Catatan Hukum Berita Negeri

TRANSINDONESIA.CO – Membicarakan reklamasi berarti kita sedang membicarakan sumber daya terpenting milik negara, yaitu tanah dan air.

Benar, reklamasi dalam konteks ini tidak lain adalah aktifitas mengkonversi air menjadi lahan (tanah). Luasan air akan berkurang berubah menjadi momentum kelahiran lahan baru.

Proses perencanaan dan pelaksanaan reklamasi seharusnya menjadi batu uji untuk melihat daya jangkau kekuasaan negara terhadap sumber daya terpenting yang dikuasainya.

Benarkah seorang Gubernur sedemikian “digdaya” dapat memproses reklamasi tanpa pengarahan pemerintah pusat? Benarkah cara melibatkan pihak swasta dalam reklamasi?

Jangan-jangan proses reklamasi Pantai Teluk Jakarta adalah proses reklamasi yang salah cara dan tentu juga salah kaprah.

Dapat dikatakan salah cara apabila pelaksana proses reklamasi telah salah membaca rambu-rambu yang harusnya menjadi panduan dalam melaksanakan wewenangnya.

Aksi protes reklamari pantai teluk Jakarta.[Ist]
Aksi protes reklamari pantai teluk Jakarta.[Ist]
Rambu-Rambu Hak Menguasai Negara

Sudah menjadi prinsip, bahwa bumi air serta ruang angkasa adalah kekayaan nasional yang pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 33 UUD 45 – Pasal 2 UUPA).

Hal inilah yang menjadi dasar penegakan ‘Hak Menguasai Negara’ yang termasuk didalamnya wewenang untuk mengatur peruntukan dan penggunaan lahan serta menentukan hak orang dan badan atas tanah dan air tersebut.

Adapun kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah seperti DKI Jakarta bukanlah kewenangan asli.

Kewenangan tersebut dimiliki berdasarkan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat. Daerah adalah perpanjangan tangan untuk menjalankan kepentingan nasional di wilayahnya.

Dalam konteks reklamasi seharusnya daerah seperti DKI Jakarta terlebih dahulu memutuskan kemanfaatan, peruntukan dan menentukan syarat-syarat untuk dilaksanakannya reklamasi.

Singkatnya, skenario reklamasi seharusnya disusun oleh DKI Jakarta yang mewakili kepentingan negara dan bukan diserahkan kepada pihak ketiga.

Swasta sebagai pihak ketiga baru diajak serta, sepanjang mereka tunduk dan patuh pada peruntukan dan rencana DKI Jakarta dan bukan sebaliknya.

Salah Cara Pelibatan Swasta

Tanah-tanah hasil reklamasi dinyatakan sebagai tanah yang dikuasai oleh negara. Hal ini tegas dinyatakan dalam Surat Menteri Negara Agraria tanggal 9 Mei 1996 No.410-1293 tentang Penertiban Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi.

Prinsip ini sejalan dengan apa yang diatur dalam Keputusan Presiden No.52 Tahun 1995 yang menyatakan, bahwa areal hasil reklamasi diberikan status Hak Pengelolaan Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Jadi, DKI Jakarta lah yang akan memperoleh hak atas lahan hasil reklamasi. Pemerintah Pusat akan memberikan Hak Pengelolaan (HPL) kepada DKI Jakarta bukan kepada pihak swasta.

HPL ini adalah hak atas tanah negara yang akan memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah termasuk menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan menerima pemasukan.

Dari jalan cerita diatas maka pemberian ijin reklamasi kepada pihak swasta sangat patut dipertanyakan. Seharusnya DKI Jakarta sebagai calon pemegang Hak Pengelolaan terlebih dahulu menyampaikan proposal rencananya kepada pemerintah pusat.

Apa alasannya DKI Jakarta sudah memberi ijin reklamasi sementara proposal perencanaan dan peruntukan HPL nya sama sekali belum dikaji?

Sebagai contoh Pelindo mendapatkan HPL Tanjung Priok setelah mengajukan rencana pemanfaatannya yaitu, sebagai sarana penunjang pelabuhan laut. Begitu pula Angkasa Pura mendapatkan HPL Soekarno Hatta untuk sarana pelabuhan udara.

Tidak ada jaminan bahwa rencana bisnis pihak swasta yang diberi ijin oleh DKI Jakarta akan sejalan dengan kebijakan pemberian HPL dari pemerintah pusat.

Dengan kata lain pemberian ijin reklamasi oleh DKI Jakarta kepada swasta sama sekali tidak berkepastian hukum. Jangan-jangan pemerintah pusat akan tertodong untuk mengikuti skenario swasta yang sudah terlanjur berinvestasi.

Sungguh proses seperti ini akan melahirkan keadaan yang sangat rawan sengketa. Apabila reklamasi ini telah salah cara dan salah kaprah, maka perlu ditata ulang sebelum terlambat.

Oleh: Dedy Kurniadi,SH,MH [Advokat]

Share