TRANSINDONESIA.CO – Jamaah pembaca yang budiman. Dapat dipastikan, tidak ada yang mengelak jika didalilkan bahwa tidak ada orang yang tidak mempunyai nama sebagai identitas, dan karenanya dalam setarikan nafas, tidak ada orang tidak bertempat tinggal. Mengacu itu, tidak semestinya rakyat Indonesia dibiarkan menjadi tuna wisma (homeless) dan tak menikmati tempat tinggal, yang akhirnya menjadi penghuni tetap kolong jembatan, warga kota tanpa hunia yang layak dan terjangkau seperti halnya fenomena “manusia gerobak”.
Manusia gerobak itu pemulung terdiri dari suami/istri dan anak-anak yang mengumpulkan barang-barang bekas, dan kebutuhan sehari-hari yang dibawa dalam gerobak, malam hari mereka tidur di dekat gerobak di kawasan tertentu, misalnya, di taman, terminal, kolong jembatan layang, dan emperan toko. Dari data tahun 2010, Dinas Sosial DKI Jakarta merilis data, jumlah pemulung 1.031 orang yang tersebar di lima wilayah. Pada umumnya, tinggal di gubuk-gubuk darurat di pinggiran kali dan pinggir rel kereta api, lahan-lahan kosong terlantar. Sebagian kecil lainnya, tidak memiliki tempat tinggal, bersama istri dan anak-anaknya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Terdapat 260 jiwa manusia gerobak berdasar data Direktorat RSTS melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) sebagai mitra kerja dan pembina bagi manusia gerobak tersebut. (Lihat http://binaswadaya.org/bs3/id/kemensos-gagas-rehabilitasi-manusia-gerobak/).
Fakta di depan mendudukan 3 soal utama masalah perumahan rakyat, yakni de$sit perumahan backlog) yang tinggi, rumah tidak layak huni, dan kawasan permukiman kumuh. Variannya bisa beragam di lapangan, seperti halnya fenomena “manusia gerobak”.

Intervensi Pemerintah? Pendekatannya bukan hanya mengahkan mereka ke permukiman yang layak dan trejangkau, dengan menefenisikan mereka sebagai objek pembangunan semata, sehingga urusan perumahan rakyat bersifat formal-legal saja.
Namun dengan mendudukan mereka sebagai subyek yang yang memiliki kemampuan dan keswadayaan dengan berbasis komunitas sosial sendiri, maka penanganan mereka bukan menjadi proses sederhana memindahkan itu dari kawasan permukiman kumuh (yang bahkan tidak memiliki legalitas formal) ke penempatan baru (resetlement) yang terpisah dari akar sosial dan budaya yang menjadi identitas, harkat, dan basis kegiatan ekonominya. Dengan demikian pemindahan mereka ke tempat yang baru sangat mungkin menimbulkan soal baru karena menyisakan cacat dan cidera atas harkat dan identitasnya.
Padahal, menghuni rumah dan bertempat tinggal tak hanya sekadar “indekos” permanan, karena melekat kehidupan sosial dan menjaga identitas. Artinya, memindahkan vekto kawasan tidak layak huni atau kumuh bukan sekadar vektor pemindahan obyek namun mempertahankan bersama dengan mempertahankan harkat kemanusiaaan (human dignity).
Acap kali ikhtiar ikhtiar kawasan kumuh dan tidak layak huni di ota metropolitas dengan mudah dan disederhanakan hanya pemindahan dari lokasi “A” ke lokasi lain bahkan dengan memberikan fasiitas rumah susun sewa. Hal demikian berbeda dengan strategi konsolidasi tanah yang mendekati warga dengan konsensus bersama, memperbaiki lingunagn dan konsolidasi hak atas kepemilikan tanah, dengan mempertahankan bahkan meningkatkan derjat dan identitas sosialnya. Kalau mereka berada di kawasan “X” tetap bangga dan memilii identitas sosial-kultural sebagai warga komunitas X”.
