Pelanduk Mati Keinjak Gajah Berkelahi
TRANSINDONESIA.CO – Rakyat selalu yang dirugikan dan menjadi korban, jadi ganjel, dipakai namanya (demi ini, demi itu). Dari istilah saja misalnya sudah menunjukan refleksi atas kekalahanya, ganti-rugi, remuk-redam, hancur-lebur, miskin-papa, dan lainnya.
Itu semua seakan menjadi takdir untuk dinikmati bagi yang lemah, yang kalah dan siap dimarginalkan. Dalam pewayanganpun dan berbagai istilahpun digambarkan menjadi kelompok yang menjadi pelengkap penderit, rampogan, pasukan tawuran, unthul munyuk dan lainnya.
Kalaupun dipasang dipanggung, ya hanya menjadi simping atau sisipan hiasan di kanan kiri yang sama sekali tidak disentuh oleh dalangnya.
Dalam hidup berkelompok dari berkeluarga sampai hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara selalu ada kepentingan. Kepentingan-kepentingan ini diatur dalam kesepakatan-kesepakatan yang diberi rambu atau batasan dalm peraturan hingga undang-undang.
Tatkala kepentingan tidak lagi fair dan sarat dengan muslihat dan mengabaikan rambu-rambu akan mengalahkan kesepakatan dan tatanan moralitas. Siapa kuat dialah yang menang dan menguasai. Untk menang dan menguasai siapa yang akan dijadikan ganjel atau batu pijakan? Pasti yang lemah dan siap dijadikan tumbal.
Nilai-nilai kesepakatan tidak lagi untuk memanusiakan manusia, melainkan memulyakan yang mempunyai kuasa dan kekuasaan. Inilah spirit yang menjadikan manusia lupa akan diri dan sesamanya.
Kesepakatan-kesepakatannnya menjadi ambisi-ambisi untuk terus mendominasi, mengangkangi bahkan menguasai sumber-sumber daya. Kemajuan, kemunduran, kehancuran, kerugian bahkan kematian manusiapun tidak diperhitungkan, yang penting menang, senang, terpuaskan.
Lagi-lagi rakyatlah yang menjadi pelanduk yang mati diantara gajah yang berkelahi. Jangankan terinjak, mendengar gajah berkelahi pelanduk sudah menggigil membayangkan dampaknya.[CDL-24032016]
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana