Keteraturan Sosial: Refleksi Pendewasaan Netizen
TRANSINDONESIA.CO – Dunia virtual menjadi lahan baru kehidupan manusia milenium baru di era globalisasi. Dunia yang tanpa batas ruang dan waktu yang dapat dijangkau, diketahui real time dalam berbagai informasi dan komunikasi.
Refleksi para netizen dalam menginformasikan, mempostingkan sesuatu,memberikan komentar di media sosial menunjukkan karakternya. Hembusan dan nilai-nilai kemanusiaan, pencegahan, perbaikan, pembangunan menjadi sesuatu yang akan menjadi pemberdayaan.
Demikian sebaliknya hujatan, ujaran kebencian, saling menyalahkan, penggunaan kalimat dan kata-kata yang tidak semestinya merupakan refleksi tabiat pengirimnya. Orang-orang bertabiat buruk ini akan nyaman menabur kebencian, hujatan, hasutan bahkan memperdagangkan kemaksiatan, yang menjadi sampah yang bisa membusuk dan menjadi penyakit pada netizen.
Para netizen sebenarnya warga yang memiliki tingkat intelektual dan kecerdasan tinggi, yang merupakan soft power bagi bangsa dan negara, masyarakat atau bagi kelompoknya.
Tatkala hubungan antar para netizen ini ada keteraturan sosial, mereka akan mampu merefleksikan kecerdasanya melalui postingan akan menjadi sesuatu yang inspiratif, memberitahu akan sesuatu yang baru, mendorong orang lain berbuat baik dan tentu saja akan menghibur.
Sebaliknya tatkala keteraturan tidak terwujud maka ujaran-ujaran sampah para netizen menunjukkan tabiat buruknya sebagai refleksi kenaifanya yang juga memamerkan ketololan dan kepengecutannya.
Eforia para netizen perlu penataan pengaturan untuk adanya keteraturan. Polanya tentu tidak dengan model konvensional, melainkan system-sistem identifikasi atas signal, jaringan kode/enskrip/ simbol/tanda yang dipostingkannya.
Karena sesuatu yang ada pada netizen tentu ada back office, aplikasi, pelayanan, penghubung (network). Model back office, aplikasi layanan dan network inilah yang akan menjadi bagian pada sistem keteraturan sosial pada netizen, yang akan dapat memberdayakan dan membersihkan dari sampah-sampah yang dapat menghambat, merusak bahkan mematikan produktifitas di era digital.[CDL-24042016]
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana