, terminal, kolong jembatan layang, dan emperan toko. Dari data  tahun 2010, Dinas Sosial DKI Jakarta merilis data, jumlah pemulung 1.031 orang yang tersebar di lima wilayah. Pada umumnya, tinggal di gubuk-gubuk darurat di pinggiran kali dan pinggir rel kereta api, lahan-lahan kosong terlantar. Sebagian kecil lainnya, tidak memiliki tempat tinggal, bersama istri dan anak-anaknya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Terdapat 260 jiwa manusia gerobak berdasar data Direktorat RSTS melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) sebagai mitra kerja dan pembina bagi manusia gerobak tersebut. (Lihat http://binaswadaya.org/bs3/id/kemensos-gagas-rehabilitasi-manusia-gerobak/).

Fakta  di   depan   mendudukan  3   soal   utama   masalah   perumahan   rakyat, yakni   de$sit   perumahan   backlog)   yang   tinggi,   rumah   tidak   layak   huni,   dan kawasan   permukiman   kumuh.     Variannya   bisa   beragam   di   lapangan,   seperti halnya fenomena “manusia gerobak”.

Ilustrasi
Ilustrasi

Intervensi Pemerintah? Pendekatannya bukan hanya mengahkan mereka ke   permukiman   yang   layak   dan   trejangkau,   dengan   menefenisikan   mereka sebagai   objek   pembangunan   semata,   sehingga   urusan   perumahan   rakyat bersifat formal-legal saja.

Namun dengan mendudukan mereka sebagai subyek yang yang memiliki kemampuan dan keswadayaan dengan berbasis komunitas sosial sendiri, maka penanganan mereka bukan  menjadi   proses sederhana  memindahkan     itu   dari kawasan permukiman kumuh (yang bahkan tidak memiliki legalitas formal) ke penempatan baru (resetlement) yang terpisah dari akar sosial dan budaya yang menjadi   identitas,   harkat, dan  basis   kegiatan   ekonominya.    Dengan   demikian pemindahan mereka ke  tempat yang  baru   sangat mungkin menimbulkan soal baru karena menyisakan cacat dan cidera atas harkat dan identitasnya.

Padahal,   menghuni   rumah   dan   bertempat   tinggal   tak   hanya   sekadar “indekos”  permanan, karena melekat kehidupan  sosial dan menjaga  identitas. Artinya,   memindahkan   vekto   kawasan   tidak   layak   huni   atau   kumuh   bukan sekadar  vektor   pemindahan   obyek   namun   mempertahankan  bersama   dengan mempertahankan  harkat  kemanusiaaan (human dignity).

Acap   kali   ikhtiar     ikhtiar   kawasan   kumuh   dan   tidak   layak   huni   di   ota metropolitas dengan mudah dan disederhanakan hanya  pemindahan dari lokasi “A” ke lokasi lain bahkan dengan memberikan fasiitas rumah susun sewa. Hal demikian   berbeda   dengan   strategi   konsolidasi   tanah   yang   mendekati   warga dengan  konsensus bersama,  memperbaiki   lingunagn dan  konsolidasi hak   atas kepemilikan tanah, dengan mempertahankan bahkan meningkatkan derjat dan identitas   sosialnya.   Kalau   mereka   berada   di   kawasan   “X”   tetap   bangga   dan memilii identitas sosial-kultural sebagai warga komunitas X”.

Tersebab   penghargaan   atas   harkat   manusia   itu,   maka     menyediakan hunian atau  tempat menetap sebagai hak bertemat tinggal, dalam  satu tarikan nafas mempertahankan hak sosial dan identitas sosialnya. Tak merasa tersaring dari komunitas dan limgkungan soialnya.

Mengapa   hak   bertempat   tinggal   lekat   denga   identitas?   Karena   tempat tinggal   adal   status   simbol   yang   mendefenisikan   kondisi   sosial-ekonomi   dan kultural   warganya.   Warga   yang   tinggal   di   kawasan   Padang   Bulan   di   Medan, tentu   memiliki   defenisi   sosial   berbeda   dengan   warga   kawasan   Setia   Budi, walaupun masih berbatasan satu dengannya.

Alasan lain? Jika anda warga yang menetap di permukiman atau alamat tertentu, tentu pernah didata atau dicatatkan otoritas pemerintah kota. Mengisi kolom nama, dan acap diikuti kolom alamat tempat tinggal.  Disadari atau tidak, telah   terkonsepsi   bahwa   nama   (orang)   senanantiasa   terkait   satu   kesatuan dengan alamat atau tempat tinggal sebagai identitas pribadi orang. Orang dan tempat   tinggal   senantiasa   melekat   tak   terpisahkan.   Tempat   menetap   satu tarikan   nafas   dengan   identitas   orang.   Secara   $loso$s   pengakuan   akan   hak bermukim sebagai identitas diakui dalam konsideran UU Nomor 1 Tahun 2011 dengan menggunakan frasa  “berjatidiri”.

Nilai-nili   sosial   ini   yang   dipahami   dan   ditranformasikan   pelaku   usaha properti   komersial   dalam   mendefenisikan   lokasi,   nama,   dan   tentunya   harga suatu   kawasan   permukiman   komersial.   Apa   artinya   lokasi   dan   identitas   bari program perumahan rakyat? Tetap sama, mempertahankan dan menghargai hak sosial-kultural dan identitas sosialnya dengan lingkungannya. Dengan faktor ini, maka  solusi   yang   diabilakan   berbeda   ketika  mengatasi   warga  dan   komunitas permukiman  kumuh   di   suatu   lokasi   tertentu.   Bisa   jadi   bukan   pemindahan   ke permukiman baru yang vertikal, namun menggunakan strategi konsilidasi tanah. Satu masalah yang sama dengan solusi berbeda.

Ilustrasi
Ilustrasi

Konvensi

Sangat terang benderang betapa  penting hak bertempat tinggal atau hak hunian   dalam   relasi   negara   dengan   rakyat.     Tak   tanggung-tanggung,   hak bertempat tinggal  atau hak  atas hunian   dimasukkan secara  sadar   ke dalam konstitusi  Negara.   Karena itu,   absah  secara  yuridis   konstitusional bagi  setiap orang   berhak   atas   hidup   sejahtera   lahir   dan   batin,   bertempat   tinggal,   dan mendapatkan   lingkungan   yang   layak   dan   sehat,   yang   merupakan   kebutuhan dasar manusia.

Oleh karena itu pula, tidak bisa dipungkiri perlindungan dan pemenuhan hak  bertempat  tinggal     merupakan  kewajiban   Negara   (state  obligation)  yang selanjutnya     dan   terutama   menjadi     kewajiban   Pemerintah   selaku   eksekutif dalam   pembangunan   perumahan   rakyat.     Termasuk   dengan   menyediakan kemudahan dan atau bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi setiap orang   atau   warga   masyarakat,   khususnya   bagi   masyarakat   berpenghasilan rendah (MBR).

Hak bertempat tinggal  atau hak atas rumah   diakui   sebagai   hak asasi manusia (HAM) yang   secara eksplisit dijamin  Pasal 40 Undang-undang No. 39 Tahun   1999   tentang   Hak   Asasi   Manusia   (“UU   HAM”)   yang   berbunyi   “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.

Hal ihwal pemenuhan hak atas hunian bukan sudah menjadi peradaban universal,   karena   itu   menjadi   instrumen   HAM   internasional,   dan   diperkuat dengan   berbagai   deklarasi   internasional.     Dalam   Deklarasi   Rio   de   Jeneiro, dimana Indonesia senantiasa aktif dalam kegiatan yang diprakarsai oleh  United Nation   Center   for   Human   Settlements,     yang   kemudian   tertuang   pula   dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II yang mengakui bahwa rumah merupakan hak dasar manusia dan menjadi hak bagi semua oran untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau.

Kendati   sudah   dijamin   dalam   konstitusi   dan   UU   HAM,   namun,   pada kenyataannya  masih banyak yang belum menikmati rumah, terpaksa  berada di kawasan   kumuh   dan/atau   yang   lebih   bernasib   baik,   menjadi   penyewa   rumah seumur   hidupnya.     Banyak   sebab   yang   bisa   diajukan   sebagai   faktor   tidak terpenuhinya hak atas tempat tinggal.

Dalam   berbagai   literatur,   hal   ihwal   rumah   dan   kawasan   kumuh berhimpitan     dengan   permasalahan   kemiskinan.   Kemiskinan   struktural     yang menyebabkan   banyak   warga   kota   mengalami   kendala   mendapatkan   tempat tinggal dan lahan usaha sehingga menjadi beban perkotaan.