Tersebab penghargaan atas harkat manusia itu, maka menyediakan hunian atau tempat menetap sebagai hak bertemat tinggal, dalam satu tarikan nafas mempertahankan hak sosial dan identitas sosialnya. Tak merasa tersaring dari komunitas dan limgkungan soialnya.
Mengapa hak bertempat tinggal lekat denga identitas? Karena tempat tinggal adal status simbol yang mendefenisikan kondisi sosial-ekonomi dan kultural warganya. Warga yang tinggal di kawasan Padang Bulan di Medan, tentu memiliki defenisi sosial berbeda dengan warga kawasan Setia Budi, walaupun masih berbatasan satu dengannya.
Alasan lain? Jika anda warga yang menetap di permukiman atau alamat tertentu, tentu pernah didata atau dicatatkan otoritas pemerintah kota. Mengisi kolom nama, dan acap diikuti kolom alamat tempat tinggal. Disadari atau tidak, telah terkonsepsi bahwa nama (orang) senanantiasa terkait satu kesatuan dengan alamat atau tempat tinggal sebagai identitas pribadi orang. Orang dan tempat tinggal senantiasa melekat tak terpisahkan. Tempat menetap satu tarikan nafas dengan identitas orang. Secara $loso$s pengakuan akan hak bermukim sebagai identitas diakui dalam konsideran UU Nomor 1 Tahun 2011 dengan menggunakan frasa “berjatidiri”.
Nilai-nili sosial ini yang dipahami dan ditranformasikan pelaku usaha properti komersial dalam mendefenisikan lokasi, nama, dan tentunya harga suatu kawasan permukiman komersial. Apa artinya lokasi dan identitas bari program perumahan rakyat? Tetap sama, mempertahankan dan menghargai hak sosial-kultural dan identitas sosialnya dengan lingkungannya. Dengan faktor ini, maka solusi yang diabilakan berbeda ketika mengatasi warga dan komunitas permukiman kumuh di suatu lokasi tertentu. Bisa jadi bukan pemindahan ke permukiman baru yang vertikal, namun menggunakan strategi konsilidasi tanah. Satu masalah yang sama dengan solusi berbeda.

Konvensi
Sangat terang benderang betapa penting hak bertempat tinggal atau hak hunian dalam relasi negara dengan rakyat. Tak tanggung-tanggung, hak bertempat tinggal atau hak atas hunian dimasukkan secara sadar ke dalam konstitusi Negara. Karena itu, absah secara yuridis konstitusional bagi setiap orang berhak atas hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang layak dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia.
Oleh karena itu pula, tidak bisa dipungkiri perlindungan dan pemenuhan hak bertempat tinggal merupakan kewajiban Negara (state obligation) yang selanjutnya dan terutama menjadi kewajiban Pemerintah selaku eksekutif dalam pembangunan perumahan rakyat. Termasuk dengan menyediakan kemudahan dan atau bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi setiap orang atau warga masyarakat, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Hak bertempat tinggal atau hak atas rumah diakui sebagai hak asasi manusia (HAM) yang secara eksplisit dijamin Pasal 40 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.
Hal ihwal pemenuhan hak atas hunian bukan sudah menjadi peradaban universal, karena itu menjadi instrumen HAM internasional, dan diperkuat dengan berbagai deklarasi internasional. Dalam Deklarasi Rio de Jeneiro, dimana Indonesia senantiasa aktif dalam kegiatan yang diprakarsai oleh United Nation Center for Human Settlements, yang kemudian tertuang pula dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II yang mengakui bahwa rumah merupakan hak dasar manusia dan menjadi hak bagi semua oran untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau.
Kendati sudah dijamin dalam konstitusi dan UU HAM, namun, pada kenyataannya masih banyak yang belum menikmati rumah, terpaksa berada di kawasan kumuh dan/atau yang lebih bernasib baik, menjadi penyewa rumah seumur hidupnya. Banyak sebab yang bisa diajukan sebagai faktor tidak terpenuhinya hak atas tempat tinggal.
Dalam berbagai literatur, hal ihwal rumah dan kawasan kumuh berhimpitan dengan permasalahan kemiskinan. Kemiskinan struktural yang menyebabkan banyak warga kota mengalami kendala mendapatkan tempat tinggal dan lahan usaha sehingga menjadi beban perkotaan.
