Kisah Shandra Woworuntu Korban Perbudakan Seks di Amerika [7]

TRANSINDONESIA.CO – Saat Shandra Woworuntu menginjakkan kakinya di AS, ia berharap bisa memulai karir baru di industri perhotelan. Namun ia justru dijerumuskan ke dunia prostitusi dan perbudakan seksual, dipaksa mengkonsumsi obat-obatan dan mengalami kekerasan.

Setelah berhasil kabur, polisi mengabaikan laporannya, dan Konsulat RI juga menolak memberinya bantuan hingga ia jadi gelandangan. Kisah ini mungkin akan tak tertahankan bagi sebagian pembaca, seperti dilansir dari bbc.com, berikut penuturan Shandra;

Apa yang saya alami sungguh berat menyakitkan. Secara fisik, saya lemah. Para mucikari hanya memberi saya makan sup dan nasi dan acar, dan saya lebih sering menkonsumsi obat-obatan. Ancaman kekerasan yang terus menerus, dan keharusan tetap waspada, itu juga sangat melelahkan.

Shandra berpidato setelah Majelis New York berjanji untuk menindak perdagangan manusia.
Shandra berpidato setelah Majelis New York berjanji untuk menindak perdagangan manusia.

Satu-satunya yang menjadi milik saya – diluar ‘seragam’ yang saya kenakan – adalah sebuah tas kecil, yang berisi kamus, sebuah Alkitab kecil, dan ada beberapa bolpen juga buku-buku permainan yang saya curi dari kamar hotel, dengan nama-nama kasino di dalamnya.

Saya juga menyimpan sebuah buku harian, sesuatu yang saya lakukan sejak saya masih kecil. Saya menulis dalam bahasa campuran Indonesia, Inggris, Jepang dan simbol-simbol, saya mencoba untuk mencatat apa yang sudah saya lakukan, ke mana saya pergi, berapa orang yang sudah bersama saya, tanggal berapa. Saya melakukannya sebisa mungkin meskipun hal itu sulit karena saya tidak bisa membedakan siang atau malam jika sudah berada di dalam rumah bordil.

Saya selalu berpikir untuk melarikan diri, tapi peluangnya sangat langka.

Pada suatu malam saya disekap di sebuah loteng rumah bordil di Connecticut. Kamarnya memiliki jendela yang bisa saya buka, lalu seprei dan pakaian saya susun menjadi tali, lalu mengikatnya ke kusen jendela, saya mencoba turun menggunakan tali. Tapi begitu saya sampai di ujung tali, jarak antara tali dan tanah masih terlalu jauh. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali memanjat lagi.

Lalu suatu hari saya dibawa ke rumah bordil di Brooklyn, tempat saya pertama kali menginjakkan kaki di Amerika Serikat. Saya bersama seorang gadis Indonesia berumur 15 tahun bernama Nina, dan kami pun menjadi teman. Ia adalah seorang gadis cantik dan manis dan selalu bersemangat. Sekali waktu ia menolak untuk melakukan apa yang diperintahkan, lalu mucikari memelintt tangannya, dan ia berteriak kesakitan.

Kami mengobrol dengan perempuan lain yang berada di rumah bordil itu, ia merupakan “pelacur kelas atas,” yang artinya ia memimpin kami. Ia bersikap baik, dan mengatakan kalau kami bisa keluar dari rumah bordil, kami harus menghubungi seorang pria ini yang akan mencarikan kami pekerjaan yang layak, dan kami bisa menghemat uang untuk pulang. Saya mencatat nomornya dalam secarik kertas dan menyimpannya.

Dan saat ia tengah membicarakan soal utang kami sebesar US$30.000 yang harus kami lunasi kepada para mucikari – saya mulai panik. Saya yakin saya akan mati sebelum saya bisa melayani 300 pria. Saya memejamkan mata dan berdoa semoga ada yang bisa menolong.[Nik]

 

Share