Selagi rumah bertapak di atas tanah, maka selama itu komponen utama dari   pengadaan   dan   harga   rumah   adalah   berasal   dari   tanah.   Seakan   tanah menjadi komoditas bebas yang bisa dinaikkan sesuai hukum pasar, maka tanah menjadi langka, mahal dan tidak terkendali.   Dengan adanya kelangkaan lahan mengakibatkan   harga   tanah   mahal   di   kawasan   perkotaan,   sehingga menghambat orang atau warga masyarakat untuk memperoleh rumah, dan atau membeli rumah oleh karena tingkat harga rumah yang tinggi.

Harga tanah di negara-negara sedang berkembang di Asia yang jauh lebih tinggi   dibandingkan   negara-negara   lain,   termasuk   negara   maju   Tidak   setiap orang   atau   warga  masyarakat  mempunyai   daya   beli   (purchasing   power)   atau mempunyai   pendapatan   yang   cukup   membeli   atau   membayar   harga   cicilan apabila   diperhitungkan   dengan   tingkat   pendapatan   warga   masyarakat   miskin atau kelompok MBR.

Sehingga adanya ketentuan hukum yang memberikan persyaratan aneh yakni luas lantai minimal 36 meter persegi dengan Pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011,   maka memicu harga rumah semakin tinggi dan tidak terjangkau daya beli   kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR. Syukurnya, Pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011 kemudian  dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut data, Indonesia membutuhkan pertambahan rumah sekitar 700 ribu unit rumah per tahun dengan asumsi pertumbuhan penduduk 1,3 persen. Indonesia kekurangan jumlah unit rumah atau backlog sebanyak 13,6 juta unit.

Salah   satu   penyebab   kurangnya   rumah   bagi   warga   berpenghasilan   rendah karena keterbatasan lahan dan mahalnya harga tanah. Masalah perumahan atau hunian bukan cuma kurangnya jumlah unit rumah tetapi juga masalah lemahnya kemampuan masyarakat membeli karena ada gap yang besar antara daya beli masyarakat dengan harga pasar.

Diperkirakan ada  sekitar 8 juta rumah tangga di Indonesia yang belum menempati   rumah   layak   huni   yang   sebagian   besar   adalah   kelompok   MBR.

Dalam pandangan ahli manajemen  Rhenal Kasali, pengamat ekonomi Unversitas Indonesia, kebijakan pembangunan perumahan tidak pro poor karena kebijakan pembangunan perumahan diarahkan bukan untuk kaum miskin.

Adanya penambahan dan bahkan eskalasi tingkat backlog  pembangunan perumahan   rakyat   tersebut     (tahun   2009   sebanyak   7,4   juta   unit   rumah bandingkan   dengan   tahun   tahun   2010   diperkirakan   mencapai   8,4   juta   unit rumah).

Jika  dibandingkan   dengan   tahun   2002   yang   menargetkan   130.000   unit rumah hanya tercapai realisasinya 39,979 unit rumah.  Sedangkan tahun 2003, hingga bulan September 2003 saja baru mencapai realisasi 59.275 unit rumah dari target rencana 90.000 unit rumah.

  1. Djaka Suhendera, bertitel “Sertifikat tanah dan Orang Miskin” laporan atas pelaksanaan proyek ajudikasi di Kampung Rawa, Jakarta”, yang diterbitkan HuMa, Van Vollenhoven Institute, dan KITLV-Jakarta.
  2. Pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011 sudah tidak berkekuatan hukum mengikat karena sudah dibatalkan oleh MK dengan Putusan Nomor 14/PUU-X/2012.
  3. Redaksi Majalah “Inforum” Edisi 3 Tahun 2010, Kementerian Perumahan Rakyat,hal.12-13.
  4. Redaksi Kompas, “Kelas menengah belum menjadi strategi”, 23 Desember 2011, hal.17).

Dengan    data   mengenai  eskalasi   backlog tersebut   dapat   dikemukakan bahwa target pencapaian pembangunan rumah senantiasa tidak tercapai   dari tahun ke tahun bahkan dalam jumlah yang signi$kan 40%  – 50%.

Muhammad Joni  [Ketua Masyarakat Konstitusi Indnesia, Sekretaris Umum Housing and Urban Development Institute]

Share