Selagi rumah bertapak di atas tanah, maka selama itu komponen utama dari pengadaan dan harga rumah adalah berasal dari tanah. Seakan tanah menjadi komoditas bebas yang bisa dinaikkan sesuai hukum pasar, maka tanah menjadi langka, mahal dan tidak terkendali. Dengan adanya kelangkaan lahan mengakibatkan harga tanah mahal di kawasan perkotaan, sehingga menghambat orang atau warga masyarakat untuk memperoleh rumah, dan atau membeli rumah oleh karena tingkat harga rumah yang tinggi.
Harga tanah di negara-negara sedang berkembang di Asia yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain, termasuk negara maju Tidak setiap orang atau warga masyarakat mempunyai daya beli (purchasing power) atau mempunyai pendapatan yang cukup membeli atau membayar harga cicilan apabila diperhitungkan dengan tingkat pendapatan warga masyarakat miskin atau kelompok MBR.
Sehingga adanya ketentuan hukum yang memberikan persyaratan aneh yakni luas lantai minimal 36 meter persegi dengan Pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011, maka memicu harga rumah semakin tinggi dan tidak terjangkau daya beli kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR. Syukurnya, Pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011 kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut data, Indonesia membutuhkan pertambahan rumah sekitar 700 ribu unit rumah per tahun dengan asumsi pertumbuhan penduduk 1,3 persen. Indonesia kekurangan jumlah unit rumah atau backlog sebanyak 13,6 juta unit.
Salah satu penyebab kurangnya rumah bagi warga berpenghasilan rendah karena keterbatasan lahan dan mahalnya harga tanah. Masalah perumahan atau hunian bukan cuma kurangnya jumlah unit rumah tetapi juga masalah lemahnya kemampuan masyarakat membeli karena ada gap yang besar antara daya beli masyarakat dengan harga pasar.
Diperkirakan ada sekitar 8 juta rumah tangga di Indonesia yang belum menempati rumah layak huni yang sebagian besar adalah kelompok MBR.
Dalam pandangan ahli manajemen Rhenal Kasali, pengamat ekonomi Unversitas Indonesia, kebijakan pembangunan perumahan tidak pro poor karena kebijakan pembangunan perumahan diarahkan bukan untuk kaum miskin.
Adanya penambahan dan bahkan eskalasi tingkat backlog pembangunan perumahan rakyat tersebut (tahun 2009 sebanyak 7,4 juta unit rumah bandingkan dengan tahun tahun 2010 diperkirakan mencapai 8,4 juta unit rumah).
Jika dibandingkan dengan tahun 2002 yang menargetkan 130.000 unit rumah hanya tercapai realisasinya 39,979 unit rumah. Sedangkan tahun 2003, hingga bulan September 2003 saja baru mencapai realisasi 59.275 unit rumah dari target rencana 90.000 unit rumah.
- Djaka Suhendera, bertitel “Sertifikat tanah dan Orang Miskin” laporan atas pelaksanaan proyek ajudikasi di Kampung Rawa, Jakarta”, yang diterbitkan HuMa, Van Vollenhoven Institute, dan KITLV-Jakarta.
- Pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011 sudah tidak berkekuatan hukum mengikat karena sudah dibatalkan oleh MK dengan Putusan Nomor 14/PUU-X/2012.
- Redaksi Majalah “Inforum” Edisi 3 Tahun 2010, Kementerian Perumahan Rakyat,hal.12-13.
- Redaksi Kompas, “Kelas menengah belum menjadi strategi”, 23 Desember 2011, hal.17).
Dengan data mengenai eskalasi backlog tersebut dapat dikemukakan bahwa target pencapaian pembangunan rumah senantiasa tidak tercapai dari tahun ke tahun bahkan dalam jumlah yang signi$kan 40% – 50%.
Muhammad Joni [Ketua Masyarakat Konstitusi Indnesia, Sekretaris Umum Housing and Urban Development Institute]